Menyerupai klenteng dan berlokasi di jantung pecinan Jakarta, orang akan mudah terkecoh dengan penampakan bangunan satu ini. Barulah saat melihat papan nama bertuliskan “Gereja Katolik Santa Maria de Fatima”, kita bisa yakin bangunan ini merupakan sebuah gereja Katolik.
Gereja yang terletak di Glodok, Jakarta Barat ini lebih umum disebut Gereja Toasebio. Toasebio sendiri adalah nama lama dari Jalan Kemenangan III, jalan yang membentang di depan gereja. Kata “Bio” di dalam nama “Toasebio” menunjukkan bahwa sejak dulu sudah ada bio (kelenteng) di jalan tersebut sebagai sarana sembahyang masyarakat Tionghoa.
Wajar saja jika gereja Toasebio mencoba menyesuaikan diri sebaik mungkin dengan budaya masyarakat setempat. Apalagi gereja ini juga menempati bangunan cagar budaya berusia empat abad, bekas kediaman seorang kapitan Tionghoa. Wujud akulturasi yang paling kentara adalah dengan pelestarian corak khas Tionghoa yang terdapat di bangunan gereja.
Arsitektur gereja ini masih lestari. Dilihat dari udara, bentuk tapak bangunan yang mengambil langgam tradisional Tionghoa sangat terlihat jelas. Terdapat tiga bangunan utama yang terpisah satu sama lain. Ketiganya dipersatukan oleh dua bangunan sayap yang memanjang dari depan ke belakang di kiri-kanan bangunan utama. Alhasil formasi demikian membentuk dua plaza kecil di sisi dalam bangunan.
Adapun eksterior gereja terlihat mencolok dengan selubung cat merah-emas menyala. Terlihat juga sepasangpatungsingajantan-betina terpacak gagah di teras gereja. Binatang perlambang kekuatan ini juga menjadi penanda kalau bangunan ini dulu pernah dimiliki tokoh terhormat. Sebab dalam kultur Tionghoa, hanya orang dengan pangkat/jabatan tinggi saja yang boleh memasang patung singa semacam itu.
Di halaman gereja kita bisa melihat menara lonceng, patung Yesus, dan patung penampakan Bunda Maria kepada tiga anak kecil di Fatima. Namun ketiga ornamen tambahan tersebut ditempatkan di pelataran sehingga tidak merusak keaslian cagar budaya. Satu-satunya ornamen tambahan yang menempel di fasad gereja ini hanyalah simbol salib yang terlihatmenghiasi bubungan atap.
Memasuki sisi dalam gereja, barulah kita menemukan sedikit perombakan demi menyesuaikan fungsi bangunan ini sebagai tempat ibadah umat Katolik. Salah satu plaza dalam, yang dalam arsitektur tradisional Tionghoa dikenal dengan sumur langit, ditutup dengan atap. Sumur langit ini terpaksa ditutup untuk memberi ruang bagi bangku umat.
Altar menempati bangunan utama di sisi tengah.Penempatan ini sejalan dengan tradisi lokal. Sebab dalam wujud aslinya, bagian bangunan ini dipakai sebagai altar persembahyangan dan penghormatan terhadap leluhur. Di tempat inilah umumnya masyarakat Tionghoameletakkanhio lo (guci dupa) dan kham (lemari kecil tempat papan peringatan arwah leluhur). Makin unik lagi karena tabernakel di gereja Toasebio juga didesain dengan bentuk menyerupai kham.
Sementara itu, bangunan utama sisi belakang dan dua bangunan sayap gereja relatif tidak dirombak oleh pihak gereja. Ruangan-ruangan tersebut kini dimanfaatkan sebagai pastoran dan kantor paroki.
Akulturasi tidak cukup berhenti sampai disitu. Gereja yang lahannya berpunggungan denganKelenteng Dharma Bhakti ini juga melakukan akulturasi dalam pelayanan umat. Gereja Toasebio adalah salah satu dari sedikit gereja yang rutin menyelenggarakan misa ekaristi mingguan dalam Bahasa Mandarin setiap pekan.
Kemeriahan akan makin terasa jika ada tahun baru Imlek. Gereja Toasebio selalu menggelar misa Imlek sebagai wujud penghargaan atas akar budaya masyarakat setempat. Sayangnya, dalam situasi pandemi yang masih berlangsung sampai sekarang, rasanya bakal membuat kemeriahanImlekdigerejaini tak seramai ditahun-tahunsebelumnya.
Melalui pelestarian cagar budaya, perayaan misa berbahasa Mandarin, hingga misa Imlek, bisa dibilang gerejaToasebio inginmendorong masyarakat Tionghoauntuktidakmalumengakuiketionghoaanmereka. Umat Katolik-Tionghoa yang mungkin masih memiliki trauma akibat represi Orde Baru diajak kembali bangga dan mau mengekspresikan identitas kultural mereka.
Lebih jauh lagi, gereja Toasebio juga menunjukkan bahwa iman Katolik tidak menjaga jarak dari budaya. Gereja Katolik tidak pernah bermusuhan dengan kearifan lokal. Bahkan, gereja Katolik dapat luwes saja meminjam warna-warni budaya setempat untuk dimanfaatkan sebagai sarana memuliakan Tuhan.