Cerita raja dan ratu dalam dunia dongeng pernah menghiasi masa kecil saya. Begitu pula sebagian besar anak-anak lain yang mendambakan hidup sempurna. Memangnya siapa yang tidak ingin hidup sempurna?
Namun, hangatnya topik wawancara antara Oprah Winfrey dengan Meghan dan Harry yang dibahas di mana-mana, mulai dari media lokal hingga internasional, sebetulnya tidak menguak hal baru bagi saya. Keputusan mereka berbicara secara terbuka mengenai alasan keluarnya dari keluarga kerajaan Inggris adalah akibat tekanan mental dan rumor rasisme terhadap anak dari Meghan dan Pangeran Harry.
Menurut penuturannya, wawancara itu dikhawatirkan oleh keluarga kerajaan akan mendatangkan warna gelap bagi citra mereka. Sebab, tak pelak akan mengundang rasa penasaran netizen dari seluruh dunia dan jadi sasaran empuk media pemberitaan. Apalagi isu rasisme sangat sensitif dan bisa menjadi bola salju yang suatu saat nanti sangat mudah memicu konflik. Keputusan Meghan dan Harry mengambil langkah ini bisa jadi pisau bermata dua yang bisa saja merugikan keduanya.
Namun terlepas dari isu rasisme, jangan lupa bahwa persoalan kesehatan mental perlu juga kita soroti. Terlepas dari bola panas yang dia lemparkan. Pertama, Meghan adalah bintang Hollywood. Caranya hidup tentu saja berbeda dengan aturan kerajaan monarki. Kedua, media sering membandingkannya dengan istri Pangeran William yaitu Kate Middleton dan membuat berita fantastis. Ketiga, statusnya berbeda (pernah menikah) yang menjadi awal mula terjadinya polemik. Keempat, dia anggota baru keluarga kerajaan.
Sekurang-kurangnya empat hal ini yang menurut hemat saya bisa jadi faktor tekanan yang Meghan rasakan. Menariknya, ketika isu ini dilempar ke publik tidak serta merta tujuan mereka untuk mengubah kondisi dan kritik media terhadap monarki kerajaan Inggris direspons dengan simpatik. Ketimpangan persepsi publik terlihat dari komentar dalam kolom berita maupun cuitan di media sosial.
Drama Queen
Sebagian warganet menganggap bahwa Meghan terlalu drama karena tiada angin tiada hujan dia melakukan wawancara dengan media. Di situ ia mengungkapkan hal-hal yang memicu perdebatan dan menjadi perbincangan hangat di berbagai negara. Mereka menganggap bahwa sikap Meghan ini berbanding terbalik dengan statement awal yang ingin hidup tenang secara privat setelah keluar sebagai anggota kerajaan.
Terlebih lagi ketika ia menyinggung masalah kesehatan mentalnya yang terganggu akibat tekanan ketika masih menjadi anggota kerajaan. Bahkan ia memunculkan niat untuk bunuh diri. Sebagian orang berasumsi ini adalah alasan yang tidak tepat, mengingat seharusnya ia sudah mempersiapkan hal-hal semacam ini menimpanya. Ia hanya ingin menarik simpati dari dunia internasional melalui drama keinginan mengakhiri hidupnya.
Dari persoalan ini kita belajar bahwa keterkaitan antara persoalan bunuh diri dan anggapan adanya drama sepertinya harus ditinjau ulang. Sebagaimana data WHO yang dilansir Kompas pada 2019, mengatakan bahwa setiap 40 detik ada satu orang meninggal karena bunuh diri di dunia. Kampanye mengenai pengetahuan dan pentingnya kesehatan mental nyatanya masih jauh dari upaya agar masyarakat bisa memahami bahwa persoalan ini bukanlah hal remeh.
Studi yang dilakukan oleh Brezo, Paris, dan Turechi dalam jurnal yang berjudul “Personality Traits as Correlates of Suicidal Ideation, Suicide Attempts and Suicide Completions: A Systematic Review” pada 2006, mengungkapkan bahwa persoalan bunuh diri, di samping karena kecenderungan ekstroversi kecemasan, juga ketidakberdayaan termasuk faktor yang paling beresiko terhadap ketiga bentuk perilaku bunuh diri yaitu ide bunuh diri, percobaan bunuh diri dan tindakan bunuh diri.
Bukan berarti persoalan kesehatan mental mengada-ada atau drama yang tidak nyata. Bagaimana bisa tidak nyata jika setiap 40 detik ada orang yang menjadi korban? Namun ini tidak serta merta bahwa symptom yang diungkapkan Meghan terkait tekanan dan keinginannya untuk mengakhiri hidup adalah fakta. Hanya psikolog/psikiater yang bisa menganalisa. Namun terlepas dari itu, persepsi masyarakat yang melihat bunuh diri adalah drama mestinya sudah tidak relevan, karena ini sering terjadi dalam bermasyarakat seolah-olah luka yang tidak tampak itu tidak ada.
Media Bombastis
Selain persepsi bahwa terganggunya kesehatan mental Meghan hanyalah drama, di sisi lain publik jagad maya juga menyoroti akar dari persoalan yang dihadapi Meghan, yakni tekanan media. Berbeda dari golongan yang menudingnya hanya rekayasa, persoalan media Inggris yang sering membuntuti dan menyorot gerak-geriknya disinyalir menjadi faktor ketidaknyamanan yang ia rasakan, bahkan setelah mereka keluar dari anggota kerajaan.
Dilansir dari BBC pada Januari 2020, banyaknya paparazzi yang memotret aktivitas privatnya membuat keduanya mengeluarkan peringatan hukum kepada media setelah foto Meghan diambil diam-diam. Hal ini tentunya mengingatkan Pangeran Harry dengan luka lama meninggalnya Puteri Diana karena dikejar oleh paparazzi yang membuat situasi begitu traumatik dan Meghan adalah salah satu perempuan yang paling sering difoto di seluruh dunia.
Media sebagai pembentuk opini publik mempunyai peran besar dalam membangun citra. Namun seringkali yang menjadi permasalahan adalah berita bohong dan pelecehan yang menyerang. Persoalan ini tak terkecuali juga dihadapi Meghan. Meskipun kekuasaan monarki mempunyai aturan dan protokoler yang ketat, namun tidak menyurutkan berita bombastis yang belum tentu kebenarannya dan belum bisa ditangkal dengan mudah. Dengan kondisi seperti ini, kondisi mental siapa yang tidak terganggu? Saya berasumsi bahwa masyarakat masih tertarik dengan cerita bertema kerajaan dan intrik di dalamnya karena unik di tengah perkembangan demokrasi sehingga isu ini masih laku dijual karena pasar informasi yang masih seksi.
Dari bergulirnya beragam persepsi, di satu sisi publik masih beranggapan bahwa ada inkonsistensi dari Meghan sendiri. Karena itu banyak orang menganggap kondisi mentalnya yang terganggu sehingga memunculkan niat mengakhiri hidup adalah drama. Namun di sisi lainya publik menganggap bahwa tekanan yang Meghan rasakan, yang mengganggu kondisi mentalnya, adalah implikasi dari cara kerja media dan paparazzi yang melewati batas privasi. Terlepas dari tanggapan selanjutnya dari pihak kerajaan, namun esensi persoalan kesehatan mental yang menjadi salah satu hal yang ia kuak memunculkan perbincangan yang lebih terbuka tentang pentingnya isu ini menjadi bahan diskusi.
(Esai ini merupakan bagian dari tugas peserta “Kelas Menulis Insentif” Jaringan GUSDURian bersama Hairus Salim HS selama Februari-Maret 2021)