Memori penulis tentang hukuman gantung atas Saddam Hussein dan serangan AS/sekutunya ke Irak sungguh miris. Tragis. Mantan diktator Irak, Saddam Hussein, harus menemui ajal di ‘’tiang gantungan’’. Kekejaman dibalas dengan kekejaman, kekerasan dibalas dengan kekerasan.
Saddam dan masyarakat Irak berada dalam lingkaran darah kekerasan yang tak henti-henti, vandetta. Dengan kematian Saddam, vandetta itu bukannya diakhiri, melainkan justru dimulai kembali. Mengapa? Karena anak cucu Saddam dan warga Irak loyalis Saddam hampir pasti akan balas dendam.
Sebagaimana diketahui, beberapa jam sebelum shalat Idul Adha, tepatnya pukul 06.10 WIB pagi waktu setempat atau 10.10 WIB hari Sabtu lalu, Mantan Presiden Irak Saddam Hussein digiring ke tiang gantungan untuk menjalani hukuman mati.
Vonis hukuman mati atas Saddam dilakukan setelah orang nomor satu Irak itu dinyatakan bersalah dalam beberapa kasus kekerasan: pembunuhan 148 warga Desa Dujail (1962), mengeksekusi 8000 orang Barzani (1983), penggunaan senjata Kimia di Halabja dengan memakan korban 5000 kaum Kurdi (1988), dan kekerasan melawan Syiah yang menewaskan 1000 korban jiwa (1991).
Drama eksekusi terhadap pengagum Hammurabi dan Nebukadnezar tersebut, telah menuai reaksi pro dan kontra dari berbagai negara di dunia. Bagi Uni Eropa (UE), Vatikan, Rusia, India, Malaysia, Bangladesh dan Libya, hukuman eksekusi tersebut merupakan representasi orang-orang Barbar pada zaman dahulu. Sementara bagi AS, Australia, Israel, Jepang, Korea Selatan, dan Thailand, hukuman tersebut merupakan hukuman yang layak bagi seorang penjahat perang.
Terorisme
Tragedi hukuman gantung terhadap Saddam Hussein telah menyakiti hati rakyat Irak dan Dunia Islam serta menginjak martabat dan harkat martabat masyarakat Dunia Islam. Bagaimanapun hati dan sukma masyarakat Dunia Islam tidak bisa menerima perlakuan kejam yang direkayasa oleh AS/Barat terhadap Saddam tersebut.
Seperti diartikan oleh Rashid Khalidi, akademisi Harvard University, AS, yang melihat invansi AS ke Irak sama seperti pendudukan kolonial Prancis ke Mesir pada abad 20 yang lalu. Karena itu masuk akal jika para ahli Timur Tengah khawatir hukuman gantung itu akan menyalakan kembali (rekindle) terorisme di Irak dan Timur Tengah/Dunia Islam.
Juru bicara Gereja Katolik Vatikan, Frederico Lombardi juga mengemukakan, menghukum Saddam tidak akan menegakkan dan stabilitas keamanan di Irak, tetapi itu hanya akan memacah persatuan dan membuka keran pertikaian antar kelompok yang lebih besar.
Apa yang dikhawatirkan banyak pihak menyangkut aksi kekerasan dan kekacauan pasca eksekusi mantan Presiden Irak tersebut, telah terbukti. Pasalnya beberapa jam setelah kabar kematian orang kuat di Irak itu tersiar, dua ledakan bom terjadi secara terpisah.
Ledakan pertama berupa serangan bom mobil mengguncang pasar ikan di pusat kota Kufah yang menewaskan sedikitnya 31 orang dan melukai puluhan lainnya. Dan ledakan yang kedua, serangan tiga bom mobil yang terjadi di area padat penduduk di utara Baghdad. Serangan ini menewaskan sedikitnya 26 orang.
Dalam persepsi masyarakat Irak dan Dunia Islam, hukuman gantung terhadap Saddam itu mencerminkan penghinaan, barbarisme dan kebiadaban. Maka tidak mustahil bahwa hukuman gantung atas Saddam Hussein itu menyulut kekerasan lebih dalam di Irak karena menjadi bukti barbarisme pengadilan Irak yang direkayasa dan ditunggangi oleh kepentingan AS/Barat pada awal ke-21 ini.
Meminjam perspektif Michael Foucault (Dicipline and Punisment, 1995), penggunaan hukuman gantung itu merupakan kontinyuitas wacana dan praktik kekuasaan yang pararel dengan tradisi hukuman gantung pada abad pertengahan, yang barbar dan biadab, meski dimaksudkan untuk melegitimasikan law and order.
Masa depan Irak pascahukuman mati terhadap Saddam Hussein tetap merupakan misteri: tarik tolak perdamaian dan peperangan dalam negeri, konflik dan konsensus domestik, akan berlangsung dengan intensitas yang tinggi. Dengan kata lain, stabilitas dan demokrasi di Irak menghadapi ketidakpastian karena reproduksi kekerasan terus menerus tak kunjung dihentikan.
Al Jabiri dan Prediksi yang Terbukti
Prediksi artikel berjudul “The Death of Saddam Hussein” di atas tentang kemungkinan rentetan konflik dan perang saudara pasca eksekusi gantung, benar-benar terbukti. Beberapa saat setelah eksekusi mati sang diktator ledakan bom terjadi di beberapa tempat.
Bahkan dalam 10 tahun terakhir ini, Irak seolah menjadi tempat pertempuran dan ladang pembantaian. Irak pasca kematian Saddam yang semula diharapkan menjadi negara damai, justru kini menjadi kepingan reruntuhan akibat perang yang terus berkecamuk.
Kemunculan ISIS dan perang saudara yang terus menerus, ditambah intervensi sejumlah negara yang ingin mengambil kepentingan di sana, telah menambah penderitaan masyarakat Irak. Dan derita itu menjadi beban yang harus mereka pikul hingga sekarang.
Tidak sedikit akademisi dan pengamat mengajukan pertanyaan, mengapa negara-negara Arab-Islam seperti Irak, Suriah, Libya, Afghanistan, Yaman, Libanon, Palestina, dan juga Mesir, terus dihantui peperangan? Seolah perang yang disulut oleh mereka sendiri atau akibat orang lain (oleh negara lain), sudah menjadi watak retak yang sudah tertanam dalam alam pikiran mereka.
Terhadap pertanyaan ini, penjelasan inteligensia Arab Muhammad Abed Al Jabiri sangat memikat bagi kami. Al Jabiri dalam Takwîn Al ‘Aql Al ‘Arabi menuturkan, bahwa struktur nalar politik Islam dari zaman dulu hingga sekarang ini terdiri dari tiga komponen, yaitu qabaliyyah (kesukuan), ghanimah (rampasan perang), dan aqidah (ideologi).
Pembentukan kerajaan Saudi Arabia oleh Ibn Sa’ud misalnya merupakan representasi dari solidaritas kesukuan (qabaliyah), yang sebetulnya pengulangan zaman primitif Arab pra-Islam. Lihat saja, nama Sa’ud, pendiri Kerajaan Saudi Arabia, melekatkan namanya untuk nama sebuah negara yang dipimpinnya. Hal serupa juga pernah terjadi pada masa Dinasti Mua’wiyyah (keluarga Umayyah), Dinasti Abbasiyah (keluarga Abbas), dan Turki Ustmani (keluarga Utsman).
Sekedar perbandingan dengan nalar politik Islam Nusantara. Kesultanan-kesutanan Islam yang ada di Nusantara tidak pernah menggunakan nama keluarga sebagai nama sebuah kerajaan/kesultanan. Sebut saja misalnya, Kesultanan Perlak, Kesultanan Mataram, Kesultanan, Banten, Kesultanan Cirebon, dll.
Hanya saja, proses Arabisasi di Indonesia, kata Abdurrahman Wahid (Gus Dur), lambat laun mulai nampak. Tidak sedikit nama-nama pondok pesantren menggunakan nama Arab, seperti Daarul Salam, Subulussalam, Sabilussalam, Daarul Qolam, dll. Padahal sebelumnya, pondok-pondok pesantren di Indonesia menggunakan nama daerah seperti Pesantren Tebuireng, Jombang, Pesantren Krapyak, Pesantren Tegalrejo, Tambak Beras, Denanyar, Pondok Gontor, dll.
Nalar kesukuan bangsa Arab memang menjadi persoalan serius. Sejak Ibn Khaldun dalam Muqodiman-nya, kemudian dilanjutkan oleh Al Jabiri mengenai Kritik Nalar Arab (Naqd al ‘Aql al ‘Arab), dan paling mutakhir adalah oleh Khalil Abdul Karim mengenai hegemoni Quraisy dalam “Quraisy min al-Qabîlah ila al-Daulah al-Markaziyyah”.
Kesemuanya mengulas tentang watak Arab yang lebih mengutamakan qabaliyah atau kesukuan ketimbang kepentingan nasional dan kemanusiaan. Nama yang terakhir disebut punya kesimpulan lebih berani ketimbang dua pendahulunya. Menurut Khalil Abdul Karim, kesukuan bangsa Arab bisa tercermin bahkan di hari wafatnya Nabi.
Hal itu bisa dilihat dari suksesi kepemimpinan umat Islam pasca-Nabi. Sepeninggal Nabi, sahabat dari Muhajir dan Anshar berkumpul di Saqifah Bani Saadah untuk membicarakan pengganti Nabi. Abu Bakar yang memimpin rapat ketika itu berkata: “Kami dari keturunan Quraisy, para pimpinan juga dari golongan kami”.
Pernyataan Abu Bakar itu, kata Khalil Abdul Karim, untuk menunjukan klaim suku Quraisy yang paling berhak dan otoritatif menjadi pemimpin pasca-Nabi ketimbang kaum Anshar.
Selain dari pada itu, dalam hal pembukuan Al Qur’an di zaman Ustman bin Affan, watak kesukuan Arab kembali muncul lewat pernyataan sang Khalifah ketiga itu. Dia mengatakan “Apa yang kalian pertentangkan dengan Zaid bin Tsabit? Tulislah Al Qur’an dengan bahasa Quraisy karena ia diturunkan dengan bahasa mereka”.
Dari dua kasus di atas, Khalil Abdul Karim, ingin membuktikan kalau suku Quraisy ingin selalu hegemonik dari suku-suku yang ada di Arab kala itu. Dan watak kesukuan bangsa Arab kembali muncul justru di hari pertama Nabi Muhammad SAW meninggal.
Padahal, sistem kesukuan atau qabaliyah sudah berhasil Nabi hapus dengan menggantinya dengan sistem Ummah, tanpa harus mengutamakan atau merendahkan suku tertentu. Dalam sebuah sistem ummat inilah Nabi dan umat Islam tumbuh berkembang di Madinah.
Watak kesukuan (qabaliyyah), kata Al Jabiri, berbanding lurus dengan motif ghanimah (rampasan perang). Watak ghanimah ini, kata Al Jabiri, dilakukan atas nama agama. Perang yang terjadi dalam sejarah penaklukan umat Islam di beberapa daerah dan negara, didasari untuk mendapatkan barang rampasan.
Karena itu, tidak heran banyak Arab Baduy ikut serta dalam peperangan yang dilakukan umat Islam, semata-mata untuk mendapatkan barang rampasan perang. Dan watak ghanimah ini tetap melekat pada bangsa Arab.
Lihat saja misalnya Saudi Arabia yang menjalin hubungan mesra dengan negara-negara Barat, sementara negara-negara Arab masih sibuk dengan perang saudara dan kemiskinan akibat perang. Dalam pengamatan penulis, Arab Saudi tidak pernah bersuara lantang tentang pembebasan Palestina yang terus dijajah Israel. Sementara kelompok Hammas dan Fatah yang seharusnya bersatu memperjuangkan kemerdekaan Palestina dan melawan Israel, justru sibuk bertikai.
Terkait kasus yang terakhir itu, benar-benar mencerminkan watak Arab yang ketiga, yaitu Aqidah (ideologi). Dalam pandangan Al Jabiri, aqidah tidak dimaksudkan sebagai agama. Tetapi ideologi politik. Dalam sejarah politik Islam, umat Islam saling berperang dan bertikai satu sama lain karena berbeda ideologi. Sebut saja misalnya permusuhan Dinasti Umayyah dan Abbasiyah. Begitu juga antara Sunni dan Syi’ah yang sampai saat ini terus berselisih seperti yang terjadi di Irak dan Suriah.
Gus Dur dan Invasi Irak ke AS
Saddam Hussein dijatuhi hukuman gantung. Irak diserbu oleh invasi militer AS dan sekutunya. KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) marah besar terhadap kekejian AS yang menyerang Irak secara brutal dan mengandalkan kekuatan multinasional, AS adalah negara adidaya dan Irak itu negara berkembang, sangat tidak adil dan timpang.
“Sebuah negara adikuasa telah memaksakan kehendak dan menginjak-injak hukum internasional untuk kepentingannya sendiri. Serangannya atas Irak mengabaikan peranan PBB melaui dewan keamanan,” kata Gus Dur dalam esainya, “Kita dan Perdamaian”.
Gus Dur melihat dan menyatakan bahwa dengan serangan AS ke Irak itu, makin penting bahwa etika global dan pemerintahan yang baik (good governance) hanya akan ada artinya kalau didasarkan pada dua hal: kedaulatan hukum dan keadilan dalam hubungan internasional.
Ini berarti, negara adikuasa mana pun harus memperhatikan kedua prinsip ini. Karena itu, demikian Gus Dur, perjuangan untuk menegakkan kedaulatan hukum dan keadilan dalam hubungan internasional itu harus mendapatkan perhatian utama.
Pidato pembukaan itu, mendapatkan jawaban dan tanggapan sangat positif dari berbagai pihak, termasuk Dharma Master Hsin-Tao (Taiwan) yang mewakili para pengikut agama Buddha. Tanggapan yang sama positifnya juga disampaikan oleh Wolfgang Smith dari Persekutuan Gereja-Gereja Eropa dan Rabbi Alon Goshen Gottstein dari Jerusalem.
Gus Dur bersikap tegas soal kedaulatan Irak yang dihancurkan AS/Barat tersebut, sebab semua itu adalah dehumanisasi. Dalam kaitan ini, kita belum lupa, tepatnya pada tanggal 20 Maret 2003, Amerika Serikat (AS) melalui perintah Presiden George Walker Bush melancarkan serangan brutalnya ke Irak tanpa ampun.
Invasi tersebut dilakukan berdasarkan tiga alasan; pertama, menggulingkan rezim otoriter Saddam Husein. Kedua, menghancurkan senjata pemusnah massal. Dan ketiga, merendam gerakan jaringan teroris al-Qaeda. Harta benda di Irak dihancurkan, ribuan rakyat dibunuh dan dokumen, ribuan manuskrip dan naskah-naskah kuno, artefak-artefak kuno, dijarah/dirampok pihak Asing dan konon sebagian besar disimpan di Barat.
Hingga 20 Maret 2008, invasi AS sudah berjalan lima tahun. Menurut catatan Iraq Body Count, invasi AS yang dimulai 20 Maret 2003 hingga 17 Maret 2008 telah menewaskan 1,2 juta warga sipil Irak tak berdosa dan menyebabkan 4 juta lainnya kehilangan tempat tinggal, hidup terlunta-lunta dan terlantar di pengungsian.
Sementara itu, dari kalangan AS sendiri sudah lebih dari 3.990 tentaranya tewas sia-sia dan lebih dari 29.000 lainnya terluka dalam perang yang memakan biaya hingga USD 500 miliar. Setiap hari pasti ada yang tewas mengenaskan akibat terkena serangan bom bunuh diri atau terperangkap ranjau bom yang dipasang para milisi Irak.
Dalam tahun kelima itu saja, invasi AS mendapatkan perhatian lebih dari berbagai media massa di seluruh dunia dan para pengamat politik. Mayoritas berisi kritikan dan kecaman terhadap kebijakan perang Gedung Putih yang telah mengakibatkan jutaan rakyat Irak menderita dan kehilangan masa depannya.
Politik Hegemoni AS
Jutaan nyawa manusia melayang di Irak akibat kebengisan tentara AS menimbulkan tanda tanya besar. Kenapa negara yang disebut-sebut sebagai negara yang gencar mengumandangkan HAM, AS justru dengan tegak merampas kebebasan hidup rakyat Irak dengan melancarkan sejumlah serangan yang amat mematikan? Lalu, ada apa dengan AS?
Sebagian pengamat mengatakan, salah satunya Riza Shihbudi, pakar pengamat politik Timur Tengah, bahwa AS dalam menjalankan politik luar negerinya, terutama sekali yang berhubungan dengan dunia Timur Tengah selalu menggunakan politik hegemoni.
Keinginan untuk menghegemoni dunia, terutama sekali Timur Tengah mengakibatkan segala kebijakannya merugikan dan menyengsarakan bangsa-bangsa Arab. Karena, dalam pandangan AS, Timur Tengah, khususnya Irak adalah negara yang berpotensi akan mengancam kepentingan nasional AS.
Oleh karenanya, sebelum Irak lebih jauh dapat mengganggu kondisi dalam negerinya, AS terlebih dahulu harus melancarkan seranganya ke Irak. Dan slogan yang selalu dipakai AS adalah pertahanan yang paling ampuh adalah menyerang dan mendominasi.
Hegemoni politik AS di Timur Tengah juga terlihat dari penyelenggaraan KTT Ekonomi Timur Tengah dan Afrika Utara yang pertama di Casablanca, Maroko (Oktober 1994) yang berlangsung tidak lama sesudah pendandatanganan perjanjian damai Yordania-Israel.
Konferensi yang dihadiri semua negara Arab sekutu AS dan Israel ini resminya memang membahas prospek kerjasama ekonomi regional. Namun, pesan politis dari KTT MENA I sebenarnya adalah penegasan bahwa Israel sejak saat itu “sudah diterima” oleh para tetangga Arabnya.
Tembok Besar AS
Peringatan lima tahun invasi AS ke Irak seharusnya dijadikan bahan renungan bagi bangsa-bangsa dunia. Bahwa solusi damai merupakan cara dan satu-satunya jalan yang efektif untuk mengakhiri penderitaan bangsa Irak.
Namun, upaya untuk menemukan solusi damai itu selalu menghadapi tembok besar yang teramat kuat dan kokoh untuk dirobohkan, yaitu dominasi dan egoisme AS. Bahkan badan dunia sekelas Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pun tidak mampu berbuat sesuatu demi kebaikan masa depan rakyat Irak, demi kemanusiaan, dan demi martabat umat manusia.
Padahal otorisasi PBB kepada AS pada Agustus 2002 hanya untuk menghancurkan senjata pemusnah massal, bukan untuk menjatuhkan Saddam Husein, apalagi menduduki negara seribu satu malam itu.
Sikap Arif
Melihat kenyataan di atas, amat sulit bagi Irak untuk menghancurkan tembok besar AS yang semakin kuat dan kokoh itu. Kecuali dengan cara menolak segala kebijakan politik luar negerinya, terutama sekali kebijakan yang dapat mengusik ketentraman manusia. Upaya ini harus dilakukan oleh seluruh masyarakat dunia termasuk rakyat AS sendiri.
Sebab dengan menolak segala kebijakan politik luar negerinya secara otomatis AS akan mendapatkan tekanan, baik secara materi dan psikologis.
Dan yang lebih penting dari itu adalah sikap arif dan bijak dari seluruh jajaran pemerintahan AS, termasuk Bush untuk menghentikan dan menarik seluruh pasukannya dari Irak. Karena sikap arif ini sesungguhnya akan membawa kedamaian dan ketenteraman bagi rakyat Irak khususnya dan rakyat dunia pada umumnya.
Penutup
Pandangan Gus Dur dan Al Jabiri di atas, seyogianya jadi referensi untuk kita dan dunia dalam melihat persoalan Irak yang penuh kompleksitas.
Dalam peringatan lima tahun invasi AS ke Irak di masa lalu, Bush beserta jajarannya telah melihat segi-segi negatif akibat invasinya itu. Atas penderitaan yang dialami rakyat Irak, Bush dan Pemimpin AS sekarang (Joe Biden) harus menimbang dengan hati nuraninya dan atas nama kemanusiaan harus bersikap arif dan bijaksana, yaitu menghentikan perang dan mengadakan dialog damai dengan pemerintahan Irak.
AS telah memadamkan ISIS dan Al Qaeda di Irak, namun rekonstruksi dan pembangunan kembali Irak masih kacau balau pasca Saddam Hussein. AS/Barat harus tanggung jawab terhadap konflik berdarah di Irak yang masih berlangsung sampai hari ini. Irak harus berdaulat dan tidak boleh dicampuri asing secara berlebihan.
Hanya dengan cara demikian, masa depan rakyat Irak akan kembali di tangan bangsa Irak. Jika tidak, rakyat Irak akan kehilangan masa depan dan mengalami kebangkrutan/kehilangan satu-dua generasi bangsanya. Ataukah barangkali AS/Barat memang sengaja menghancurkan peradaban Baghdad-Abbasiyah itu? Mungkin hanya Gus Dur (alumnus Universitas Baghdad dan mantan Presiden RI) yang bisa meraba dan menjawabnya, sayang Gus Dur sudah tiada. Mari, Al-Fatehah untuknya. Wallahualambisawab.
(Tulisan ini ditulis bersama dengan Mohamad Asrori Mulky (Dosen Institute Teknologi dan Bisnis Ahmad Dahlan Jakarta) dan pernah diterbitkan di koran Investor Daily, Jum’at 5 Januari 2007)
Sumber: arrahim.id