Lantaran teknologi informasi, kita dibanjiri video terkait pandemi. Tentang kondisi rumah sakit, pemakaman, antre oksigen, razia satpol PP, kisah orang-orang yang menjalani isolasi mandiri (isoman), dan lain-lain. Yang ramai menuai perdebatan adalah video-video penolakan pembatasan kegiatan keagamaan.
Di sana, para pemuka agama yang gagah berani menyeru publik untuk bertindak berseberangan dengan protokol kesehatan, misalnya penolakan akan masker dan penolakan penutupan tempat ibadah. Ada pula video seseorang memaksa jemaah untuk merapatkan barisan (shaf) shalat Idul Adha, melanggar protokol jaga jarak.
Persoalan pembatasan kegiatan keagamaan sejatinya bukan hanya terjadi di Indonesia. Banyak kelompok agama memprotes kebijakan penutupan tempat ibadah di masa pandemi di seluruh dunia. Bedanya, persoalan-persoalan ini diselesaikan di pengadilan, semisal di Malawi, Uni Eropa, dan Amerika Serikat.
Dalam artikel berjudul ”Coronavirus and the Curtailment of Religious Liberty” (2020), Mark Hill QC mengelaborasi topik ini. Ia mencatat alasan pengaduan adalah bahwa penutupan tempat ibadah merupakan pelanggaran kebebasan beragama sebagai bagian dari hak asasi manusia. Kebijakan ini dipandang membuat umat beragama kehilangan kesempatan untuk menjalankan ajaran agamanya. Hill menyimpulkan beberapa argumentasi mengapa pembatasan kegiatan keagamaan diputuskan pengadilan sebagai tidak termasuk dalam pelanggaran HAM.
Argumen pertama, pembatasan diperlukan untuk menjaga keselamatan jiwa dan kemaslahatan bersama dalam konteks kegentingan pandemi, dan tidak permanen. Argumen kedua, pembatasan tidak diskriminatif menargetkan agama tertentu, tetapi diberlakukan kepada semua kelompok agama. Argumen ketiga, pembatasan tidak dilakukan total terhadap keseluruhan ajaran satu agama tertentu, tetapi hanya pada aspek berkumpul di tempat ibadah.
Dari berbagai kasus ini, terlihat kecenderungan untuk memaknai kebebasan beragama menjadi kebebasan tanpa batas. Ini berbanding lurus dengan pemaknaan demokrasi sebagai kebebasan tanpa aturan, yang berbuah sikap saling menuntut dan sewenang-wenang antarkelompok.
Ada beberapa alasan kelompok agama menolak pembatasan kegiatan keagamaan. Dalam konteks di atas, penolakan didasarkan pada perspektif diskriminasi dan pelanggaran kebebasan beragama. Alasan berikutnya, banyak kelompok khawatir jemaatnya tidak akan kembali saat pembatasan sudah dicabut. Hal ini terutama terjadi pada gereja-gereja di AS yang sedang mengalami pasang surut jemaat.
Alasan lain yang juga cukup dominan di Indonesia adalah kekhawatiran para pemuka agama terhadap nasib umatnya bila tidak mendapatkan asupan spiritual. Ritual misa, puja bhakti, kebaktian, jemaah, dan lain-lain adalah ritual bagi umat untuk memperkuat spiritualitasnya. Penutupan tempat ibadah diyakini oleh para pemuka agama akan membuat umat kehilangan panduan tersebut.
Alasan terakhir, yang justru mendominasi narasi-narasi dalam video viral di Tanah Air, adalah narasi ketaatan dan ketakutan. Argumen ”Takutlah kepada Tuhan, jangan takut kepada pemerintah” menjadi narasi utama yang diindoktrinasikan kepada umat yang awam dan tidak kritis.
Sesungguhnya ini adalah narasi lama yang merupakan narasi dasar kelompok ultrakonservatif dari agama mana pun, yang mempromosikan Religion First (agama adalah satu-satunya panduan hidup yang sudah lengkap dan di atas segala-galanya). Bila tidak ada dalam ajaran agama versi tafsirnya, sesuatu dianggap tidak relevan. Ini terefleksikan dalam twit kontroversial seorang penceramah: ”Membela nasionalisme nggak ada dalilnya”.
Pandangan ini meletakkan dimensi beragama dan dimensi bernegara secara hierarkis. Ia mendorong umat beragama untuk tunduk secara total kepada ajaran agama, dan mengabaikan aturan negara yang dianggap bertentangan dengan tafsir teks agama yang dipromosikan. Sebagai ilustrasi, di Indonesia banyak kita temukan perkawinan tak tercatat dilakukan oleh remaja atas arahan pemuka agama dengan argumen ”Yang penting sah secara agama. Manutlah hanya kepada Tuhan, tidak perlu manut kepada pemerintah”.
Sebagai pembanding, dalam ajaran Trilogi Ukhuwah dari KH Ahmad Siddiq, setiap Muslim menjaga tiga ukhuwah secara sinergis: ukhuwah islamiyah (persaudaraan sesama Muslim), ukhuwah wathoniyah (persaudaraan sesama warga bangsa Indonesia apa pun latar belakangnya), dan ukhuwah basyariah (persaudaraan kemanusiaan).
Dengan perspektif ini, kita menempatkan dimensi beragama dengan bernegara secara seimbang, sebagaimana disampaikan KH Hasyim Asy’ari, ”Agama dan nasionalisme adalah dua kutub yang tidak berseberangan. Keduanya saling menguatkan.”
Di masa pandemi, pandangan ”Takutlah kepada Tuhan, jangan takut kepada pemerintah” menemukan momentumnya. Narasi ini memberi justifikasi untuk tidak takut melanggar protokol kesehatan, dan bahkan untuk melanggar aturan pemerintah dan melawan negara.
Ini tentu saja satu persoalan serius. Bila tidak direspons dengan efektif, narasi ini akan semakin kuat. Di saat nanti pandemi ini berakhir, narasi ini bisa jadi sudah menjadi paradigma masif dan berlaku secara umum. Kita bisa bayangkan apa yang akan terjadi saat aturan dan kebijakan negara tidak lagi diikuti.
Sebagai respons, pemerintah mengembangkan upaya penguatan moderasi beragama untuk mengembalikan praktik beragama dan berbangsa yang adil dan seimbang. Tetapi gerakan ”Takutlah kepada Tuhan, jangan takut kepada pemerintah” dibangun dari gerakan sosial, dan karenanya hanya bisa ditandingi dengan gerakan sosial pula. Diperlukan upaya lebih keras dari berbagai lapisan agar praktik beragama yang moderat kembali dipilih oleh sebagian besar umat beragama di Indonesia.
Pandemi ini rupanya bukan hanya ajang perang manusia dengan tsunami Covid-19, tetapi juga menjadi medan kontestasi paham keberagamaan. Sungguh dahsyat si mungil virus corona 2 ini.
(Artikel ini dimuat pertama kali di rubrik “Udar Rasa” Kompas, 25 Juli 2021)
Sumber: kompas.id