Social Media

Gus Dur: Jangan Jual Tanahmu!

Frasa di atas hanyalah imajinasi saya. Almarhum Gus Dur tidak mengatakan persis seperti itu kepada Gus Maksum, pemimpin Pondok Pesantren Abil Hasan, salah satu pondok pesantren yang tenggelam di bawah lumpur Lapindo. Hanya saja, kira-kira seperti itulah maksudnya berdasarkan apa yang saya tangkap setelah beberapa kali obrolan dengan Gus Maksum.

Dalam beberapa kali kunjungan kami ke rumah yang sekaligus menjadi pondok baru buat para santrinya, Gus Maksum selalu menyambut dengan senyum persahabatan yang khas dan mengayomi. Dia sangat terbuka dalam bercakap-cakap dengan intonasi yang tak pernah menggurui. Padahal, dalam keseharian ia adalah seorang guru, mengingat bahwa ia adalah kiai di kantong masyarakat Nahdlatul Ulama, Jawa Timur. Akan tetapi hal tersebut tampaknya tidak menjadikan Gus satu ini merasa lebih tahu dari yang lain tentang berbagai hal.

Sebelum terjadinya bencana lumpur, Gus Maksum mengelola Pondok Pesantren Abil Hasan di Desa Jatirejo. Pondok Pesantren tersebut adalah peninggalan dari mertuanya, almarhum Kiai Anas Al-Ayyubi. Pada tahun-tahun sebelum lumpur, pondok yang dikelola secara kekeluargaan tersebut memiliki santri melebihi 300 orang. Akan tetapi bencana lumpur telah mengerdilkan mereka. Ketika pada tahun 2007 mereka pindah ke daerah Krembung, lokasi pondoknya yang sekarang, Pondok Pesantren Abil Hasan tinggal memiliki sekitar 180 orang santri. Waktu berjalan, pada pertengahan tahun 2009 santrinya menyusut menjadi sekitar 100 orang.

Bukanlah urusan yang mudah memindahkan sebuah pondok pesantren. Karena pesantren tampaknya terikat dengan tanah tempat ia dilahirkan. Jalinan itu begitu kuat, hingga para santri tidak bisa begitu saja meninggalkan tanah asal pondok mereka. Berbagai hal yang mengikat mereka. Dalam kasus Pondok Pesantren Abil Hasan ini, maka kuburan sang pendiri pondok, Kiai Anas Al-Ayyubi lah yang menjadi penghubung itu. Begitu banjir lumpur terjadi, maka  tenggelamlah makam sang kiai pendiri pondok, tanpa sisa, hilang ditelan lumpur panas.

Akan tetapi, tampaknya memori manusia memang tak sependek ususnya. Begitu lumpur yang menggenangi posisi kuburan Almarhum mengering, dalam waktu yang sangat singkat keberadaan kuburan tersebut sudah ditandai ulang di permukaan lumpur, dibuatkan bangunan yang baru, dan para santri pun berziarah ke sana.

Kalau suatu ketika Anda memiliki kesempatan untuk mengunjungi tanggul lumpur Lapindo, maka apabila anda melihat di tengah sana, di bekas Desa Jatirejo yang terpendam lumpur yang sudah mengering dan mulai retak-retak seperti kue, anda melihat orang menziarahi sebuah kuburan, maka itulah kuburan Almarhum.

Satu langkah dari permasalahan kuburan, masalah tanah adalah hal lain. Sejak terjadinya bencana lumpur Lapindo, banyak kelompok korban yang bermunculan dengan tuntutannya masing-masing. Sebut saja Geppres, GKLL, Gempur 4D, BKL, dan Pagar Rekorlap. Kesemua kelompok tersebut menerima skema yang ditawarkan dalam tiga edisi peraturan presiden yang intinya memposisikan warga korban lumpur untuk menjual aset mereka, baik kepada PT Lapindo Brantas Inc. (LBI), maupun kepada negara.

Akan tetapi, di tengah hiruk-pikuk transaksi jual beli tanah dan bangunan yang telah tenggelam, ada satu kelompok yang konsisten tidak menjual tanah mereka kepada PT LBI, yaitu kelompok Paguyuban. Semua anggota kelompok Paguyuban ini adalah santri dari almarhum Kiai Anas Al-Ayyubi. Dengan pemimpin mereka yang sekarang, Gus Maksum itulah.

Menurut Gus Maksum, ada dua hal utama yang membuat mereka tidak menjual aset yang telah tenggelam kepada PT LBI. Pertama, karena sudah merupakan kesepakatan antar warga Desa Jatirejo. Kedua, karena hal itu adalah saran dari almarhum Gus Dur. Gus Dur meyakinkan Gus Maksum bahwa suatu ketika mereka akan mendapatkan keuntungan yang jauh lebih besar dari aset-aset mereka yang telah tenggelam. Anggota Paguyuban pun percaya bahwa nun di bawah sana, di bawah kampung mereka yang telah lenyap, terdapat kandungan minyak dan gas yang sangat banyak.

Dalam bukunya yang berjudul Titanic Made by Lapindo, Gus Maksum menceritakan pertemuannya dengan Gus Dur secara sangat lirih, “…,Gus Dur, grandson of the man known in Indonesia as the Great Teacher, K.H. Hasyim Asy’arie, embraced me, causing my heart to race. I had met him to talk about the disaster but, for a moment, I forgot all my suffering…” Dan setelah seteguk teh, Gus Dur memberikan nasehat, “If they are patient and can wait for the next 5-10 years, the people of Jatirejo should become rich due to their share of the ownership.” Tampaknya kalimat itulah yang menjadi pegangan Gus Maksum dan anggota Paguyuban.

Menurut Gus Maksum, pada awalnya hampir semua warga korban lumpur berkomitmen untuk tidak menjual aset mereka kepada PT LBI. Warga hanya meminta ganti rugi. Akan tetapi begitu harga tanah untuk jual beli dibuka, maka berbondong-bondonglah warga menjual asetnya yang telah tenggelam kepada PT LBI. Tanpa menyalahkan warga yang berbondong-bondong menjual asetnya tersebut, kelompok Paguyuban tetap bertahan dalam pendirian mereka. Pada akhir tahun 2009 anggota kelompok ini masih sekitar 46 berkas sertifikat. Dalam kasus Porong, sertifikat tidak paralel dengan kepala keluarga, karena kadang-kadang satu sertifikat bisa saja dimiliki secara bersama oleh dua atau bahkan lima kepala keluarga.

Tentu saja bukan jalan mudah bagi kelompok Paguyuban untuk tetap bertahan dalam pilihan mereka yang tampaknya merupakan pilihan paling “radikal” dari semua kelompok korban lumpur Lapindo yang timbul. Selain harus menghadapi persoalan ekonomi karena hancurnya institusi sosial dan ekonomi yang selama ini menopang keberadaan mereka di Desa Jatirejo seiring dengan terjadinya banjir lumpur, para anggota Paguyuban masih harus menghadapi olok-olok dari anggota kelompok korban lumpur yang lain yang menganggap mereka bodoh karena tidak mau menjual aset mereka yang telah tenggelam.

Rambut boleh sama hitam, tetapi hati siapa yang tahu. Sekalipun diolok-olok sana-sini, akan tetapi kelompok ini tetap konsisten bertahan dalam jalan tak mudah yang telah mereka pilih, tiga tahun lebih sejak terjadinya banjir lumpur. Dan tiga tahun lebih bukanlah waktu yang singkat apabila kita menunggu sesuatu.

Bagi kita, di tengah dunia yang bersicepat dan berhitung, mari kita lihat apa yang akan terjadi dengan Paguyuban dan pilihannya. Sembari berdo’a bagi Gus Dur, mungkin kita juga akan menyaksikan apatah kelak anggota kelompok Paguyuban ini akan mendapatkan bagian mereka seperti yang dikatakan Gus Dur. Dan kalau hal ini terjadi, memang Gus Dur adalah Gus Dur, selalu tahu bagaimana cara memenangkan sebuah perjuangan, bahkan dari alam sana sekalipun.

Anggota Serikat Tani Kota Semarang. Geolog lulusan Universitas Gadjah Mada (2005), master pengairan dari KU Leuven/ Vrije Universiteit Brussels, Belgia (2012), dan kandidat doktoral dari IHE-Delft/ University of Amsterdam.