Di dalam buku yang sudah menjadi klasik, Pergolakan Pemikiran Islam Indonesia, (alm.) Ahmad Wahib pernah menyatakan bahwa umat Islam perlu memperbanyak bid’ah kultural. Bid’ah kultural adalah suatu kreativitas kultural yang dibutuhkan sebagai respons tepat terhadap kebudayaan manusia yang bersifat dinamis. Menghindar dari bid’ah kultural atas nama apa pun hanya akan terjerembab ke dalam konservatisme.
Pandangan Wahib di atas bukan tanpa alasan. Sekalipun tulisan Wahib disusun dalam konteks pembicaraan atas ritus-ritus keagamaan yang menurutnya tak ada ritus yang tidak bersentuhan dengan aspek budaya saat ia dilaksanakan, tapi apresiasinya yang kuat atas bid’ah kultural membuka pada perbincangan tentang kebudayaan Islam secara luas. Apa yang disebut dengan kegemilangan budaya Islam, misalnya supremasi peradaban Islam masa lalu di era Umayyah dan Abbasiyah, adalah hasil kumulatif dari berbagai inovasi kreatif (bid’ah) kebudayaan yang dilakukan oleh umat Islam di masa lalu. Dalam perjalanannya, umat Islam bersentuhan dengan bangsa-bangsa lain dan menjumputi unsur-unsur luar untuk dikembangkan secara kreatif menjadi kekayaan budaya yang luar biasa megahnya. Pengetahuan, teknologi, serta seni Islam yang megah di masa lalu bukanlah anugerah Tuhan dari langit yang turun secara tiba-tiba di luar lintasan ruang dan waktu. Kegemilangan seni arsitektur dan kaligrafi, misalnya, adalah buah dari proses kreatif para Muslim yang berpikiran terbuka ketika berjumpa dengan berbagai kebudayaan bangsa lain.
Dalam konteks bid’ah kultural inilah saya ingin berbagai cerita tentang perayaan malam pergantian tahun 2018 ke 2019 di keluarga besar saya (extended family). Selain saat lebaran, tidak banyak waktu bagi kami untuk bisa berkumpul bersama dengan keakraban dan keriangan yang intens karena masing-masing dari kami memiliki kesibukan sendiri-sendiri. Oleh karena itu, kalau ada libur panjang biasanya kami bersepakat untuk berkumpul di rumah ibu, seperti malam pergantian tahun beberapa hari lalu. Saya dan saudara-saudara lain bersepakat membawa anak dan cucu (bagi yang sudah punya cucu) untuk menghabiskan malam tahun baru di rumah ibu.
Kami shalat maghrib berjamaah. Setelahnya, dengan dipimpin oleh kakak tertua, kami melakukan istighasah lalu dilanjutkan dengan melantunkan shalawat. Momentum shalawatan selalu adalah keriangan tersendiri. Kami semuanya berdiri melingkar dan melantunkan marhaban ya nural aini…. Sebagian cucu dengan senang hati menabuh terbang untuk mengiringi lantunan marhaban sehingga kami semua tetap dalam irama yang kompak. Kami semua riang gembira di malam tahun baru. Ibu yang sudah tidak bisa berdiri, hanya duduk di tikar mengawasi anak-anak dan cucu-cucunya yang sedang riang bershalawat dengan air muka yang sumringah.
Kami kemudian makan bersama hidangan yang sudah disiapkan berupa opor ayam dan nasi ketan. Di antara kami menyebutnya ini sebagai selamatan tahun baru. Selamatan ini adalah semacam tasyakuran karena selama satu tahun kami semua dilimpahi rahmat dan keselamatan. Tentu saja, sebelum makan kami berdoa semoga tahun depan kami bisa menjalani hidup yang lebih baik.
Acara keluarga tetap berlanjut dengan melihat keriangan para cucu yang bernyanyi dan menari-menari. Di antara kami diam-diam bersepakat untuk tetap berjaga menunggu jam pergantian tahun. Ketika jarum jam menunjukkan angka 12.00 tengah malam, terdengar suara ledakan kembang api di luar sana. Kami semua berdiam sebentar untuk berdoa yang dilanjutkan dengan saling bersalaman dan mengucapkan selamat ulang tahun.
Bid’ah? Tentu saja, jika bid’ah didefinisikan perilaku yang tidak pernah dilakukan oleh Kanjeng Nabi Muhammad. Nabi Muhammad tentu saja tidak pernah merayakan tahun baru masehi dengan istighasah, marhabanan, dan saling mengucap “selamat tahun” tepat di malam pergantian tahun masehi. Tapi yang kami lakukan adalah sesuatu yang disebut oleh Wahib dengan istilah bid’ah kultural. Kami melakukan aktivitas budaya yang tidak mungkin dilacak ke tanah Mekkah di abad ke-7 Masehi. Yang kami lakukan adalah merawat kekeluargaan kami, menghormati ibu, menyanyikan pujian kepada Nabi, dan berdoa untuk kebaikan bersama, yang semuanya dipadu dengan kegembiraan malam tahun baru.
Besoknya, kami akan menjalankan bid’ah-bid’ah yang lain: pergi ke sekolah, berangkat ke kantor, naik motor, dsb., tanpa kebingungan bahwa rakaat shalat subuh adalah dua. Jika ada yang tanya, apakah kami merayakan tahun baru hijriah? Jangan khawatir, kami juga sudah terbiasa melakukan bid’ah yang satu itu, yaitu merayakan tahun baru Islam.