Kontekstualisasi Aswaja sebagai Manhaj Al-Fikr

Kemoderatan Ahlussunnah wal Jama’ah (Aswaja) tercermin pada wacana berpikir yang selalu menjembatani antara wahyu dengan rasio. Metode (manhaj) seperti inilah yang diimplementasikan oleh imam empat madzhab serta generasi lapis berikutnya dalam menelurkan hukum-hukum pranata sosial. Pertama sifat tengah-tengah (tawassuth), yaitu sikap tengah-tengah (mediasi) yang tidak mengandung keberpihakan terhadap ekstremisme kanan (radikalisme) atau ekstremisme kiri (liberalisme). (Irawan, 2018)

Dalam Al-Qur’an surat Al-Baqarah dijelaskan: “Dan demikian (pula) kami telah menjadikanmu (umat Islam) umat yang penengah, agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu.” (QS. Al-Baqarah: 143) Kedua netral (tawazun) Aswaja berkaitan dengan sikap mereka dalam politik Aswaja tidak selalu membenarkan kelompok garis keras (ekstrem).

Akan tetapi jika berhadapan dengan penguasa yang lalim, mereka tidak segan-segan mengambil jarak dan mengadakan aliansi. Dalam kata lain, suatu saat mereka bisa akomodatif, dan suatu saat bisa lebih dari itu, meskipun masih dalam batas tawazun. Dalam Al-Qur’an dijelaskan: “Sesungguhnya kami telah mengutus rasul-rasul kami dengan membawa bukti-bukti yang nyata dan telah kami turunkan bersama mereka Al-Kitab dan Al-Mizan (keseimbangan) supaya manusia dapat melaksanakan keadilan.” (QS. Al-Hadid: 25).

Ketiga keseimbangan (ta’adul) Aswaja terefleksikan pada kiprah mereka dalam kehidupan sosial, cara dalam bergaul serta kondisi sosial-budaya mereka. Begitu pula sikap toleran Aswaja tampak dalam pergaulan dengan sesama muslim yang tidak mengkafirkan ahlul qiblat serta senatiasa ber-tasamuh terhadap sesama manusia pada umumnya. (Amirudin, 2019) Dalam Al-Qur’an disebutkan: “Hai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu menjadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap suatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil lebih dekat takwa. Dan bertakwalah kepada Allah sesungguhnya Allah maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al-Maidah: 8).

Oleh sebabnya berpikir semacam ini harus menjadi sebuah manhaj, sebuah landasan dalam melihat dan memahami segala hal teks maupun konteks dalam kehidupan sosial masyarakat. Memahami kutub al-fiqh (kitab-kitab fikih) misalnya; kita akan menemukan redaksi yang relatif sama pada pembahasan jihad, yakni “Hukum jihad adalah wajib kifayah jika orang kafir masih berada di luar negara Islam dan menjadi wajib ain bagi seorang muslim, jika orang kafir tersebut telah masuk ke negara Islam.” Kemudian apakah kita akan langsung menghujat dan membantai orang-orang non-muslim yang berada di Indonesia, tanpa melalui keseimbangan berpikir? Perlu kita cermati, dalam redaksi kitab-kitab turats tersebut sering menyebut kata “Dar al-Islam” (religion state). Namun faktanya saat ini kita ada dalam pusaran sistem nation state, bukan religion state.

Wahbah Zuhaili menuliskan pernyataan yang patut untuk direnungkan dalam karyanya, Mausu’ah Fiqh al-Islam wa al-Qodlaya al-Ma’ashirah: “Apakah kewajiban melakukan jihad itu bersifat selamanya ataukah saat ini telah dihapus hukum kewajiban jihad tersebut? Sebagian ahli siyasah kontemporer menjelaskan bahwasanya kewajiban melakukan jihad saat ini telah gugur dari beberapa macam bentuk kewajiban dalam agama Islam.” Pernyataan yang dikutip oleh Wahbah Zuhaili merupakan contoh dari praktik manhaj al-fikr Aswaja. Berpikir kontekstual, behind the text (makna di balik teks) atau bahkan beyond the text (keluar dari teks).

Gaya berpikir semacam ini akan membuahkan produk pemikiran yang dinamis dan progresif. Dasar hukum di setiap aliran keagamaan, dalam Islam khususnya tentu memiliki ciri khas tersendiri dalam permasalahan epistemologi hukum. Aswaja dalam permasalahan sumber pengambilan hukum, meskipun di dalamnya terdapat beberapa madzhab fikih, secara global sumber-sumber hukumnya ada empat, yaitu: Al-Qur’an As-Sunnah Ijma’ dan Qiyas Al-Qur’an sebagai sumber pertama dalam istinbath hukum tidak diragukan keabsahan nash-nya secara naqli.

Sedangkan As-Sunnah sendiri dalam hal sumber hukum mempunyai tingkat kekuatan hukum yang bervariasi, dari yang shahih sampai dla’if. Ijma’ dalam sumber hukum Islam menjadi sangat penting, contohnya bagaimana kita ketahui bahwa penetapan derajat mutawatir, masyhur, dan ahad dalam sebuah hadis erat kaitannya dengan kesepakatan (al-Ijma’) sahabat. Tanpa kesepakatan terhadap keabsahan suatu hadis, tidak mungkin suatu hadis dapat mencapai derajat mutawatir. Dalam sebuah hadis Nabi SAW mengatakan: “Umatku tidak akan bersepakat terhadap ketidakbenaran dan kesesatan.”

Qiyas sebagai sumber hukum Islam merupakan salah satu hasil ijtihad para ulama. Qiyas adalah mempertemukan sesuatu yang tidak ada nash hukumnya dengan hal lain yang tidak ada hukumnya, karena ada persamaan illat hukum. Akan tetapi qiyas yang dimaksud di sini tidak sekedar qiyas yang elementari (dasar). Oleh karena itu tidaklah berlebihan qiyas pada masa Imam Syafi’i menempati posisi yang dominan dalam berijtihad maupun dalam pengembangan konsep ilmu pengetahuan.

Jika kita mau melihat pada kitabnya Abdul Wahab Kholaf, Ilmu Ushul Fiqh, maka kita akan melihat varian dasar pengambilan hukum yang lain yang bersifat ikhtilaf. Seperti istihsan, maslahah mursalah, urf, aqwal as-sohabah, dan syar’u man qablana. Semua itu adalah metode istinbath al-hukm (penggalian hukum) yang digunakan oleh golongan Ahlu Sunnah Wal jamaah. Beberapa sikap yang disebutkan di atas adalah rumusan para ulama yang disebut Mabadi’ Khoiru Ummat atau beberapa sikap dasar umat terbaik. Sementara proses pengambilan hukum dari sumber-sumber yang terpercaya harus melewati pintu-pintu yang banyak.

Oleh sebab itu tidak mudah untuk menyimpulkan bahwa Aswaja adalah manhaj berpikir melainkan perlu ketekunan yang luar biasa. Dari panjangnya pembahasan ini dapat disimpulkan bahwa menjadi pakar dalam konsen kajian Aswaja sangat tidak mungkin apabila dipelajari dengan instan, kelemahan kelompok-kelompok sekarang adalah kurangnya mendalami suatu fan (bidang) ilmu namun sudah berani untuk menyebarluaskan. Di fase ini wajar apabila terjadi matinya kepakaran. Wallahu alam

Penggerak GUSDURian Semarang. Alumnus Ponpes Apik Kaliwungu dan Ponpes MUS Sarang.