Sebagai orang yang tumbuh dalam lingkungan masyarakat yang heterogen, bagi saya, toleransi tidak sekadar teori yang dipelajari, namun merupakan laku hidup yang sudah dijalani sejak kecil. Interaksi dengan teman-teman non-Muslim dan tetangga non-Muslim tanpa disadari membentuk laku beragama yang ramah kepada sesama manusia tanpa pandang status agamanya.
Masyarakat Bolaang Mongondow Selatan (Bolsel), khususnya Pinolosian, memang termasuk masyarakat yang multi-agama: ada umat Muslim, Kristiani, dan Hindu. Kabar baiknya, masyarakat menjalani hidup dengan aman dan damai dalam keberagamaan.
Kehidupan aman dan damai dalam simpul toleransi mewarnai keberagamaan di Bolsel. Sehingga, tidak berlebihan, jika pemerintah membangun masjid, gereja, dan pura dalam satu kompleks sebagai simbol ikonik Bolsel daerah toleransi. Karena, ya memang begitu adanya. Namun, ini bukan berarti bahwa Bolsel terlepas dari bahaya bibit-bibit intoleransi. Tetap harus mawas dengan bahaya intoleransi, sehingga ajaran beragama yang ramah, dalam hal ini Islam ramah, perlu untuk terus disuarakan.
Mempelajari ajaran kemanusiaan Gus Dur akan semakin meneguhkan laku toleransi dalam diri. Bagaimana tidak, melihat sosok dan pemikiran Gus Dur memberi pemahaman bahwa berislam tidak perlu dengan marah-marah, namun cukup dengan ramah, baik itu kepada sesama Muslim maupun non-Muslim.
Nur Kholik Ridwan dalam Ajaran-ajaran Gus Dur menjelaskan, “Kemanusiaan bersumber dari pandangan ketauhidan bahwa manusia adalah makhluk ciptaan Tuhan paling mulia yang dipercaya untuk mengelola dan memakmurkan bumi. Kemanusiaan merupakan cerminan sifat-sifat ketuhanan. Kemuliaan yang ada dalam diri manusia mengharuskan sikap untuk saling menghargai dan menghormati. Memuliakan manusia berarti memuliakan penciptanya, demikian juga merendahkan dan menistakan manusia berarti merendahkan dan menistakan Tuhan Sang Pencipta. Dengan pandangan inilah, Gus Dur membela kemanusiaan tanpa syarat apa pun.”
Satu hal yang sering disalahpahami adalah memandang kemanusiaan Gus Dur yang tidak membatasi sekat dengan non-Muslim, melainkan melihatnya berangkat dari keimanan yang lemah. Padahal sebaliknya, ajaran kemanusiaan Gus Dur justru berangkat dari keimanan yang kuat. Ketauhidan mengajarkan bahwa manusia adalah ciptaan Allah SWT, sehingga memuliakan manusia sama halnya memuliakan pencipta-Nya. Dan, sebab keimanan yang kuat kepada Allah yang Maha Kasih, sehingga spirit kehidupan juga dilandasi semangat untuk menebar kasih kepada manusia sekalipun itu non-Muslim.
Sabda Nabi Muhammad SAW: “Sayangilah siapa saja yang ada di muka bumi, niscaya akan disayangi yang di langit (Allah SWT).”
Ajaran kemanusiaan Gus Dur yang tanpa memandang status agama, bukan berarti ingin menyamakan semua agama. Gus Dur tetap mengakui perbedaan dalam beragama. Sebagaimana Gus Dur dalam Islamku, Islam Anda, Islam Kita menjelaskan, “Tentu saja, adanya berbagai keyakinan itu tidak perlu dipersamakan secara total, karena masing-masing memiliki kepercayaan/aqidah yang dianggap benar.” Di Indonesia, ada agama Islam, Kristen, Hindu, Budha, dan Kong Hu Chu. Itu semua jelas merupakan agama yang berbeda. Namun, bagi Gus Dur, “…perbedaan merupakan sebuah hal yang diakui Islam, sedangkan yang dilarang adalah perpecahan….”
Jadi perbedaan agama tidak pantas dijadikan alasan untuk berpecah-belah. Islam sendiri menghendaki persatuan demi wujudnya kehidupan yang damai. Sebagaimana Gus Dur menjelaskan, “Perbedaan keyakinan tidak membatasi atau melarang kerja sama antara Islam dan agama-agama lain, terutama dalam hal-hal yang menyangkut kepentingan umat manusia. Penerimaan Islam akan kerja sama itu, tentunya akan dapat diwujudkan dalam praktek kehidupan apabila ada dialog (kerukunan) antaragama….”
Umat Muslim dengan pemeluk agama lain jelas berbeda secara akidah. Namun, pada dasarnya sama-sama menghendaki kedamaian dalam kehidupan umat manusia. Sehingga, “kemanusiaan” menjadi perjumpaan dialog antaragama. Sebagaimana Gus Dur menjelaskan, “…karena masing-masing (agama) memiliki keharusan menciptakan kesejahteraan lahir (keadilan dan kemakmuran) dalam kehidupan bersama, walaupun bentuknya berbeda-beda. Di sinilah, nantinya, terbentuk persamaan antaragama, bukannya dalam ajaran/akidah yang dianut, namun hanya pada tingkat capaian materi (kemanusiaan).”
Kemanusiaan menjadi simpul perekat kerukunan antarumat beragama. Kita berbeda dalam kepercayaan ketuhanan, namun sama-sama menghendaki kehidupan damai yang saling menghormati sesama manusia. Dari sinilah upaya untuk terus merawat laku toleransi antarumat beragama dapat dibangun dan dijaga.