Belajar Kesederhanaan dan Arti Cukup dari Sosok Pak Ndut

Ketika pertama kali melihat potongan video pendek yang hanya 30 detik berisi wawancara antara salah seorang santri dengan Pak Ndut, ingatan saya langsung terlempar pada kalimat Romo Mangunwijaya. Mas Marwan atau kerap disapa Pak Ndut adalah penjaja angkringan yang sangat setia demi menyediakan makanan bagi para santri, meski ia sendiri memiliki keterbatasan kakinya untuk berjalan.

Dalam video tersebut Pak Ndut berujar “Nek kerjo niku golek duit, nek kulo niku mboten kerjo ning diparani duwit. Lha niku bedane kerjo kalih mboten kerjo” (Kalau bekerja itu mencari uang, kalau saya yang berjualan ini bukanlah kerja (sebab) dihampiri uang. Itulah beda kerja dengan yang tak bekerja.

Pak Ndut kemudian meneruskan dengan harapan-harapannya yang amat sederhana, “Nggih Insyaallah rezeki enten terus, saget nglayani anak pondok sedanten. Sekedik-sekedik saget nyukupi sedayanipun. Kabeh do komanan maem“. (Ya, Insyaallah rezeki ada terus, bisa melayani santri-santri pondok semua. Sedikit demi sedikit bisa mencukupi semuanya (kebutuhan dasar).

Lamat-lamat saya teringat dan mencoba mencari narasi lengkapnya kemudian. Kira-kira seperti ini:

“Bahwa tokoh sejarah dan pahlawan sejati harus kita temukan kembali di antara kaum rakyat biasa yang sehari-hari, yang barang kecil dalam harta maupun kuasa, namun besar dalam kesetiaannya demi kehidupan”. (Y.B. Mangunwijaya, Impian dari Yogyakarta)

Barangkali Pak Ndut adalah satu dari sekian pahlawan yang tertemukan dalam hidup saya seperti dimaksud oleh Romo Mangun. Pak Ndut ini adalah orang ‘abangan’ dan dengan keterbatasannya dalam berjalan ia menjajakan makanan angkringan yang biasa dulu -hingga kini- menyediakan makan murah untuk santri.

Sebagai perbandingan, dulu (tahun 2015-2017-an) nasi kucing seribuannya banyak dibandingkan dengan harga nasi kucing piringan seharga 3-5 ribu di warung biasa. Karena perut yang normal ketika memakannya sebungkus saja memang benar-benar cukup. Belum dagangannya yang lain.

Saya masih teringat dengan koran cetak yang ia beli setiap hari tanpa pernah sekalipun ia lupa membeli. Entah dengan niat apa Pak Ndut membeli koran cetak walau ia jelas punya akses informasi dari gawainya. Tapi jelas bagi santri, koran adalah satu-satunya akses informasi luar yang sah digunakan sebab menggunakan gawai dilarang.

Sederhana nan Setia

Saya hanya ingin menuliskan bahwa laku aktualisasi pengabdian atas nilai yang dipercayai seseorang sebenarnya tak mengenal kelas-kelas sosial sama sekali. Di lain sisi saya juga sesak dengan romantisisme filantropi kelas menengah yang terlalu dilebih-lebihkan dan cerewet, jika mau jujur.

Kedua hal di atas amat problematis di pikiran saya, sampai tulisan ini dibuat. Bagaimana tidak? Kita biasa munduk-munduk, banyak mengucap terima kasih, kaget, menyanjung, dan polah kekanakan lainnya jika kita dapati seseorang menyumbang dengan nominal uang yang menurut kita banyak.

Ini pararel juga dengan diri yang kagetan dengan figur kaya raya tapi humble, terlihat sederhana, mudah bergaul, tapi jelas kekayaannya dengan akumulasi culas mengeksploitasi alam secara ngawur, memanfaatkan kemiskinan orang lain, plus tak memenuhi hak pekerja yang kadang dimanipulasi dengan membuka lapangan kerja baru.

Kita kembali kepada donasi yang banyak tadi. Berapa? Sejuta? Dua juta? 15 juta? 1 miliar? Lalu apa dan bagaimana implikasi dari ‘yang banyak’ itu untuk transformasi sosial (mashlahat ummat)? Mentok jika beruntung masjidnya bagus dan ini jelas irasional. Jika buntung dananya digunakan mendanai pelatihan kader teroris untuk mencelakai peradaban, bukan?

Pertanyaannya lagi, lalu ‘yang banyak’ yang kita sebut tadi seberapa dari total kekayaan yang ia punyai? Jangan-jangan ia bagian dari 1% dari orang kaya Indonesia yang menguras total 50% kekayaan negaramu dengan culas?

Lalu kita masih skeptis dengan apa implikasi kongkrit dari aktualisasi pengabdian sosok Pak Ndut dan figur kecil lainnya seperti petani, buruh, dan nelayan?

Di lain sisi kita juga mendengar dan melihat aspirasi berisik dari para ‘invisible hand-nya’ kapitalisme ketika ia berfilantropi. Untuk keabsahan realita ini coba kita cek timeline medsos masing-masing. Semua yang dianggap sebagai ‘yang enak dan sulit tercapai’ baginya pasti diminta sebagai imbalan pengorbanan sedekahnya. Mirip logika penggandaan. Dan bisa kita lihat bahwa semua orientasi aspirasinya selalu kembali kepada dirinya sendiri.

Lain halnya dengan kesederhanaan dari Pak Ndut. Apa yang ia harap? Untuk dirinya sendiri? Atau siapa? Lalu siapa yang benar-benar ikhlas, jika kita sepakat bahwa konotasi kata ikhlas adalah murni, bersih, dan integritas?

Hingga hari ini, modernisme memang menjadi orkestrasi besar pemangkas kemurnian nilai luhur. Beruntungnya kita masih diberi contoh kongkrit dari yang ‘biasa nan setia’ seperti Pak Ndut. Hitungan mekanistik laiknya penjual biasa saja tak cukup untuk angkringannya bertahan hingga haru ini kecuali berkat kecintaanya yang amat besar kepada para santri.

Terakhir, laiknya kita memperlakukan seorang yang telah memberi ‘yang banyak’ tadi dengan munduk-munduk, banyak mengucap terima kasih, kaget, menyanjung, dan polah kekanakan lainnya. Apakah sebaiknya kita juga melakukannya terhadap figur ‘biasa nan setia dengan kehidupan’ seperti Pak Ndut?

Belajar dari Gus Dur bahwa menghormati dan menyayangi manusia cukup melihatnya sebagai manusia. Artinya, sejauh kita dapat berdamai dalam perbedaan identitas yang melekat, mengapa tidak bisa melihat sosok yang kecil nan setia demi kehidupan?

Penggerak Komunitas GUSDURian Klaten, Jawa Tengah. Penggagas Sanggar Jagarumeksa.