Berislam dengan tetap menjadi manusia Nusantara. Demikian laku beragama dalam ajaran kearifan tradisi Gus Dur. Penerimaan Islam sebagai agama tidak lantas membuat lupa atau melepaskan diri dengan akar budaya sendiri.
Laku keberislaman demikian bukan sesuatu yang baru, melainkan sudah dilakukan sejak masa penyebaran Islam di Nusantara. Sebab, dalam proses islamisasi, para wali menyebarkan Islam tanpa secara frontal menolak budaya Nusantara yang telah mengakar dalam masyarakat. Upaya islamisasi para wali bukan dengan memaksakan Islam, namun dengan membumikan Islam di Nusantara. Dari situlah lahir konsep keberislaman yang tidak memutus ikatan dengan masa lalu.
Sebagaimana Gus Dur dalam Prisma Pemikiran Gus Dur menjelaskan, “…yang ‘paling Indonesia’ di antara semua nilai yang diikuti oleh warga bangsa ini adalah pencarian tak berkesudahan akan sebuah perubahan sosial tanpa memutuskan sama sekali ikatan dengan masa lampau.” Jadi, penerimaan Islam sebagai agama di Nusantara tidak lantas memutus hubungan kebudayaan yang telah menjadi kearifan tradisi masyarakat. Sebagaimana dalam Islam dikenal sebuah kaidah: al-muhafadhah ‘alal qadim al-shalih wal akhdzu bil jadidil ashlah (memelihara yang lama yang masih baik, dan mengambil yang baru yang lebih baik).
Gus Dur, sebagai tokoh tradisionalis, tentu menggunakan pendekatan kebudayaan, yang dalam bahasa Gus Dur disebut Pribumisasi Islam.
Luk Luk Nur Mufidah dalam Pemikiran Gus Dur tentang Pendidikan Karakter dan Kearifan Lokal menjelaskan, “Gus Dur memilih pendekatan budaya dalam mentransformasikan nilai-nilai Islam. Pengejawantahan tradisi dan ajaran agama telah membentuk suatu kearifan lokal dalam masyarakat. Kearifan lokal memang diperlukan dalam menyikapi suatu problem kemasyarakatan hingga memiliki objektivitasnya sendiri. Dalam bahasa Gus Dur, kearifan lokal disebut dengan ungkapan pribumisasi Islam.”
Pribumisasi Islam menjadi salah satu masterpiece gagasan Gus Dur. Konsep ini, sebagaimana telah dijelaskan di awal, mengajarkan untuk berislam dengan tetap menjadi manusia Nusantara. Jadi, dalam ajaran Gus Dur, penerimaan Islam sebagai agama tidak lantas menyapu bersih budaya Nusantara. Adanya proses pribumisasi Islam membuat Islam berakulturasi dengan budaya Nusantara, yang pada perkembangannya melahirkan apa yang disebut dengan Islam Nusantara atau laku keberislaman khas dalam masyarakat Nusantara.
Bicara kearifan tradisi (pribumisasi Islam) dalam ajaran Gus Dur tidak hanya tentang upaya merawat sebuah tradisi. Namun, juga berhubungan dengan laku keberislaman yang sesuai keadaan dan kebutuhan masyarakat Nusantara. Hal ini sebagaimana dijelaskan oleh Gus Dur dalam artikelnya “Pribumisasi Islam” bahwa, “Pendekatan sosio-kultural menyangkut kemampuan orang Islam untuk memahami masalah-masalah dasar yang dihadapi bangsa, dan bukan berusaha memaksakan agendanya sendiri.”
Dalam hal ini, sebab Muslim Nusantara hidup dalam lingkungan masyarakat yang heterogen, artinya terdapat juga pemeluk agama lain. Misalnya dalam konteks keberagamaan di Bolaang Mongondow Selatan, tidak hanya mayoritas Muslim namun juga ada Kristiani dan Hindu. Sehingga, wajah Islam ramah yang menghormati perbedaan agama menjadi satu kebutuhan dasar dalam keberislaman di Nusantara, khususnya di Bolaang Mongondow Selatan. Sebab, tanpa ajaran Islam yang mengedepankan nilai-nilai kemanusiaan, keadilan, kesetaraan, dan persaudaraan, potensi munculnya tirani mayoritanisme–sikap yang rentan perpecahan antarumat beragama–semakin besar.
Maka dari itu, ajaran Islam ramah–pun demikian Kristen ramah, Hindu ramah, dan ajaran agama ramah lainnya–yang menghormati perbedaan dalam beragama, menjadi satu kebutuhan bagi masyarakat Nusantara yang heterogen. Pandangan keberagamaan ini sejalan dengan Buya Syafi’i (Ahmad Syafi’i Ma’arif) dalam Islam, Humanity, and the Indonesian Identity, yang mengajak untuk: “Creating an Islam in Indonesia that shows a friendly face…. (mewujudkan Islam di Indonesia yang memperlihatkan wajah ramah).” Dalam arti, “There will be no discrimination of any kind (tidak akan ada diskriminasi terhadap (pemeluk agama) apa pun).”
Sehingga yang dimaksud dalam Pendekatan Sosio-kultural Pribumisasi Islam Gus Dur sebagai “masalah dasar yang dihadapi bangsa”, salah satunya adalah menjaga kerukunan antarumat beragama. Hal ini mengingat struktur sosial masyarakat Nusantara yang terdiri dari beragam pemeluk agama.
Oleh karena itu, laku keberislaman dengan wajah ramah, yang mengedepankan kemanusiaan, kesetaraan, keadilan, dan persaudaraan meski terhadap non-Muslim, termasuk kearifan dalam masyarakat Muslim Nusantara.