Social Media

Gus Dur di Mata Azizan Baharuddin

Sejak publikasi edisi Malaysia dari dialog antara Gus Dur dengan Daisaku Ikeda -Presiden ketiga gerakan Buddhisme Soka Gakkai Internasional yang berpusat di Jepang- yang diberi judul Hikmah Toleransi: Falsafah Kepemurahan dan Keamanan” (2022) dapat dikatakan gagasan Gus Dur mendapatkan respons positif dari berbagai akademisi kenamaan Malaysia. Salah satu akademisi yang menyambut terbitnya karya tersebut adalah Azizan binti Baharuddin. Azizan adalah seorang profesor sains di Departemen Sains dan Teknologi di Universitas Malaya. Ia dikenal secara intens menekuni kajian relasi agama dan sains, dialog antarperadaban, selain juga isu lingkungan hidup.

Komitmennya pada dialog tercermin dari berbagai karya yang membahas mengenai kemungkinan dan urgensi dialog dalam berbagai bidang secara luas. Ia misalnya menulis Science and Religion in the Islamic Perspective (2005), Discourse on Science, Religion, and Development (2006) -bersama sejumlah penulis lain-, Occidentalism and Orientalism: Reflections of the East and the Perceptions of the West (2008) -sebagai editor-, Modul Pengajian Tamadun Islam dan Tamadun Asia (2009) -sebagai editor-, Al-Quran & Sains: Pemetaan Rintis Penyelidikan (2017) -sebagai editor-, Religion, Dialogue, and Peaceful Coexistence (2018) -sebagai editor-, , Islam dan Hubungan Para Penganut Agama (2019) -sebagai editor-, Covid-19: Dialogical Reflection (2022) -sebagai editor-.

Bahkan dalam lingkup kajian lingkungan hidup dapat dikatakan Azizan menggunakan perpsektif dialog antara agama dan lingkungan hidup sebagaimana tercermin dalam karyanya Konsep Rahmah dalam Pengurusan Alam Sekitar (2019) dan Islam and Ecology (2003) di mana ia bertindak sebagai editor bersama Richard C. Foltz dan Frederick M. Denny. Selain itu ia juga terlibat secara aktif dalam penyusunan Deklarasi Islam untuk Perubahan Iklim global yang sekaligus menunjukkan komitmennya tidak hanya bergumul di ranah akademik semata tetapi juga di ranah praktis.

Azizan mengakui bahwa komitmennya pada dialog secara luas tidak dapat dilepaskan dari studi sains yang ia dalami. Menurut Azizan -sebagaimana dinyatakannya dalam event review buku dialog Gus Dur-Ikeda di ISTAC pada 7 Januari 2023 lalu-, sains memiliki peran penting dalam konteks dialog, di mana dalam kajian sains seseorang tidak boleh menolak keberadaan sebuah fakta dalam satu realitas tertentu. Seseorang mesti mengafirmasi fakta tersebut dan tidak menyingkirkannya hanya karena alasan subjektif.

Bagi Azizan, sains membuatnya menyadari bahwa realitas kemanusiaan mesti juga dipahami secara utuh, termasuk di dalamnya berbagai pihak yang berbeda yang merupakan komponen penyusun realitas tersebut. Maka, keberadaan the other atau pihak lain mesti diakui dan tidak boleh dinegasikan atas dasar pandangan subjektivitas kita. Dengan kata lain di mata Azizan, sains membuatnya mampu melihat pihak lain secara objektif dan bukan semata-mata subjektif karena dipengaruhi preferensi pribadinya.

Lebih jauh Azizan menyatakan bahwa sains menyediakan semacam common ground (titik temu) bagi kemanusiaan. Azizan mencontohkan bahwa lewat sains, misalnya, memungkinkan dirinya untuk melihat orang lain sebagai entitas yang sama dengan dirinya. Artinya mereka satu entitas yang sama-sama tersusun dari triliunan sel, memiliki sel darah merah yang sama, sama-sama membutuhkan oksigen untuk bernafas.

Dengan kata lain melalui kacamata sains, dalam hal ini sains biologi, seseorang dapat menemukan titik temu antara dirinya dengan orang lain. Mereka secara biologis sejatinya adalah spesies yang sama, sehingga tidak ada yang lebih tinggi atau lebih rendah daripada yang lain -berbeda dengan misalnya pandangan rasis yang membagi manusia berbasis kriteria fisiknya yang artificial-. Maka dengan menghayati sains, Azizan percaya bahwa rasa keterhubungan kita dengan pihak lain dapat dipupuk.

Sebagai sosok yang intens melakukan dialog dalam berbagai bidang, ia merasa bahwa dialog antara Gus Dur dan Ikeda tersebut memiliki relevansi penting, baik dalam bidang akademik maupun pada bidang yang lebih praktis, khususnya dalam konteks Malaysia. Azizan mengutarakan dua dimensi penting dari karya Gus Dur dan Ikeda tersebut dalam kapasitasnya sebagai pembedah atau penanggap terhadap isi buku tersebut dalam forum yang diselenggarakan ISTAC-IIUM pada 7 Januari 2023 lalu.

Dalam bidang akademik, Azizan melihat bahwa baik Gus Dur dan Ikeda adalah sosok yang tidak sepakat dengan tesis Samuel Huntington mengenai benturan antarperadaban (clash of civilization). Huntington percaya bahwa pasca-perang dingin maka identitas kebudayaan akan menjadi sumber konflik baru menggantikan perseteruan ideologi Komunisme versus Kapitalisme. Gus Dur sendiri dalam dialognya dengan Ikeda menyatakan bahwa dirinya sempat berdialog dengan Huntington dan mengajukan kritiknya terhadap idenya.

Menurut Gus Dur, memang benar bahwa peradaban memiliki perbedaan di tataran kebudayaan. Namun, hal ini tidak mesti bahwa perbedaan tersebut akan menimbulkan konflik. Bagi Gus Dur, yang menimbulkan konflik sejatinya adalah politik kepentingan yakni pemaksaan nilai satu peradaban kepada peradaban lain. Sehingga bagi Gus Dur adalah politik dan bukan perbedaan identitas itu sendiri yang potensial menyulut konflik. Sehingga tesis Huntington bagi Gus Dur terlalu reduktif. Masih menurut Gus Dur, ia menyatakan bahwa Huntington mengapresiasi tanggapan Gus Dur seraya menyatakan bahwa tugas kita bersama untuk memastikan bahwa perbedaan tidak menjadi konflik.

Ikeda sendiri menanggapi pemaparan Gus Dur tersebut dengan menyatakan bahwa dirinya juga tidak sepakat dengan tesis Huntington. Namun berbeda dengan Gus Dur yang sempat “mendebat” Huntington, Ikeda menyatakan bahwa di saat yang hampir bersamaan dengan Huntington menyampaikan idenya tersebut ia memaparkan posisinya mengenai relasi agama dan peradaban di Universitas Harvard pada September 1993. Bagi Ikeda, ia tidak setuju bahwa identitas, terlebih agama, diposisikan sebagai penyebab konflik. Agama justru memiliki filosofi perdamaian yang tinggi dan ia percaya itu ada dalam berbagai agama besar dunia, tidak terbatas pada agama Buddha Mahayana.

Ikeda sendiri kemudian berinisiatif mendirikan Ikeda Center for Peace, Learning, and Dialogue di Boston, Amerika Serikat. Lembaga tersebut kemudian mampu menerbitkan satu buku yang dianggap Ikeda penting, yakni Subverting Hatred: The Challenge of Nonviolence in Religious Traditions (1998) yang berisikan penelusuran filosofi perdamaian yang inheren dalam agama Buddha, Islam, Kristen, dan agama-agama lainnya.

Terkait dengan pembahasan mengenai filosofi perdamaian dalam agama Islam misalnya, buku ini memuat artikel yang ditulis oleh dua orang muslim yakni Rabia Terri Harris (seorang aktivis muslim AS yang pada tahun 1994 mendirikan Muslim Peace Fellowship) dan Amir Hussein (seorang cendekiawan muslim AS yang mendalami kajian masyarakat Muslim kontemporer di AS). Sementara dalam elaborasi mengenai filsafat perdamaian dalam tradisi Buddhis buku ini memuat artikel yang ditulis oleh Christopher S. Queen, seorang akademisi Harvard yang memiliki kepakaran dalam studi Buddhisme.

Dengan kata lain, bagi Ikeda menjadi tidak mendasar jika seseorang hanya memfokuskan pada aspek “negatif” dari agama -yang bagi Ikeda juga karena disalahgunakan untuk tujuan politik-, namun mesti memahami esensi dari agama itu sendiri, yakni dimensi kebaikan, kebenaran, dan juga penerangan dari agama. Esensi itulah yang penting untuk menyokong keharmonisan dunia.

Posisi Gus Dur dan Ikeda yang menolak tesis benturan peradaban dan sebaliknya mendorong dialog antarperadaban dan dialog antaragama tentunya menjadi satu poin penting yang diapresiasi oleh Azizan. Sebab dengan argumentasi yang disajikan dua tokoh tersebut, termasuk juga penerbitan karya-karya yang meng-counter tesis Huntington adalah sumbangsih yang besar dalam dunia akademik untuk tidak menjadikan tesis Huntington sebagai tesis yang tidak terbantahkan.

Terlebih Azizan sendiri adalah seorang yang juga menolak tesis Huntington tersebut dan percaya pada tesis dialog antarperadaban sehingga secara akademik ia merasa karya tersebut memperkokoh posisi akademiknya tersebut. Menariknya, Azizan menjelaskan bahwa Osman Bakar yang merupakan penerjemah buku tersebut ke dalam bahasa Malaysia adalah “bapak” dari dialog antarperadaban di Malaysia yang telah ia rintis sejak tahun 1990-an, yakni dengan membuka dialog bersejarah di Malaysia yang melibatkan beragam intelektual dari tradisi Islam dan Konfusianisme dalam konteks mencari kesepahaman untuk membangun peradaban yang berdimensi etis.

Pernyataan Azizan tersebut merupakan satu informasi penting, sebab hal ini memberikan satu penjelasan mengapa sosok semacam Osman Bakar merasa karya Gus Dur dan Ikeda tersebut layak untuk diterjemahkan ke dalam bahasa Malaysia. Osman Bakar sebagai sosok yang mendukung gagasan dialog antarperadaban dan dialog antara agama -sebagaimana gurunya yakni Hossein Nasr- tentu melihat dialog Gus Dur dan Ikeda tersebut sebagai satu warisan keilmuan berharga dari kawasan Asia Tenggara dan Asia Timur yang layak untuk dipelajari dan diambil inspirasinya lebih lanjut.

Selain memiliki peran penting dalam dunia akademik dalam meng-counter tesis Huntington dan mendukung tesis dialog antarperadaban yang diyakini oleh sosok semacam Osman Bakar dan juga dirinya sendiri, Azizan percaya bahwa karya tersebut juga memiliki peran penting dalam mengakselerasi dialog di tataran publik lebih luas dalam konteks Malaysia. Azizan menyatakan bahwa dalam konteks Malaysia kontemporer ada tren yang menurutnya tidak sehat, yakni semakin gagapnya masyarakat Malaysia untuk membangun dialog dengan pihak yang berbeda dengannya. Masyarakat luas misalnya, mereka tidak dapat membayangkan bagaimana dialog dapat dilakukan. Masyarakat juga merasa bahwa tidak tersedia ruang yang sekiranya kondusif untuk mengembangkan dialog tersebut.

Azizan merasa bahwa tren yang terjadi di tengah masyarakat Malaysia tersebut sebagai satu hal yang mengkhawatirkan. Sebab baginya dalam konteks masyarakat multikultur, multirasial, dan multiagama seperti Malaysia dibutuhkan kemampuan untuk membangun satu dialog bagi interaksi nasional. Dalam konteks inilah Azizan percaya buku yang berisi dialog Gus Dur dan Ikeda dapat menjadi inspirasi penting sekaligus ruang-ruang perjumpaan itu sendiri. Azizan menegaskan bahwa melalui buku tersebut masyarakat dapat disadarkan bahwa sejatinya dialog bukan suatu yang “berat”, tetapi dapat menjadi suatu aktivitas yang “ringan.”

Apa yang dikatakan Azizan dapat dikatakan sangat beralasan sebab jika kita membaca dialog antara Gus Dur dan Ikeda, meskipun banyak informasi kaya di dalamnya, namun jalannya dialog sendiri sejatinya sangat santai dan sering kali dimulai dengan pembicaraan yang sifatnya sehari-hari. Maka dari dialog Ikeda dan Gus Dur tersebut sekiranya kesan “angker” dan “elitis” dialog dapat diurai sedemikian rupa. Perjumpaan yang sehari-hari namun dengan melibatkan hati dan kemauan mendengar pihak lain itulah sejatinya yang menjadi kunci dialog dapat berjalan dengan lancar sebagaimana ditunjukkan oleh Gus Dur dan Ikeda.

Lebih jauh, Azizan juga meyakini bahwa buku tersebut dapat menjadi ruang dialog alternatif di tengah keterbatasan ruang dialog yang ada. Apa yang dimaksud Azizan ialah melalui buku tersebut maka seseorang dapat mendiskusikan secara lebih lanjut apa-apa yang ditulis dalam buku tersebut. Dengan kata lain, buku tersebut mendorong dialog-dialog yang lebih intens baik di kalangan akademik yang berlatar Islam dan Buddhisme -ataupun akademisi yang non Buddhis dan juga Islam- ataupun juga publik Malaysia yang berasal dari lintas agama yang berbeda.

Meminjam bahasa Badiou, publikasi buku tersebut dapat berperan sebagai semacam event (peristiwa) yang mampu mengkonstitusikan kebenaran dan subjeknya sendiri. Sebelum peluncuran buku tersebut, bisa dikatakan diskusi Islam dan Buddhisme bahkan tidak terpikirkan di benak banyak pihak di Malaysia. Namun setelah peluncuran buku tersebut, dialog bukan lagi menjadi sesuatu yang dimungkinkan, bahkan dapat didorong secara lebih masif. Hal ini seiring dengan kebutuhan yang mendesak akan dialog, yaitu untuk memecahkan berbagai problem peradaban yang membutuhkan kerja sama banyak pihak. Maka, tanpa adanya event yakni keberadaan edisi Malaysia buku tersebut, dialog intens semacam ini menjadi sulit untuk dilakukan karena tidak ada semacam fondasi yang memungkinkan dilaksanakannya dialog secara lebih intens.

Maka tidak mengherankan bahwa Azizan menyatakan bahwa karya ini juga memiliki andil bagi penguatan dialog intrareligius selain juga dialog antaragama. Maksud dari dialog intrareligius ialah banyak di antara pemeluk dalam suatu agama itu sendiri -misal pemeluk Islam atau Buddhisme- masih tidak menyadari bahwa dialog semacam ini dapat terjadi dan kalaupun dapat terjadi masih banyak yang tidak tahu bagaimana cara melakukannya tanpa mengorbankan posisi teologisnya.

Bagi Azizan, melalui pembacaan cermat terhadap dialog antara Gus Dur dan Ikeda yang berlangsung dalam jangka waktu yang lama (7 tahun), maka kiranya di dalam pemeluk agama itu sendiri kesadaran akan kemungkinan dan pentingnya dialog dapat ditumbuhkan sedemikian rupa. Dapat dikatakan dalam konteks itulah maka peluncuran edisi Malaysia tersebut menjadi penting untuk bahan diskusi (perenungan) di kalangan “internal” umat Islam itu sendiri atau kalangan Buddhis misalnya.

Apa yang dikemukakan oleh Azizan soal pentingnya dialog intrareligius yang sekiranya dapat didorong dengan karya Gus Dur-Ikeda tersebut seakan meresonansi pengakuan yang disampaikan oleh Osman Bakar ketika hendak mengadakan dialog antarperadaban Islam dan Konfusianisme pada 1995 lalu di Malaysia. Osman Bakar dalam karyanya Islam and Confusianism: A Civilizational Dialogue (1997) misalnya mengaku bahwa sebelum dialog dilaksanakan banyak pihak yang mempertanyakan apakah mungkin dialog semacam itu dilakukan, sementara misalnya ada perbedaan fundamental antara Islam dan Konfusianisme dalam perkara teologis.

Sebagai contoh, dalam tradisi Konfusianisme tidak dikenal ide tentang realitas transendental yang sepadan dengan konsep Tuhan dalam Islam. Namun Osman Bakar berhasil menepis keraguan akan kemungkinan dialog tersebut dengan sukses menyelenggarakan dialog yang mampu menyedot perhatian ribuan peserta dari berbagai latar belakang (tidak terbatas pada kalangan Islam dan Konfusianis semata).

Dengan kata lain karya Gus Dur-Ikeda tersebut memiliki kapasitas yang sama untuk menunjukkan baik kepada pemeluk Islam, Buddhis, atau publik Malaysia secara umum, bahwa dialog Islam dan Buddhisme dalam kerangka membangun peradaban yang bersendikan pada etika adalah suatu aktivitas yang dimungkinkan. Bahkan faktanya lewat dialog tersebut muncul berbagai ide-ide inspiratif yang kaya seputar berbagai isu, mulai dari lingkungan hidup, kebudayaan, pendidikan, perempuan, hingga kritik tesis Huntington. Dialog tersebut juga memperlihatkan bahwa dimungkinkan semua pihak yang berdialog berada pada level yang setara tanpa ada yang mendominasi pembicaraan. Masing-masing pihak juga dapat terus berpegang pada prinsip yang diyakininya.

Sebagai penutup, refleksi Azizan mengenai karya tersebut sebenarnya tidak hanya relevan dalam konteks Malaysia semata, tetapi juga negara lain termasuk Indonesia. Dalam ranah akademik, kritik terhadap teori Huntington berbasis pada dialog antaragama ini perlu untuk dikembangkan sedemikian rupa, khususnya dalam ranah Ilmu Politik dan Hubungan Internasional, sehingga perspektif yang dipakai dalam dunia akademik tidak lagi menempatkan agama sebagai sumber konflik, tetapi justru sebagai sumber perdamaian dunia.

Dalam ranah praktis, perkembangan mutakhir di ruang publik Indonesia sejatinya juga menunjukkan tren yang sama dengan Malaysia, yakni apa yang diistilahkan sebagai trust defisit (defisit rasa percaya) di antara berbagai kelompok sosial yang ada. Diharapkan dengan memupuk spirit dialog sebagaimana ditunjukkan oleh Gus Dur dan Ikeda maka trust defisit tersebut dapat direduksi sedemikian rupa. Sebaliknya melalui dialog, sebagaimana diyakini oleh Azizan, satu common ground bersama dapat ditumbuhkan, yakni kesadaran akan pentingnya co-existence (hidup berdampingan) dan kerja sama lintas golongan demi penciptaan peradaban global yang dicirikan dengan kedamaian dan keadilan sebagaimana dicita-citakan oleh Gus Dur dan Ikeda.

Peserta program Kader Pemikir Islam Indonesia (KPII) Angkatan ke-2 yang diselenggarakan oleh LSAF (Lembaga Studi Agama dan Filsafat) dan Universitas Paramadina.