Lebaran dan Filosofi Ketupat

Lebaran tahun ini diliputi perbedaan pelaksanaan Hari Raya Idul Fitri antara Muhammadiyah dan NU sebagai ormas Islam terbesar di Indonesia. Namun perbedaan ini justru diliputi guyonan dan dagelan dari masing-masing pihak seperti dikutip dari akun @nugarislucu dan @muhammadiyahgl.

Perbedaan tersebut disikapi dengan santai dan damai. Perbedaan itu bukan suatu hal baru. Maka dari itu tidaklah perlu dijadikan ajang perselisihan apalagi keributan. Gitu aja kok repot! Gus Dur mungkin akan menjawab demikian. Dan banyak sekali tulisan yang membahas perbedaan ini dari sudut pandang humanis dan kebhinekaan. Di sini, kita akan membahas sisi lebaran dari sesuatu yang mengenyangkan. 

Hal yang sedari dulu sama adalah tradisi makan ketupat di Hari Raya (titik). Sedari kecil hal yang selalu kita nantikan ketika lebaran adalah makan ketupat. Makanan dari beras yang dibungkus daun kelapa (janur). Namun sebenarnya ketupat di hari lebaran ini punya filosofi dari para waliyullah lho, nah apa saja itu? Simak penjelasannya.

Ketupat atau yang sering disebut kupat (dalam bahasa Jawa) merupakan makanan khas pada perayaan Hari Raya umat Islam, disinyalir dimulai sejak zaman Kerajaan Demak abad ke-15. 

Raden Mas Sahid atau yang dikenal Sunan Kalijaga selaku pelopor, penyebar agama serta pelaku akulturasi budaya di Jawa memperkenalkan ketupat sebagai bagian dari ajaran Islam sebagai agama yang baru berkembang di Jawa.

Ketupat atau kupat adalah kependekan dari ngaku lepat (mengaku salah) atau ngaku papat. Laku papat artinya empat tindakan yang terdiri dari lebaran, luberan, leburan, dan laburan. Filosofi ini berasal dari bahasa Jawa, yaitu:

Lebaran, berasal dari kata lebar atau habis sama sekali. Biasanya digunakan untuk mendefinisikan habisnya buah yang tidak bersisa satu pun di pohon. Maka hal ini dapat dijadikan makna berakhirnya puasa Ramadan. Luberan, berasal dari kata meluber (tumpah) atau kelebihan, sebagai simbol ajaran bersedekah dengan zakat fitrah (bagi yang mampu dan berharta lebih). Leburan, dari kata melebur yaitu meleburnya dosa dan kembali fitrah dengan saling memaafkan di hari raya.

Sedangkan Laburan berasal dari kata labur atau kapur. Kapur merupakan zat padat berwarna putih yang juga bisa menjernihkan zat cair, dari ini Laburan dipahami bahwa hati menjadi terjaga dengan kesucian lahir dan batin. Tradisi mengecat atau bahasa Jawanya nglabur dengan gamping (kapur) inilah yang kerapkali masih dilakukan di desa-desa masyarakat Jawa menjelang hari raya. 

Berbicara mengenai bentuk ketupat juga tidak lepas dari filosofinya. Bentuk ketupat menyerupai bangun persegi empat yang berfilosofi Kiblat Papat Limo Pancer memiliki makna segala sesuatu berjumlah empat berupa arah mata angin yaitu Selatan-Timur-Utara-Barat, dan pada akhirnya akan kembali ke Yang Maha Satu yaitu Gusti Allah SWT.

Ketupat biasanya dihidangkan dengan kuah santan. Dalam sebuah parikan (pantun bahasa Jawa) berbunyi “kupat duduhe santen, menawi lepat nyuwun pengapunten” ini memiliki arti “kupat berkuah santan, jika ada salah mohon dimaafkan”.

Ketupat biasanya terbuat dari janur (daun kelapa muda) yang memiliki kata yang berasal dari bahasa Arab Ja’a Nuurun, yang berarti telah datang cahaya kebahagian selepas menjalankan puasa, dan kembali ke fitrah (suci) di hari raya. Dalam bahasa Jawa, jatining nur berarti sejatinya cahaya atau hati nurani.

Anyaman bambu dimaknai sebagai harapan penguatan jiwa dan raga. Anyaman yang bersilang-silang. Ini mencerminkan kesalahan manusia yang bermacam-macam sehingga bertumpukan atau saling bertindihan. Rumitnya anyaman ini menjadi kesatuan, sama seperti umat muslim pada Hari Raya Idul Fitri. Kesucian termaknai ketika ketupat dibelah dan terlihat warna putih melambangkan hati dan iman manusia yang kembali fitrah, suci, dan putih.

Begitulah asal-usul ketupat, makanan khas lebaran di Indonesia, terutama Jawa. Sebuah sajian yang kaya akan makna dan filosofi. Para wali menciptakan filosofi ini agar terkenang sajian dengan makna yang kaya nilai ajaran islam, meskipun banyak yang belum mengetahuinya. Dengan tulisan ini agar masyarakat tetap mengingat tradisi dan maknanya bukan hanya luarnya saja.

Penggerak Komunitas GUSDURian Semarang, Jawa Tengah.