Social Media

Meninjau Kembali Realitas Hubungan Islam dan Negara dalam Kacamata KH Abdurrahman Wahid

Jika ditinjau dari segi ke-Indonesiaan dan sisi kebangsaan KH. Abdurrahman Wahid ialah seorang tokoh yang memiliki semangat nasionalis yang tinggi bagi negara Indonesia. Bagaimana tidak? Pandangan dan pendapatnya cenderung lebih banyak mencerminkan sikap dasar dalam dirinya, seperti halnya nilai-nilai kebhinekaan Indonesia, Indonesia sebagai negara Pancasila, pluralitas dalam keberagamaan, Indonesia yang menonjolkan sisi berkemanusiaan, serta berkeadilan sosial demokratis dalam setiap pengambilan keputusannya.

Gus Dur menjadi salah satu tokoh intelektual Indonesia yang sangat disegani bahkan banyak pula teman-teman dari kalangan agama yang lain. Beliau adalah orang yang sangat mendalam pada keyakinan keagamaannya dan mempunyai kecintaan yang sangat luar biasa terhadap agamanya. Hal ini dapat dilihat dari rekam jejak Gus Dur semasa hidupnya, beliau menjadi tokoh yang telah lebih dari 15 tahun menjabat sebagai ketua umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (NU), tentu itu jabatan tertinggi yang ada di organisasi Nahdlatul Ulama.

Selain itu, Gus Dur juga memiliki jiwa patriotisme yang tinggi. Sikap dan perilaku yang Gus Dur tampakkan menunjukan adanya keinginan yang luhur dari dalam hatinya untuk terus memajukan dan mengembangkan bangsa dan negara. Pemikiran yang paling menonjol dari diri Gus Dur adalah humanisme. Gus Dur selalu membawa nilai-nilai humanisme dalam setiap tindakannya meskipun kemudian banyak yang menyalahpahami hal tersebut. Gus Dur adalah penyeru ulung terkait pemahaman pluralisme dan toleransi sampai-sampai tak pernah bosan dalam membela kelompok minoritas dan kelompok-kelompok sedang tertindas.

Penulis mencoba menyelami dan meninjau kembali khazanah pemikiran klasik dari Gus Dur mengenai hubungan Islam dan negara. Agama Islam sebagai agama dengan jumlah pemeluk terbesar di Indonesia tentunya sangat membutuhkan negara hadir sebagai sarana untuk dapat mewujudkan cita-cita moral luhur atau ajaran-ajarannya yang ada di dalam Al-Qur’an, sedangkan negara membutuhkan agama Islam untuk menjadi petunjuk etika dan moral bagi semua kehidupan bernegara dan bermasyarakat.

Bagi Gus Dur hubungan Islam dan negara harus terus mengedepankan adanya sikap pluralisme. Namun, tidak berarti semua agama itu dianggap sama, sebaliknya, pluralisme yang dimaksudkan oleh Gus Dur adalah masalah sosiologis dan kebersamaan kemasyarakatan. Pada titik ini yang harus disamakan dalam kemajemukan masyarakat adalah sikap humanisme atau nilai-nilai kemanusiaan. Meskipun Gus Dur mengedepankan rasa kemanusiaan dan toleransi, tetapi akidah yang dipegang haruslah jelas. Setiap agama menjalankan akidahnya masing-masing, akan tetapi hubungan ikatan antaragama harus terjalin dengan baik, sehingga cara menghormati dalam setiap keyakinan juga berbeda-beda.

Hal tersebut sejalan dengan ajaran Islam yang tertuang pada surah al-Kafirun ayat 6:

 لَكُمْ دِينُكُمْ وَلِيَ دِينِ 

Artinya: ‘’bagimu agamamu bagiku agamaku.’’

Selain itu, karena agama dipandang sebagai sesuatu yang bersifat pribadi (personal in character) dalam diri manusia dan menyangkut ajaran moral, maka tidak boleh dikaitkan dengan urusan negara.

Sebagai negara yang majemuk, bagi Gus Dur hal ini menyangkut hubungan antara Islam dan negara. Agama Islam sendiri tidak mengenal doktrin tentang negara. Namun yang ada doktrin Islam mengenai negara adalah tentang keadilan sosial dan kemasyarakatan. Hal tersebut tertuang di dalam UUD 1945 yang menyajikan pengertian keadilan dan kemakmuran dalam pembukaannya.

Selain itu, ada juga keyakinan dari Gus Dur bahwa negara harus mengadopsi formalisme negara Islam baik dalam organisasinya maupun dalam menjalankan urusannya. Al-Hukm, atau hukum dan ketertiban, adalah negara di mata Gus Dur. Gus Dur menegaskan bahwa Islam tidak menerima doktrin negara dalam hal interaksinya satu sama lain. Karena pada awal masa lalu Islam sendiri belum mengenal konsep negara. Sehingga konsep negara Islam yang sering dibawa para pemikir anti-pancasila dan anti-bhineka adalah sangat tidaklah tepat.

Sekali lagi, kita sebagai para penerus pemikiran Gus Dur atau yang tergabung dalam komunitas GUSDURian maka kiranya untuk dianjurkan merawat pemikiran-pemikiran yang telah beliau cetuskan guna diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari, karena dari dahulu Gus Dur terkenal sebagai pendekar pena yang banyak melahirkan gagasan enerjik dan penuh dengan narasi-narasi yang membangun pemikiran bagi kaum muda. Dengan demikian mari kita terus memupuk sikap toleransi dan menyemai perilaku positif yang membuat bangsa kita menjadi bangsa yang baldatun thoyyibatun wa robbul ghofur. Aaamiin.

Wallahu a’lam bis showwab.

Penggerak Komunitas GUSDURian Brebes. Kontributor NU Online Jawa Tengah.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *