Kesetaraan Manusia

Memanglah tidak perlu heran dengan adanya optimisme terkait kesetaraan manusia. Sebab Tuhan sejak menciptakan manusia telah menampakkan optimisme dan harapan tinggi. Bahkan bukan hanya mampu mewujudkan kesetaraan, manusia juga disebut mampu menjadi khalifah.

Di antara optimisme tersebut ada juga yang menunjukkan pesimisme dengan kehadiran manusia di muka bumi. Tak lain dan tak bukan ialah iblis. Dialah yang berani mengungkap rasa skeptisnya dengan penciptaan manusia yang justru berpotensi sebagai sumber masalah. Manusia diprediksi menjadi akar pertumpahan darah, permusuhan, pertengkaran, pertarungan, pemaksaan, penjajahan, kooptasi, subordinasi, kolonialisme, fasisme, machiavellisme, otoritarianisme, dan ideologi destruktif lain.

Iblis tidak cukup yakin dengan optimisme Tuhan. Bahkan menolak tunduk terhadap manusia.

Gagasan Tuhan menciptakan manusia memang dahsyat. Makhluk yang disebut terbaik, paling sempurna. dan paling unggul dibanding makhluk lain yang telah ada sebelumnya atau diciptakan sesudahnya. Klaim ini belum runtuh. Belum terbantahkan. Belum ditemukan rumusan pemikiran yang menunjukkan manusia “kalah” oleh makhluk lain secara lahir maupun batin.

Namun demikian, keraguan terhadap obsesi terkait kesetaraan manusia belakangan ini kian tak terbendung. Benarkah manusia mulai ragu dengan kemampuannya sendiri menciptakan kesetaraan? Bagaimana manusia meyakinkan dirinya mampu dan kuasa mewujudkan kesetaraan di antara sesamanya?

Keraguan itu sah dan boleh dimunculkan. Sebab realitas kehidupan yang tampak atau ditampakkan oleh manusia tidak cukup meyakinkan bahwa mereka punya keinginan kuat untuk mewujudkan kesetaraan. Meskipun mereka telah diberikan booster akidah dan akhlak tentang kesetaraan manusia. Sesuai dengan agama, kepercayaan, dan keyakinan masing-masing.

Praktik kehidupan keagamaan dan keberagamaan misalnya, sering kali, dan tidak sekali dua kali, justru menjadi sumber masalah kesetaraan. Misalnya terkait belum mulusnya relasi adil gender. Beberapa kali ditemukan kasus kekerasan terhadap liyan. Belum lagi varian kasus lain bersumber praktik beragama manusia.

Agama yang memiliki elan vital kesetaraan justru tampak tidak bertenaga. Mungkin agak mandul menghadapi situasi ketidaksetaraan. Ini bisa terjadi antaragama, internal agama, dan hubungan lain yang relevan dengan kehidupan keagamaan.

Pada kehidupan sosial juga belum menunjukkan wajah yang menggembirakan. Keluarga yang diklaim sebagai lembaga sosial terkecil kerap dituding sebagai sumber masalah ketidaksetaraan. Soal nasab, silsilah, warisan, dan masalah lain. Ditarik pada lingkup lebih luas, konteks sosial masyarakat terlihat semakin kompleks untuk bertumbuh harapan dan optimisme kesetaraan manusia.

Etnis dan etnisitas sebagai fitrah kemanusiaan tak pelak menjadi biang keladi banyak kasus ketidaksetaraan manusia. Meski disebut oknum, komunitas etnis tampak tidak cukup berhasil menjadi garda depan bagi upaya mewujudkan kesetaraan manusia. Olok-olok, cap, labeling, stigmatisasi, dan perilaku tidak setara lain selalu direproduksi. Bahkan semakin massif seiring berkembangnya ilmu pengetahuan, sains, teknologi, dan seni. Situasi ini menjadi kontradiksi: sisi lain kemanusiaan berkembang, namun sisi lain nyungsep ke tubir jurang. Bisa saja disebut ironi, atau malah lebih tepat dikatakan sebagai tragedi peradaban.

Ketidaksetaraan itu menjadi kian ngeri dan horor untuk diperbincangkan dalam konteks dan sudut pandang ekonomi, politik, pertahanan, dan keamanan.

Orang lain yang berbeda bentuk rambut ialah musuh. Liyan yang berbeda warna kulit ialah lawan. Mereka yang lemah ialah budak. Mereka yang tidak mau sekubu otomatis harus dimusnahkan.

Kehidupan manusia tampaknya lebih dekat dengan prediksi iblis di masa awal penciptaannya. Lebih menyukai permusuhan ekonomi, lebih gandrung pertengkaran politik, lebih enjoy perebutan batas wilayah, lebih bergairah mewujudkan perang dengan senjata atau tanpa senjata.

Apakah pesimisme iblis itu yang akan memenangkan perebutan makna atas kehidupan manusia?

Apakah prediksi iblis terhadap masa depan manusia yang tidak setara bakal lebih menemukan pembuktian?

Apakah optimisme Tuhan bakal dikelabui dan dimanipulasi oleh manusia sendiri?

Godaan dan bujuk rayu untuk berkuasa dan menguasai liyan dengan pendekatan ketidaksetaraan boleh jadi bertambah massif dijadikan hobi. Bahkan gaya hidup manusia. Aku berkuasa maka aku ada.

Manusia lantas berlomba menutup ruang kesetaraan dengan cara yang sudah diprediksi iblis? Segala jalan kebaikan dan kerja sama kemaslahatan bagi terwujudnya dunia yang berkah dipagar dan diportal sehingga liyan tak hanya boleh merangkak di luar jalan.

Apakah kehidupan manusia bakal berujung dan berakhir dengan kebenaran prediksi dan optimisme iblis?

Entahlah. Akal budi, spiritualitas, dan daya positif lain manusia seperti masih tersembunyi, atau justru terpendam dalam? Atau terkubur oleh ilusi-ilusi harta, tahta, dan asmara?

Mungkinkah optimisme Tuhan menjadi kekuatan baru? Menjadi sumber semangat bagi manusia untuk menemukan kembali kemanusiaan yang hilang? Sisi kemanusiaan yang tak mudah diperbudak angkara?

Memang bukan Tuhan yang harus menjawabnya. Namun, apakah manusia sungguh-sungguh mampu menggerakkan harapan terwujud kesetaraan?


Kendal, 2023

Peternak dan penjaga kebun.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *