Social Media

Hari Raya Kurban: Potret Dialog Anak dan Orangtua

Di tengah masyarakat kerap dijumpai sejumlah pertanyaan yang bernada menggugat. Salah satu gugatan yang masih sering memekik di telinga ialah mengenai sikap “kenakalan” anak. Gugatan semacam ini bahkan sering didapati pada anak dari tokoh agama sekalipun. Seolah yang menjadi biangnya hanya perilaku dari anak belaka. Bahkan tak jarang pula bernada diskriminatif-subordinatif. Pertanyaan saya, apakah kenakalan muncul dari kepolosan anak itu sendiri? Dan bukankah orangtua atau orang yang dituakan, terutama ibu adalah guru pertama bagi sang anak?

Pertanyaan-pertanyaan tersebut tidak bermaksud untuk mengajak membangkang terhadap orangtua atau orang yang dituakan. Hanya saja anak juga mempunyai hak untuk dijaga dan diindahkan. Sebagaimana dalam sebuah hadis yang dikutip Hadratussyaikhmbahyai Hasyim Asy’ari dalam pendahuluan karyanya, Adab al-‘alim wal Muta’alim, selain anak memiliki hak untuk mendapatkan nama yang baik (an yuhsina mardla’ahu) serta gizi yang cukup (wa yuhsina murdli’ahu), ia juga berhak mendapatkan teladan yang baik pula (an yuhsina adabahu).

Menyangkut hak terakhir di atas, sekalipun anak disekolahkan, dipondokkan atau dikuliahkan di tempat berkualitas tetapi keluarga membatasi ruang geraknya secara berlebih dan nihil tuladha, alih-alih menumbuhkan potensi dan talenta yang dimiliki, justru yang akan terjadi ialah pembonsaian pada tumbuh kembang pribadi sang anak. Pembonsaian ini yang kemudian memicu adanya pemberontakan oleh sang anak. Dan pada ujungnya, tulisan ini mengandaikan perhatian masing-masing kewajiban dan hak sesuai posisi dan fungsi yang proporsional.

Ujar-ujar lama mengatakan “sekali dayung dua pulau terlampaui”. Dalam kesempatan ini saya akan mengajak kepada saudara pembaca untuk merenungi apa titik pemicu persoalan tersebut di satu sudut. Dan menilik kembali catatan sejarah hari penyembelihan, yaum al-nahr, di sudut lain.

Telah jamak diketahui, setiap tahun umat Islam seantero dunia memperingati dua Hari Raya; Hari raya makan, Yaum al-Fithr dan Hari Raya Penyembelihan, yaum al-Nahr. Hari raya yang disebut terakhir dilakukan setiap tanggal 10 Dzulhijjah. Dan di setiap tanggal tersebut sampai hari tasyrik (11-13 Dzulhijjah) umat muslim melakukan penyembelihan hewan ternak. Peristiwa penyembelihan ini pun tak luput dari jejak historis, yakni perintah Allah kepada Nabi Ibrahim untuk menyembelih anak kesayangannya, Nabi Ismail.

Telah dikisahkan, pada suatu masa Nabi Ibrahim bertemu dengan Tuhannya di alam mimpi. Di dalam alam mimpi tersebut Nabi Ibrahim mendapatkan perintah untuk menyembelih seorang anak kinasihnya, Nabi Ismail. Perintah ini pertama kali mendengung kepadanya bertepatan dengan malam 8 Dzulhijjah. Lalu Nabi Ibrahim berpikir dan merenung; apakah benar perintah tersebut berasal dari Tuhan atau dari setan. Maka dari permenungannya itulah disebut dengan hari berpikir/merenung (tarwiyah).

Persoalan yang bertengger pada diri Nabi Ibrahim tak kunjung tergantikan oleh jawaban. Cahaya matahari bergegas pulang sementara malam membawa kegelapan. Sebagai seorang ayah Nabi Ibrahim tentu keberatan dengan datangnya perintah tersebut. Nabi Ibrahim masih berlanjut merenung dan mempertanyakan persoalan itu sampai dirinya terbenam dalam tidur. Di dalam tidurnya itu Nabi Ibrahim mendapatkan jawabannya, yakni perintah langsung dari Tuhan. Jawaban dari kecamuk keraguannya didapatkannya bertepatan dengan tanggal 9 Dzulhijjah. Oleh sebab itu, momentum tersebut dinama-abadikan dengan hari arafah (mengetahui).

Setelah yakin bahwa Nabi Ibrahim mendapat mandat penyembelihan tersebut, dia tidak langsung menolak atau mengiyakannya. Tetapi Nabi Ibrahim bernegosiasi terlebih dahulu dengan putranya, apakah Nabi Ismail berkenan atau tidak untuk mengabul-wujudkan perintah dari Tuhannya. Setelah Nabi Ismail mengetahui bahwa perintah tersebut dari Tuhan, walhasil dia berkenan untuk mengindahkan perintah Tuhan bagi ayah dan dirinya. Walakin, pada akhirnya Nabi Ismail batal disembelih dan Tuhan menggantikannya dengan seekor domba. Maka dari sinilah peristiwa ini yang bertepatan dengan tanggal 10 Dzulhijjah kemudian dikenal dengan hari penyembelihan (Nahr). Kisah ini didokumentasikan dalam al-Quran surah al-Shaffat ayat 101-102.

Dari cerita di atas, ditengarai terdapat tiga subjek sekaligus yang terlibat di dalamnya. Pertama, Tuhan sebagai pemberi wahyu. Selanjutnya adalah Ibrahim sebagai ayah yang diperintahkan untuk menyembelih anaknya. Lalu yang terakhir, Ismail sebagai anak yang menjadi korban penyembelihan tersebut. Dari ketiga subjek tersebut di atas, terlihat ada dialog yang amat intensif antara ketiganya.

Hubungannya dengan persoalan tersebut di awal, nampaknya kisah Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail tidak berlebihan jika dijadikan salah satu rujukan. Sehemat-hematnya ada dua aspek yang patut diperhatikan dalam proses mendidik. Sekali lagi, ini bukan menyangkut relasi orangtua-anak belaka melainkan mengenai hubungan sosial lainnya. Dua aspek tersebut ialah: pertama, keteladanan dari orangtua atau orang yang dituakan. Hal ini tidak bisa ditawar karena tabiat seseorang akan lebih banyak menangkap lalu meniru dari apa yang dilihat dibanding apa yang didengar.

Lalu berikutnya ialah penuturan dengan mendayakan pendekatan dialogis dalam hal ini. Karena dengan dialog seseorang tidak pernah merasa digurui dan pada ujungnya motif berikut faktor suatu tindakan dapat diidentifikasi. Pendekatan semacam ini amat penting untuk dilakukan di era digitalisasi. Sebab mengapa, karena di era teknologi informasi dan komunikasi yang serba maju ini seorang anak dihimpit dampak positif dan negatif yang amat besar. Oleh demikian, jika penyikapan tidak dibarengi dengan kebijaksanaan sambil lalu dialog dikesampingkan maka amat sulit untuk mewujudkan hasil yang diharapkan.

Dan yang terakhir, sebagai umat beragama, yang sama sekali tidak kalah pentingnya adalah melangitkan doa untuk anak. Karena doa dapat menjadi senjata supranatural untuk menembus di luar keterbatasan manusia. Wallahu a’lam bi al-Shawab

Penggerak Komunitas GUSDURian Ciputat, Tangerang Selatan.