Social Media

Radikalisme Islam: Isu yang Tidak Pernah Selesai

Tiada masalah dengan radikalisme Islam sejauh jika hanya melingkupi tataran pemikiran atau ideologis para penganutnya, karena pada dasarnya makna radik adalah dasar, mendalam dari akar. Namun, ketika radikalisme Islam sebagai pemikiran bergeser menjadi gerakan-gerakan yang bersifat kekerasan maka ia mulai menimbulkan masalah.

Dalam konstelasi Indonesia, radikalisme Islam telah makin membesar karena pendukungnya juga semakin meningkat. Namun, gerakan-gerakan radikal ini kadang berbeda tujuan, serta tidak mempunyai pola yang seragam. Ada yang sekedar memperjuangkan implementasi syariat Islam tanpa keharusan mendirikan negara Islam, tetapi ada pula yang memperjuangkan berdirinya negara Islam ataupun memperjuangkan berdirinya kekhilafahan Islam.

R. William Liddle mengatakan bahwa di antara ancaman terbesar dari demokrasi adalah radikalisme. Lalu bagaimana upaya negara dalam mencegah gerakan radikalisme agama? Secara etimologis, radikalisme berasal dari kata radix yang berarti untuk bertindak secara dalam. Berpikir secara radikal juga berarti berpikir sampai mencapai akar dan dasarnya. Karena itu, radikalisme dapat dipahami sebagai suatu sikap yang mendambakan perubahan dengan membenci status quo untuk sesuatu yang sama sekali berbeda. Umumnya, ia menggunakan metode revolusioner dengan secara drastis membalikkan nilai-nilai yang ada melalui kekerasan dan tindakan ekstrem.

Dalam bahasa Arab, radikalisme dikenal sebagai beberapa istilah seperti al-unf, al-guluww. Al-unf adalah kekerasan yang dilakukan oleh kekuatan ilegal (main hakim sendiri) untuk menegakkan kehendak mereka, sedangkan al-tatarruf al-dini adalah semua hal yang berlebihan dalam agama, itu berlawanan dengan kata al-wasath (tengah/sedang) yang berarti baik dan mengagumkan.

Radikalisme yang bangkit dalam Islam bukanlah suatu fenomena mendadak. Itu muncul dalam politik, situasi ekonomi, dan sosial-budaya yang oleh para pengikut radikalisme Islam menganggapnya mendiskreditkan Islam. Muslim dalam politik tidak hanya dirugikan, tetapi juga diperlakukan secara tidak adil. Mereka percaya bahwa aspirasi mereka tidak diakomodasi dengan baik karena sistem politik saat ini (mereka menyebutnya sistem kafir) cenderung lebih memihak pihak sekuler-nasionalis daripada Muslim.

Solusi khilafah sering mereka dengungkan, seakan obat yang mujarab jika melakukannya. Padahal hal tersebut mengandung banyak nuansa romantisme dan idealisasi tentang sistem dan kelembagaan politik Islam. Terdapat kalangan muslim yang tanpa pengetahuan yang memadai tentang konsep dan praktik khilafah dengan serta merta mempersepsikan atau bahkan meyakini khilafah sebagai sistem, bentuk, dan praksis politik Islam paling sahih, paling ideal dan terbaik yang perlu diperjuangkan terus menerus.

Dalam surat Al-Baqarah ayat 30 terdapat pesan tentang penciptaan manusia yang disebut khalifah, wakil Tuhan di muka bumi. Dalam hubungan dengan ayat-ayat yang lain, para ulama menafsirkan tugas khalifah adalah memakmurkan kehidupan di muka bumi, bukanlah menegakkan khalifah, yaitu kekhalifahan, sebuah lembaga politik yang bermula pada masa pasca-Nabi Muhammad. Sejarawan terkemuka Ibnu Khaldun menyatakan bahwa kekhalifahan (khalifah) tamat dengan berakhirnya khulafur rosyidin. Entitas politik Islam selanjutnya, seperti Dinasti Umayyah, Dinasti Abbasiyah, dan Dinasti Usmaniyah bukanlah khilafah, karena suksesinya berdasarkan tali darah.

Gagasan khalifah di masa modern kontemporer menyerukan pembentukan satu kekuasaan politik tunggal bagi seluruh umat Islam di buka bumi ini, sebuah gagasan yang dapat dipertanyakan kelayakan dan keberlangsungannya. Kesatuan semacam itu tidak pernah terwujud, bahkan sebelum berakhirnya kekuasaan khulafur rasyidin. Hanya pada masa Abu Bakar dan Umar bin Khattab terwujud kesatuan itu. Tetapi sejak masa khalifah ketiga, Usman bin Affan terjadilah pertikaian dengan Ali bin Abi Thalib kemudian menjadi khalifah keempat. Sejak itulah, persatuan umat Islam di bawah satu kekuasaan politik tunggal lebih merupakan imajinasi yang jauh daripada bias diwujudkan dalam realitas. Dalam Al-Qur’an pun tidak ditemukan secara rinci mengenai khilafah.

Pada dasarnya, keberadaan radikalisme bertujuan untuk mengubah tatanan negara Indonesia oleh Islam yang bertentangan dengan Pancasila. Saat ini, Islam telah dibagi menjadi banyak ideologi yang dapat menimbulkan konflik di kalangan umat Islam. Karenanya, kita harus memperhatikan masalah ini karena bisa jadi akan mengancam nilai-nilai Pancasila. Dengan memperkuat nilai Pancasila mengingat kekerasan dan radikalisme miliki menjadi ancaman ketahanan ideologis Pancasila saat ini.

Pada tataran teoritis, sebenarnya terdapat dua konsep penting yang dipunyai setiap agama yang bisa memengaruhi para pemeluknya dalam berhubungan di antara mereka, yakni fanatisme dan toleransi. Dua konsep ini pada dasarnya harus dipraktikkan dalam pola yang seimbang, sebab ketidakseimbangan antara keduanya akan menyebabkan ketidakstabilan sosial antarpara pemeluk agama.

Ketika fanatisme terlalu kuat, sementara toleransi rendah, maka pada pemeluk agama akan muncul sikap permusuhan terhadap pemeluk agama lain. Tetapi ketika toleransi yang dominan dalam diri pemeluk agama, maka eksistensi agama mereka akan melemah karena dalam situasi ini para pemeluk agama tidak lagi merasa bangga dengan agama yang mereka peluk. Dalam hal ini, agama tidak lebih dari sekedar ritual yang tidak punya makna apa-apa karena agama bersangkutan sama derajat dan kebenarannya dengan agama lainnya yang ada.

Hal tersebut bisa dilakukan dengan baik jika pemerintah melakukan sosialisasi secara menyeluruh kepada  masyarakat mengenai arti pentingnya nilai-nilai Pancasila secara perlahan yang mulai ditinggalkan masyarakat. Selain itu juga memberikan pemahaman terhadap lembaga, sekolah, dan masyarakat pada umumnya tentang ideologi Pancasila dan moderasi Islam.

Penyuluh Agama Islam Jagakarsa Kota Jakarta Selatan.