Indonesia merupakan negara yang penduduknya termasuk paling murah hati. Namun, tingkat toleransi di Indonesia tergolong masih rendah. Indeks Aid Foundation (IAF) tahun 2018 mencatat bahwa Indonesia masuk rangking pertama sebagai negara yang murah hati.
Indikator murah hati tersebut mencakup kesediaan membantu orang asing, menyumbangkan uang, dan melonggarkan waktu untuk aktivitas sosial. Sedangkan laporan dari Social Progress Index tahun 2017 menyatakan bahwa toleransi di Indonesia hanya mencapai 35,47 dari skala 100. Tingkat toleransi di Indonesia berada pada posisi 117 dari 128 negara.
Pertanyaan pertama yang harus dijawab adalah apakah agama berperan penting dalam pembentukan perilaku intoleran? Harvey Whitehouse adalah direktur Institut Antropologi Kognitif dan Evolusi di Magdalen College di Inggris yang memiliki ide tentang konsep “Tuhan dan moral”. Menurutnya, Tuhan dan moral merupakan sarana yang membuat manusia bertindak dan memilih pilihan.
Selain itu, ada pula konsep “identity fusion” yang menjelaskan bahwa agama membentuk pemahaman tentang apa yang benar dan salah pada individu secara kontinyu. Akhirnya, agama memiliki kontribusi sentral karena identitas agama mayoritas telah terbentuk semenjak kecil dan bertumbuh semakin kuat.
Berbagai identitas telah ada dan menjadi bagian penting dalam masyarakat plural di Indonesia. Proses bersatunya berbagai identitas menjadi kesatuan masyarakat akan menimbulkan saling berbagi pengalaman dan pelan-pelan berpotensi menghasilkan pemahaman dan kesimpulan benar atau salah. Pemahaman yang kuat dan lama menjadi titik kekuatan dalam pemikiran setiap pikiran serta tindakan setiap individu.
Sementara itu, pemahaman tersebut harus berdampingan dengan masyarakat lain atau budaya lain yang memiliki budaya serta agama yang berbeda. Identitas yang tertanam kuat kemudian menjadi sebuah respons yang terkait motivasi untuk berjuang dan mati (fight and die). Motivasi ini telah mendorong ke arah sikap ekstrem bahwa setiap individu mau berjuang dan berani bertarung untuk kepentingan kelompok tertentu.
Agama memiliki gagasan sistem pengawasan yang dikenal dengan konsep “eye in the sky” yang digagas oleh Harvey. Konsep ini merupakan konsep yang menyatakan bahwa Tuhan dapat melihat pemikiran yang ada dalam manusia dan Tuhan mampu memberikan kepada manusia baik berupa pahala (balasan kebaikan) dan hukuman. Konsep “eye in the sky” (pengawasan) inilah yang sebaiknya diakui dan dijadikan kesadaran oleh setiap orang dan masyarakat dalam bersikap dalam kehidupan sehari-hari. Lalu bagaimanakah solusi dalam mengatasi intoleransi?
Konsep “eye in the sky” (pengawasan) tersebut harus diakui dan dipahami bersama oleh masyarakat. Selain diakui secara kolektif, konsep pengawasan harus diimplementasikan dalam produk hukum yang mengatur norma dan nilai berperilaku, serta disepakati bersama para tokoh agama dan kepercayaan yang berbeda. Setiap tokoh agama harus dirangkul, mampu bekerja sama, dan mampu berperan menjadi agen sosialisasi agar praktik toleransi menjadi nyata dalam kehidupan sehari-hari.
Indonesia sebagai negara hukum tidak mungkin memiliki norma dan nilai berperilaku hanya berdasarkan kesepakatan semata dalam sebuah rapat. Penguatan kesepakatan dalam sebuah regulasi menjadi penting karena akan menjadi pedoman, serta akan menimbulkan sanksi hukum bagi pelanggar. Hukum juga merupakan alat bersama untuk melindungi setiap warga negara dari semua penyelewengan yang mengarah pada intoleransi beragama. Segala bentuk penyelewengan ini akan mengarah pada tindakan yang mengancam kesatuan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Secara singkat, agama pada posisi netral yaitu bukan pada posisi mendukung manusia bertindak ekstrem, baik ekstrem ke kanan (tekstualis) maupun ekstrem ke kiri (liberal). Agama dengan segala nilai dan norma di dalamnya mengarahkan manusia untuk mengedepankan perdamaian, kerukunan, dan saling menghormati. Maka dari konsep “eye from sky” di atas tiap masing-masing individu bisa melakukan ajaran agamanya secara individual sehingga menciptakan kesalehan individu.
Namun, kesalehan individu ini tidak bisa sempurna tanpa etika sosial dalam konteks negara hukum dan plural. Kesalehan yang sempurna dalam semua agama mencakup kesalehan individu dan kesalehan sosial. Kesalehan individu hanyalah bagian kewajiban antara Tuhan dan manusia, sementara kesalehan sosial merupakan etika hidup berdampingan manusia satu dengan yang lain dalam konteks bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Maka, kebaikan yang dilakukan seorang individu tidak boleh mengganggu kepentingan umum, dan harus menghargai harkat dan martabat manusia, serta adil dan berimbang. Ketiga ukuran tersebut telah menjadi prinsip dalam moderasi beragama di Indonesia saat ini.
Gagasan bahwa Tuhan melihat manusia sebagai bentuk pengawasan “eye in the sky” harus dipahami juga dalam konteks era digital. Salah satu tantangan keberagamaan di Indonesia saat ini adalah pergeseran manusia mencari literatur dan referensi keagamaan melalui media digital. Sikap pergeseran ini penting menjadi perhatian umat beragama dan negara karena bisa jadi seseorang mencari literatur atau narasi agama bukan karena keilmuan yang dimiliki seseorang tokoh agama.
Namun, seseorang mencari pemahaman agama melalui media sosial hanya berdasarkan banyaknya pengikut (follower) atau karena dulunya seorang artis dan lain sebagainya. Oleh sebab itu, konsep pengawasan dari Tuhan ini harus menanamkan pemahaman kepada individu bahwa akses digital harus diimbangi dengan kemampuan individu dalam memfilter pemahaman agama yang ekstrem.
Ternyata, agama tidak mengarahkan manusia bersikap ekstrem dan tidak mengajak bersikap intoleransi. Agama sebagai “identity fusion” mengarahkan manusia menghargai perbedaan adalah sebuah keniscayaan. Manusia yang beragama secara sadar dan berkesinambungan mendapatkan pemahaman tentang kebenaran dari agamanya dan dia juga akan merasa diawasi oleh Tuhan.
Pengawasan dari Tuhan ini tidak cukup diwujudkan sebagai keimanan individu tetapi juga diwujudkan dalam kesepakatan bersama atau “consesus” dalam bentuk regulasi negara. Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Agama telah bertekad dengan gagasan moderasi beragama. Sehingga, manusia yang beragama diharapkan dapat adil dan berimbang, menjaga ketertiban umum, dan menghargai martabat manusia.
Sementara itu, pada dunia digital dan dunia global bahwa sikap merasa diawasi Tuhan wajib diimplementasikan dalam bentuk kemampuan memfilter informasi dan menyampaikan informasi agama. Dari situlah seseorang mampu beragama sesuai dengan fitrahnya, menghargai keberagaman, dan beragama yang santun kepada manusia lain.