Social Media

Membaca Kembali “Korupsi” Karya Pram Menuju Tahun 2024

“Negeri ini paling kaya di dunia, tapi sekarang negeri ini menjadi melarat karena koruptor tidak ditindak dengan tegas!”

Gus Dur

Kutipan dari Presiden RI ke-4 di atas sengaja saya hadirkan di hadapan pembaca sebab setiap hari di bawah kolong langit ini korupsi tak pernah berhenti terjadi. Bahkan saat Anda membaca tulisan ini korupsi bisa saja korupsi sedang terjadi di bawah-bawah meja kantor-kantor pemerintah atau bahkan di atas mejanya.

Pada tahun 2024 ini kita akan menghadapi kontestasi politik akbar. Pemilihan presiden, dewan perwakilan rakyat, gubernur, walikota, bahkan bupati dilaksanakan secara serentak. Ya, sangat megah kedengarannya, juga memerlukan banyak tenaga dan biaya untuk membuat pesta demokrasi itu sukses.

Berbagai poster-poster dipampang di sudut-sudut jalan perkotaan bahkan sampai perdesaan dengan slogan masing-masing calon. Begitupun dengan janji-janji politiknya. Salah satu janji yang paling laris adalah pemberantasan korupsi. Suatu penyakit yang telah mendarah daging di negeri ini, yang perlu penanganan khusus dari para pemangku kebijakan.

Korupsi ini menjadi topik yang tabu bahkan untuk sekedar dibicarakan. Seperti yang dikemukakan oleh Robert Kiekergard (2005) dalam buku terjemahan berjudul Membasmi Korupsi. Robert mengemukakan bahwa korupsi sedang menelan perekonomian serta kebijakan-kebijakan banyak bangsa di Dunia Ketiga, tetapi para ahli kebijakan pembangunan cenderung mengabaikannya.

Pengabaian ini menjadi concern salah satu sastrawan Indonesia, Pramoedya Ananta Toer. Mulai dari sini kita akan memanggilnya Pram. Pram adalah sastrawan lokal Indonesia yang karya-karyanya mendunia. Sisi-sisi kemanusiaan yang diangkatnya dalam tulisan menggugah pembaca di berbagai belahan dunia. Termasuk karyanya berjudul Korupsi.

Menurutnya, korupsi adalah penyakit masyarakat yang usianya sama dengan keberadaan umat manusia di bumi dan tiada pernah tersembuhkan. Buku ini pertama kali terbit pada tahun 1954, yang kemudian dicetak ulang dengan EYD pada 2002 oleh penerbit Hasta Mitra. Cetakan kedua buku ini diterbitkan pada tahun 2013.

Buku tipis ini menjadi bacaan bernas bagi para penikmat karya-karya Pram. Dirinya dengan apik menggambarkan kondisi-kondisi pada era Orde Baru yang sedang marak-maraknya KKN (Korupsi Kolusi Nepotisme).

Tokoh utama pada buku itu adalah Bakir. Seorang pegawai pemerintahan yang pada awalnya berlaku jujur dan memiliki keperwiraan dalam dadanya. Namun, sedikit demi sedikit mulai tergerus oleh keadaan.

Seperti saat dirinya mulai merasa menyekolahkan anaknya adalah suatu beban. Dalam monolog dalam batin Bakir di halaman 3 cetakan Hasta Mitra, Bakir menjelaskannya seperti berikut:

“Kami ingin mendapat tempat tinggal aman. Kami butuh uang untuk mengusir warung di depan. Anak-anak sudah besar dan harus melanjutkan sekolahnya. Ah, dahulu sekolah adalah kebanggan, kebesaran, dan pangkal segara cita kemuliaan. Sekarang suatu kewajiban yang biasa saja.”

Keterdesakan ekonomi dan tuntutan dari berbagai sisi seringkali menjadi pendorong seseorang untuk melakukan korupsi. Seperti yang dikemukakan oleh Max Weber (dalam Siti: 2018), perilaku, dan sikap penguasa yang berorientasi pada keuntungan-keuntungan pribadi sebenarnya telah terjadi di semua masa dalam sejarah politik kepemerintahan.

Terlebih dorongan moral yang menganggap diri telah berjasa pada negara membuat para pelaku semakin terdorong untuk melakukan korupsi. Seperti dorongan diri Bakir untuk melakukan korupsi karena merasa diri telah cukup menderita jadi pegawai.

“Kesengsaraan sudah aku jalani terlebih dahulu. Semua itu adalah celengan. Dan yang akan kukerjakan sekarang semata-mata memecah celengan. Tidak! Itu bukan kejahatan, bukan pelanggaran—itu sudah selayaknya.”

Kebobrokan moral menjadi pendorongnya. Penyakit masyarakat ini menurut John T Noonan (dalam Robert: 2005) pada intinya merupakan masalah etika—dan seperti itulah sepanjang sejarah yang tercatat.

Sehingga buku yang ditulis oleh Pram ini menjadi pembelajaran moral yang jika diresapi dalam-dalam oleh kita yang akan menghadapi pesta politik tahun 2024 membuat kita harus berpikir kembali tentang pilihan-pilihan calon kita. Apa saja janji-janji politiknya? Apakah ada terkait pemberantasan korupsi? Bagaimana dengan latar belakangnya pada kancah politik?

Bahkan Pada Pandemi Korupsi Makin Marak

Pandemi Covid-19 membuat kita semua mengalami tidur panjang. Tidur yang melonggarkan para pemangku kebijakan untuk melahirkan kebijakan yang banyak. Seperti yang dilaporkan oleh Indonesia Corruption Watch (ICW) pada tahun 2020, di mana ancaman korupsi lebih besar dibanding kehidupan normal.

Menurut ICW, pemerintah menggelontorkan anggaran sangat besar, hampir mencapai 700 triliun rupiah pada 2019 untuk menanggulangi pandemi dan dampaknya, tetapi hampir semua proses belanja dan penggunaan uangnya dilakukan secara darurat.

Artinya, prosedur yang biasanya diterapkan untuk memastikan transparansi dan akuntabilitas sektor publik tidak berlaku pada situasi darurat karena prioritasnya adalah respons cepat atas situasi genting (Laporan Tahunan 2020, ICW).

Terlebih, pada saat yang sama sistem antikorupsi yang relatif baik yang Indonesia pernah punya yaitu KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) telah dilemahkan melalui terbitnya UU No. 19 tahun 2019, sebagai revisi atas UU No. 30 tahun 2002. Dampaknya, tulis ICW skor Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia tahun 2022 anjlok drastis, menjadi hanya 37, dan 40 pada tahun sebelumnya. Kebijakan-kebijakan tersebut menggambarkan kemauan dari pemangku kebijakan dalam memberantas korupsi yang setengah hati.

Dipikir Enak Korupsi?

Etika yang bobrok tadi mendorong seseorang untuk melakukan korupsi, sebab bayangan-bayangan utopis tentang hidup bahagia tak pernah benar-benar terwujud. Akhir dari koruptor adalah penjara. Seperti yang dialami oleh tokoh Bakir.

“Dahulu selalu aku membanggakan bisa memiliki mobil. Sekarang untuk pertama kalinya aku tak berani mengakui lagi.”

Segala harta kekayaan milik pegawai tentu akan dihitung melalui LHKASN (Laporan Harta Kekayaan Aparatur Sipil Negara) adalah daftar seluruh harta kekayaan ASN yang dituangkan dalam formulir LHKASN yang ditetapkan oleh Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Kemenpan-RB).

Dari laporan tersebut akan diketahui berapa harta yang seharusnya dimiliki oleh pegawai dibandingkan dengan jumlah penghasilannya. Jika seandainya hartanya melebihi penghasilannya, maka akan ada indikasi korupsi.

Bakir sendiri adalah tokoh yang masih memiliki etika dan moral keperwiraan pada akhir-akhir hidupnya sebelum mendekam di penjara. Dirinya menyadari bahwa untuk memperoleh uang dan kemewahan dirinya rela kehilangan segala-galanya.

Satu-satunya semboyan yang terngiang di telinga Bakir adalah semboyan yang sering digaungkan oleh Sirad, pemuda yang rajin belajar dengan cita-cita menumpas korupsi.

“Keperwiraan! Keperwiraan! Keperwiraan menghadapi segala-galanya. Cukup keperwiraan yang bisa mendorong Indonesia, Pak,”

Bakir sendiri mengakui perilaku korupsi akan sulit ditumpaskan oleh angkatannya. Angkatan tua. “Satu-satunya kemuliaan adalah menghambakan diri dan menunggu pemberian. Alangkah beda dan bertentangan dunia kami, dan alangkah jauh jarak antara keduanya. Kedatangan pemuda ini sekaligus melenyapkan kerisauanku. Kuperoleh ketenangan pikiran, kuperoleh kedamaian dan keyakinan: aku dan golonganku adalah angkatan yang mesti lenyap, dan tidak ada lagi faedahnya bertahan di balik benteng kepalsuan. Mereka yang benar, mereka harus hidup terus.”

Mungkin ini selaras dengan hasil publikasi Badan Pusat Statistik (BPS) terhadap Indeks Perilaku Anti Korupsi (IPAK) tahun 2021. Yaitu, pada kelompok umur 18-40 tahun IPAK sebesar 3,89 persen, umur 40-59 tahun sebesar 3,88 persen, dan umur 60 tahun ke atas sebesar 3,87 persen.

Kemudian perlu kita ketahui IPAK mengukur tingkat permisifitas masyarakat terhadap perilaku antikorupsi yang mencakup pendapat terhadap kebiasaan di masyarakat dan pengalaman berhubungan dengan layanan publik dalam penyuapan, gratifikasi, pemerasan, nepotisme, dan sembilan nilai antikorupsi (BPS 2022).

Analisis Pram sudah sangat jauh terhadap angkatan muda yang akan menjadi pendorong revolusi kebijakan di Indonesia. Asal terus terjaga etika dan moralnya. Tentu saja, hal tersebut juga didorong dengan kondisi lingkungan yang memadai. Dalam hal ini angka kemiskinan sudah kurang, begitupun angka pengangguran. Kalau tidak, maka koruptor-koruptor muda akan lahir dengan metode yang lebih modern.

Setiap kita harus memiliki jiwa keperwiraan seperti Sirad. Dengan keberanian yang tak dilebih-lebihkan dirinya tak menghamba untuk diberi keperwiraan, tapi membuat keperwiraan itu sendiri.

“Untukku sendiri, aku tidak menunggu hingga diberi. Aku—untukku—semua itu kubuat sendiri, kuciptakan sendiri, kuperjuangkan sendiri.”

Penutup

Sekali lagi saya ingin menyampaikan bahwa buku karya Pramoedya Ananta Toer masih sangat relevan untuk dibaca oleh berbagai kalangan. Baik golongan tua maupun golongan muda. Terutama menghadapi pesta demokrasi saat ini yang gonjang-ganjing janji politik menjalar bagai pandemi.

Mungkin ini adalah cita-cita yang cukup berlebihan dari saya. Jika kita ingin memberantas korupsi sejak dini, maka kebijakan dalam dunia pendidikan harusnya mewajibkan para murid untuk membaca novel Korupsi oleh Pramoedya Ananta Toer.

Jangan sampai ungkapan Max Lane mengakar di darah daging kita masyarakat Indonesia.

“Hanya satu negara besar yang tak mengajarkan karya Pramoedya ke siswanya: Indonesia.”

Max Lane


Penggerak Komunitas GUSDURian Gorontalo.