Social Media

Mohibadaa: Tradisi Olahan Rempah yang Mulai Tergerus

Pagi itu, September 2021 saya dan dua orang teman menyusuri jalan menuju ke suatu kampung. Jalan menuju kampung itu, Desa Kayubulan, Batudaa Pantai, Kabupaten Gorontalo ditempuh dalam waktu 41 menit dari pusat Kota Gorontalo.

Kala itu, saya, Rodney, dan Jabal berkeinginan menelusuri keberadaan jalur rempah di daerah Gorontalo melalui tradisi Mohibadaa. Tradisi tersebut sudah ada sejak zaman dulu yang menjaga kulit para wanita Gorontalo. Namun keberadaannya sudah mulai tergerus.

Sekitar 15 menit menyusuri garis tengah putus-putus jalan perkotaan, kami mulai memasuki daerah Kabupaten Gorontalo yang jalannya sudah berbeda. Ada banyak lobang-lobang yang terus berciuman dengan ban motor kami.

Setelah menempuh waktu 40 menit lebih kami akhirnya sampai di Desa Kayubulan, Batudaa Pantai. Suasana pedesaan yang khas menyambut kedatangan kami. Rumah-rumah berdiri kokoh berhadap-hadapan dengan garis pantai yang panjang. Itulah Batudaa Pantai.

Kami menemui Rahima Jafar (61), warga Desa Kayubulan yang juga adalah seorang Hulango. Mohibadaa adalah suatu kenangan yang menemani masa kecilnya. Rahima mengatakan dirinya belajar mobadaa sejak remaja dari neneknya.

Kala itu tahun 1978, umurnya memasuki 14 tahun. Orang-orang di wilayah ini akan menggunakan badaa atau mohibadaa saat akan menikah.

”Bahan-bahan dari mohibadaa itu ada berbagai jenis seperti: humopoto, dumbaya, bungale, bawang putih, bilobohu, u’ulolito, binthalo. Bahan-bahan itu dinamai mato lo umonu. Dan dulu sejak tahun 1950-an masih banyak ditemukan di kampung kami,” tutur Rahima.

Ada banyak manfaat dari mohibadaa, di antaranya sebagai obat bagi penyakit kulit sarampah, yang kemudian diiringi dengan doa-doa islami. Hanya saja Rahima bilang, hal itu sudah mulai ditinggalkan oleh masyarakat sebab masuknya obat-obatan modern.

Meski pemakaian mohibadaa pada dasarnya digunakan bagi para wanita yang akan menikah, tapi penggunaan setiap hari juga bisa dilakukan. Rahima mengatakan, ketika ingin menggunakan mohibadaa penggunanya harus menggunakannya seharian penuh di wajah dan kulit badannya.

“Memakai mohibadaa tidak boleh dicuci hingga sore hari. Harus digunakan seharian penuh. Mungkin hal itu yang menjadi penyebab tergerusnya mohibadaa,” tutur Rahima menarik nafas dalam-dalam.

Kartini Alinti (52) dan Adelvin Djakaria (38) bersama mengakui sensasi dingin dan nyaman saat menggunakan mohibadaa. Mereka mengaku bahwa kulit mereka terjaga kesehatannya selama memakai mohibadaa, wajah mereka terasa lebih halus dan kencang.

“Tapi zaman sekarang anak-anak muda lebih memilih kosmetik instan yang siap digunakan. Untuk membuat mohibadaa itu kan lama, tapi tidak ada efek samping yang berbahaya karena semua bahannya dari alam,” tutur Kartini.

Jalur Niaga Rempah Sulawesi-Maluku

Gorontalo merupakan jalur persinggungan yang menghubungkannya dengan Ternate. Melalui Perjanjian Bungaya pada 18 November 1667 hal itu pun mulai terwujud. Perjanjian antara Ternate dan VoC tersebut membuat Gorontalo masuk dalam pengawasan Kolonial Belanda (Basri & Hasanuddin: 2012).

Gorontalo sendiri memiliki wajah alam perairan yang disebut oleh Basri dan Hasanuddin (2012) yakni, pada periode tahun 1686 menjadi daerah yang rawan banjir. Dapat diketahui juga geografi Gorontalo dikenal dengan daerah perairan yang menjadi jalur dua sungai, yakni Sungai Bone dan Bolango, yang kemudian membentuk perilaku penduduk memanfaatkan perairan sebagai lalu lintas utama.

Melalui jalur Teluk Tomini, hal ini mendorong keberadaan pelabuhan-pelabuhan di Gorontalo diperuntukkan sebagai jalur niaga. Pada awalnya, Gorontalo menjadi bandar pelabuhan, kemudian melalui komoditas emas dan hasil bumi lainnya seperti kopi, kelapa, kopra, indigo, kapas, sagu, damar, rotan, coklat, tebu, tembakau, gula aren, getah copal, getah kayu (mengkudu), serta kayu-kayu berkualitas tinggi menjadikan Gorontalo sebagai komoditas perdagangan.

Di tahun 1829, jenis kapal yang sering beraktivitas di Gorontalo salah satunya adalah kapal paduakang, schoner yang merupakan kapal cepat, dan juga galai. Kemudian, melalui Surat Keputusan 15 Juli 1888 tentang pembentukan perusahaan angkutan negara, pemerintah kolonial mulai menaruh perhatian terhadap Gorontalo. Sejak 4 september 1888, jalur pelayaran dibuka oleh perusahaan KPM (Basri dan Hasanuddin: 2012).

Seperti yang dikatakan oleh Rahima, bahwa untuk memperoleh rempah-rempah dalam pembuatan mohibadaa masyarakat harus melakukan pelayaran. Yang dimaksudnya pada kala itu menggunakan perahu sederhana yang digerakkan dengan dayung.

“Jadi, di tahun 1960 hingga 1970, untuk membuat mohibadaa kita tidak perlu membeli bahan-bahannya di kota, karena sudah disediakan oleh alam,” tutur Rahima Djafar.

Untuk itu, bahan-bahan dalam mato lo umonu seperti kencur, bawang putih, lempuyang, temulawak, dan kunyit serta tanaman rempah lainnya diperoleh di Kampung Kayu Bulan dan juga di Kampung Lembah Bulan pada masa dulu. 

***

Kami pun melaksanakan penelusuran kembali mohibadaa di Desa Lembah Hijau, Kecamatan Bone Pantai, Kabupaten Bone Bolango. Seperti sebelumnya, kami kembali menyusuri aspal jalan selama satu jam dari Kota Gorontalo menuju desa tersebut.

Hijau perkampungan itu menggugah kenyamanan di hati saya. Di depan-depan rumah masyarakat terdapat kebun kecil yang di atasnya ditanam berbagai jenis bahan-bahan dapur, yang membuat mereka tak kerepotan saat kekurangan bahan memasak.

Seorang ibu di kampung itu terlihat membeli sayur pada penjual sayur. Dia mengenakan mohibadaa di wajahnya dan menutupi sekujur tubuhnya dengan sarung.

Di desa itu kami menemui Alifa Adam (88). Orang-orang sekitar menyebutnya Oma Alifa. Kerutan di wajahnya menggambarkan jutaan pengalaman yang telah dilaluinya. Saat menuturkan keinginan kami untuk ditunjukkan cara meramu mohibadaa, Oma Alifa langsung bertanya siapa yang ingin menikah?

Di tempat itu, Oma Alifa mempraktikkan cara membuat mohibadaa yang dibentuk menjadi padatan bulat. Ada tiga jenis mohibadaa yang dibuat dari bahan-bahan mato lo umonu tadi, yakni bulatan padat berwarna hitam, yang kemudian juga ada padatan berbentuk segitiga berwarna putih dan kuning.

Mohibadaa dan Jejak Historis Islam di Gorontalo

Mohibadaa telah digunakan sejak zaman dulu. Hal tersebut dituturkan oleh Rionaldi Doe (31), salah satu pemangku adat di Kota Gorontalo. Mohibadaa adalah simbol penjagaan harkat dan martabat seorang wanita di masyarakat Gorontalo.

“Ketika menggunakan mohibadaa maka wanita akan menggunakan bontho yang merupakan sarung untuk menutupi badannya, yang tujuannya agar tidak ada laki-laki sembarangan mendekatinya,” tutur Rionaldi.

Alasan penggunaan mohibadaa di pagi hari dikarenakan ada peribahasa di kalangan masyarakat Gorontalo terhadap perempuan yakni tadulahu, yaitu orang yang bekerja pada siang hari. Artinya perempuan pada malam hari sudah harus berada di rumah. Sehingga pada siang hari mereka menjaga kulitnya dengan mengenakan mohibadaa.

Sejarah mohibadaa ini telah ada sejak Islam pertama kali masuk di Gorontalo melalui jalur pernikahan Sultan Amai dan Ratu Boku Owutango. Pada sejarahnya tutur Rionaldi, Sultan Amai harus memenuhi syarat untuk mengislamkan masyarakatnya sebagai syarat menikahi putri.

Sejarah peradaban Islam bisa ditemukan bukti historisnya yaitu Masjid Hunto (tihi lo hunto) yang dibangun oleh Sultan Amai sebagai penanda berdirinya fondasi Islam di Gorontalo. Basri & Hasanuddin (2012) menuliskan bahwa, pada tahun 1530 agama Islam resmi menjadi agama Kerajaan Gorontalo dan mengatur adat istiadat dengan memasukkan pengaruh Islam di dalamnya. Termasuk salah satunya adat mohibadaa.

“Saat itu Sultan Amai menyeru rakyatnya berkumpul dengan membawa hewan ternaknya, yakni babi. Kemudian beliau menyeru untuk menyembelih babi peliharaan yang kemudian darah dari hewan tersebut diusap ke tengah dahi kemudian menyeru bo honthi ngui tingoli monga boi (hari ini terakhir kalian makan babi),” Rionaldi mengingat kisah yang diceritakan oleh guru-guru ngajinya.

Makna filosofis dari hal yang dilakukan oleh Sultan Amai itu yakni sebagai simbol penanggalan sifat kekanak-kanakan masyarakatnya. Kemudian mengecap dahi ini dengan darah babi ini digantikan dengan bahan-bahan dari rempah yang dinamai bontho. Bontho adalah bahan-bahan awal dari mohibadaa, tutur Rionaldi.

Bahan-bahan rempah yang digunakan dalam mohibadaa juga dapat ditemui pada adat-adat lainnya di Gorontalo. Rionaldi menyebut bahwa ada berbagai adat yang menggunakan bahan rempah seperti adat mandi lemon dan lainnya.

Keinginan Melestarikan Mohibadaa

Rahima sebagai hulango di kampungnya memiliki cita-cita untuk meneruskan kebiasaan penggunaan mohibadaa kepada anak cucunya. Sehingga kebiasaan yang telah menjadi adat di kalangan masyarakat Gorontalo itu tidak akan hilang.

Dirinya mengakui sudah sangat jarang menggunakan mohibadaa sebab sudah sangat jarang anak dan cucunya yang berkeinginan untuk menggunakannya. Kecuali ketika ada keperluan untuk adat pernikahan.

“Zaman sudah modern. Penggunaan mohibadaa jadi tersaingi dengan produk-produk yang cepat dan instan untuk diperoleh dengan hasil yang cepat terlihat,” hela Rahima. 

Penggerak Komunitas GUSDURian Gorontalo.