Beberapa waktu lalu media sosial dihebohkan dengan adanya berita pertemuan kelompok LGBT se-Asean di Jakarta pada tanggal 17-21 Juli 2023. Merebaknya isu pertemuan kelompok LGBT ini menimbulkan reaksi yang begitu massif dari berbagai pihak, sebab dianggap sebagai suatu bentuk penyimpangan sosial yang tidak sesuai dengan budaya dan kultur masyarakat, khususnya Indonesia.
Kelompok LGBT merupakan entitas sosial yang bukan lagi hal baru, sebab perilaku LGBT sudah ada sejak beberapa abad yang lalu, atau dikenal dengan istilah Kaum Shodom pada masa Nabi Luth a.s. Reaksi masyarakat yang begitu besar terhadap isu pertemuan LGBT ini sebenarnya wajar saja, sebab banyak orang memandang kelompok LGBT tidak sesuai dengan fitrah umat manusia, utamanya dalam perilaku seksual sehingga dianggap menyimpang.
Jika melihat kasus ini dari sudut pandang feminis radikal, tentu perilaku LGBT bukan hal yang tabu atau buruk, sebab konsep seksualitas adalah pengalaman ketubuhan yang hanya bisa dirasakan oleh pelaku atau individu itu sendiri. Sedangkan dalam konteks kenegaraan kita, apakah negara berhak melarang perilaku LGBT ini dalam kehidupan sosial masyarakat kita? Lalu apakah Pancasila memiliki legitimasi untuk kemudian melahirkan peraturan untuk melarang perilaku tersebut?
Menurut pandangan feminis radikal, negara tidak boleh ikut campur pada hal-hal privat masyarakat sebab negara tidak pernah tahu bagaimana sensasi seksual antara sesama jenis sehingga aturan untuk mengintervensi tindakan LGBT tidak boleh dilakukan oleh negara.
Namun pada kasus kali ini, penulis hanya ingin mencoba melihat pada sisi yang lain terhadap keberadaan entitas sosial ini (LGBT). Bagaimanapun perilaku menyimpang kelompok LGBT, mereka tetaplah manusia dan punya hak sebagai warga negara yang berdaulat dan dilindungi oleh konstitusi. Sikap pembubaran aktivitas kelompok LGBT dengan berbagai ancaman bukanlah solusi yang tepat.
Jika negara ingin mengubah perilaku ini, ada baiknya dengan melakukan pendekatan yang lebih manusiawi dan komunikatif tanpa membuat keberadaan mereka terancam. Pernahkah kita kemudian mendengar secara utuh suara mereka? Bisa saja ada hal-hal yang membuat mereka menjadi penganut paham LGBT ini. Kalaupun perilaku ini dianggap penyakit sosial, muncul pernyataan seperti ini, “Apa bedanya keberadaan aktivitas seks komersil yang dijajakan dengan bebasnya di negeri ini? Yang sama-sama memberi penyakit, bahkan penularan HIV/AIDS itu sendiri kebanyakan akibat perilaku seks bebas.
Tulisan ini bukan bermaksud untuk mendukung mereka yang berperilaku demikian, tetapi lebih kepada bagaimana kita memberi solusi dengan pendekatan secara kemanusiaan, lalu beranjak pada solusi berdasarkan regulasi secara bertahap. Misalnya melakukan relokasi agar penyebaran penyakit sosial ini tidak merebak secara bebas, seperti regulasi yang ada di negara Belanda misalnya.
Kawasan Red Light District di Belanda adalah sebuah kawasan aktivitas malam yang diregulasi oleh pemerintah semata-mata untuk menjaga kondusivitas sosial, di mana di lokasi tersebut disediakan tenaga medis dan kepolisian untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan, bahkan anak di bawah umur dilarang masuk, serta meminimalisir tingkat kriminalitas yang ada (Kompas.com, Juni 2021).
Terakhir apakah pemerintah di negara ini pro terhadap regulasi prostitusi atau hal-hal yang sifatnya dilarang semisal minuman keras? Saya kira hal ini bisa kita diskusikan dengan akal sehat agar tidak menimbulkan kesalahpahaman. Sebagai contoh pembubaran lokalisasi prostitusi di Doli, Surabaya mengakibatkan PSK di sana menyebar yang tentunya penyebaran penyakitnya jauh lebih luas akibat tidak direlokasi dengan baik.
Bagaimanapun, kelompok LGBT ini tetaplah manusia yang harus dilindungi haknya dan berhak untuk mendapat perlakuan yang sama di mata negara. Masyarakat tidak berhak mengucilkan mereka karena itu bukanlah karakter bangsa ini. Mari untuk sama-sama memberikan solusi dengan pendekatan kemanusiaan sebagaimana Gus Dur juga melakukan hal tersebut seperti pada kasus Dorce Gamalama yang kasusnya mungkin tak jauh beda dengan LGBT.