Social Media

Gus Dur dan Teori Peradaban

Dalam sebuah forum yang diselenggarakan oleh Islam Nusantara Center yang mengambil tema “Ke mana Islam Nusantara Menggerakkan Peradaban?”, sang pemateri yakni Muhammad Al-Fayyadl -intelektual muda NU- memberikan tiga statement yang menarik untuk dielaborasi lebih jauh. Pertama, Fayyadl menyatakan bahwa Gus Dur sebenarnya telah mengembangkan satu teori peradabannya sendiri yang relevan untuk dikembangkan di era kontemporer saat ini, terkhusus di tengah bergaungnya wacana Islam Nusantara.

Kedua, Fayyadl menyatakan bahwa sayangnya teori peradaban Gus Dur tidak menarik perhatian para GUSDURian sendiri yang menurutnya lebih “asyik” berkutat pada isu-isu “kecil” semacam toleransi. Bukan maknanya isu “kecil” tersebut tidak penting, tapi bagi Fayyadl justru dengan mengelaborasi gagasan besar Gus Dur maka isu-isu tersebut akan lebih mudah untuk diaktualisasikan. 

Ketiga, Fayyadl menyatakan bahwa teori peradaban Gus Dur bukan tanpa “cacat” dan oleh karena itulah maka teori ini mesti disempurnakan. Fayyadl menyatakan bahwa “cacat” yang dimaksud ialah teori ini masih dibangun di atas paradigma antroposentrisme yang problematik -karena paradigma ini yang juga menopang bekerjanya peradaban saat ini-. Fayyadl sendiri mengusulkan agar perlu dikembangkan satu paradigma post-antroposentrik yang berasal dari warisan kosmologis peradaban Islam -termasuk yang eksis di Nusantara-. Warisan kosmologis ini jika direvitalisasi akan membantu dalam merumuskan ulang relasi antara manusia dengan manusia, manusia dengan kosmos, dan manusia dengan Tuhan. Rekonstruksi kosmologis (metafisika) ini nantinya akan berpengaruh besar pada bangunan peradaban yang akan dibangun.

Tulisan ini secara umum mengafirmasi tiga poin yang dikemukakan oleh Fayyadl tersebut, namun dengan sejumlah catatan. Catatan ini mesti dimaknai sebagai bagian dari kerja-kerja kolektif untuk memperkuat teori peradaban Gus Dur agar teori tersebut dapat semakin tajam untuk dioperasionalisasikan dalam era kontemporer saat ini. Catatan kritis yang pertama ialah terkait dengan sejumlah interpretasi Fayyadl tentang teori peradaban Gus Dur, di mana teori peradaban yang ia maksud termaktub dalam artikel Gus Dur yang berjudul “Kebangkitan Kembali Peradaban Islam: Adakah Ia?” yang ditulis pada tahun 1985 sebagai kata pengantar dari buku berjudul Mengapa Memilih NU? yang merupakan kumpulan tulisan dari KH. A. Wahid Hasyim yang disusun di era sekitar tahun 1957.

Fayyadl menyatakan bahwa Gus Dur memprediksikan kebangkitan tiga arus peradaban dunia yang dinilainya akan membangun semacam aliansi untuk melawan dominasi peradaban Barat yang dinilainya bercorak kapitalistik. Jika kita cermati secara seksama artikel yang ditulis oleh Gus Dur tersebut maka kita akan dapati kekeliruan penisbatan gagasan tentang kebangkitan tiga arus peradaban dunia kepada Gus Dur. Dalam artikel tersebut Gus Dur secara terbuka menyatakan bahwa itu adalah gagasan dari Soedjatmoko. Menurut Gus Dur, Soedjatmoko adalah seorang intelektual yang mumpuni sekaligus dikenal dengan kejujurannya, sehingga gagasannya menjadi satu poin yang patut untuk diperhatikan bersama.

Soedjatmoko sendiri mengemukakan teorinya bahwa perkembangan negara industri telah mencapai titik optimal yang memungkinkan negara-negara berkembang memiliki peluang untuk mengejar ketertinggalannya. Bagi Soedjatmoko, satu poin yang secara krusial membedakan sejumlah negara berkembang yang berupaya memacu dirinya dengan negara industrial Barat hanya soal persenjataan. Dengan kata lain jarak antara negara berkembang dan negara industri Barat semakin tipis. Secara natural, bagi Soedjatmoko, perkembangan tersebut akan membuka peluang bagi negara-negara tersebut untuk mengembangkan corak peradabannya sendiri secara otonom. Sebagaimana dinyatakan Fayyadl, Soedjatmoko menengarai kebangkitan arus peradaban Sinetik (meliputi kawasan Cina, Jepang, Korea, dan Vietnam), peradaban Indik (meliputi pada wilayah anak benua India, Sri Lanka, dan sebagian kawasan Asia Tenggara), dan peradaban Islam (meliputi dunia Islam secara keseluruhan). Maka bisa disimpulkan bahwa adalah benar bahwa Gus Dur mengafirmasi teori Soedjatmoko tersebut, namun tidaklah tepat pernyataan Fayyadl bahwa itu adalah ide orisinil Gus Dur.

Fayyadl kemudian melancarkan kritiknya di mana meskipun Gus Dur memaparkan tentang tiga arus peradaban alternatif non-Barat yakni Sinetik, Indik, dan Islam, namun Gus Dur sayangnya tidak membahas lebih jauh mengenai dua peradaban lain dan hanya memfokuskan pada analisis tentang peradaban Islam. Sikap Gus Dur tersebut sebenarnya bukan merupakan satu keanehan jika kita memahami bahwa teori kebangkitan tiga arus peradaban non-Barat tersebut adalah ide orisinil Soedjatmoko yang diafirmasi Gus Dur.

Alasannya tidak lain karena sejak awal kepentingan Gus Dur mengutip teori Soedjatmoko ialah untuk menguatkan analisisnya mengenai potensi dan arah kebangkitan peradaban Islam. Karena fokus artikelnya memang sedang membahas mengenai potensi dan arah kebangkitan peradaban Islam maka wajar jika Gus Dur tidak menjadikan analisis tentang potensi kebangkitan dua peradaban lainnya sebagai isu utama yang mesti ia elaborasi lebih lanjut.

Kepentingan Gus Dur mendayagunakan pandangan Soedjatmoko tidak lain untuk meng-counter posisi kalangan yang skeptis dengan kemungkinan kebangkitan peradaban Islam di masa kontemporer saat ini. Satu kritik yang dilancarkan oleh sejumlah pihak yang coba di-counter oleh Soedjatmoko ialah mengenai konflik yang terjadi dalam dunia Islam itu sendiri. Bagi pengkritik, konflik menegasikan kemungkinan terbentuknya peradaban baru yang mensyaratkan adanya kesatuan. Uniknya, Soedjatmoko justru menggunakan argumen konflik tersebut sebagai bukti akan kemungkinan kembalinya peradaban Islam.

Pandangan Soedjatmoko tentang konflik internal di dunia Islam cukup unik. Ia berkaca pada pengalaman tumbuhnya peradaban Barat modern yang menurutnya juga ditandai dengan konflik internal antarnegara Eropa. Namun konflik tersebut justru memicu kemajuan pesat peradaban Barat dengan terbukanya era eksplorasi dunia. Dengan kata lain, bagi Soedjatmoko konflik internal di kalangan negara Eropa dapat dilihat secara positif sebagai katalisator, sebagai gerak dialektis yang menggerakkan peradaban Barat ke tahap yang lebih tinggi. Maka ketika kemajuan Barat justru timbul dari konflik, Soedjatmoko tidak merasa pesimis ketika dihadapkan pada fakta terjadinya konflik dalam dunia Islam hari ini. Bagi Soedjatmoko, konflik justru potensial membesarkan peradaban Islam itu di masa mendatang sebagaimana peradaban Barat di masa lalu.

Tentunya Gus Dur tidak hanya bersandar pada argumen Soedjatmoko untuk mengafirmasi potensi kebangkitan kembali peradaban Islam. Namun bisa dikatakan bahwa argumen Soedjatmoko membuat Gus Dur melihat bahwa konflik mengimplikasikan bahwa masih ada “denyut kehidupan” di dalam dunia Islam itu sendiri. Maka tidak mengherankan ketika kemudian Gus Dur menyatakan bahwa sejatinya peradaban Islam bukan satu peradaban yang sudah “mati” layaknya peradaban Yunani misalnya. Sebaliknya, ia adalah peradaban yang “hidup” dalam potensialitasnya.

Guna mengukuhkan argumennya bahwa peradaban Islam “tidak mati,” Gus Dur menyebut ada dua warisan yang masih terjaga di mana keduanya merupakan “elemen kehidupan” yang menyangga kelestarian peradaban tersebut hingga hari ini. Dua warisan yang dimaksud ialah warisan material berupa arsitektur megah semacam Taj Mahal di India. Warisan yang lain ialah warisan rohani berupa tradisi keilmuan Islam yang terawat dengan baik, di mana mencakup preservasi dalam tulisan ataupun lisan. Bisa dikatakan elaborasi Gus Dur akan dua “elemen kehidupan” inilah yang sejatinya merupakan sumbangsih orisinal Gus Dur pada kajian peradaban khususnya dalam menteorisasikan potensi kebangkitan peradaban Islam.

Lebih jauh, Gus Dur menyatakan bahwa kini peradaban Islam bukan pada tahap potensialitas semata, namun sudah mulai mengaktual dalam berbagai bentuknya. Meskipun aktualisasi ini belum dipandang sepenuhnya ideal oleh Gus Dur karena cenderung bersifat sporadik dan kadangkala reaksioner. Gus Dur misal menyebut fenomena penuhnya masjid dan ramainya majelis ta’lim di wilayah Asia Tenggara, naiknya Khomeini ke puncak kekuasaan politik di Iran, dan kreativitas budaya yang semakin bergerak ke arah Islami sebagaimana yang terjadi di wilayah Afrika Utara termasuk Mesir sebagai bukti bahwa potensialitas telah bertransformasi menjadi aktualitas.

Disebabkan aneka aktualisasi ini sudah terlihat secara kasat mata menyebabkan Gus Dur merasa bahwa yang terpenting untuk dibicarakan dalam teori peradabannya bukan potensi kebangkitan tetapi arah kebangkitan. Bagaimana potensialitas peradaban yang besar tersebut dapat teraktualisasikan secara tepat guna sehingga melahirkan bentuk peradaban Islam baru yang bercorak humanis sehingga mampu menjadi alternatif tata dunia saat ini yang didominasi oleh logika peradaban Barat yang menurut Fayyadl sangat kapitalistik.

Dengan kata lain kebangkitan peradaban Islam dianggap sebagai suatu yang niscaya di mata Gus Dur, namun kebangkitan macam apa atau arah kebangkitan itulah yang bagi Gus Dur lebih penting untuk dibicarakan. Maka sebagaimana dinarasikan secara menarik oleh Fayyadl, Gus Dur mengarahkan perhatiannya pada soal framework peradaban di mana ia mesti dibasiskan akan doktrin kosmologis yang khas dengan dimensi kemanusiaan yang inheren di dalamnya. Dalam bahasa yang lebih populer, framework peradaban yang bercorak humanis inilah yang diperjuangkan Gus Dur guna menciptakan satu peradaban Islam yang bercorak rahmatan lil ‘alamin.

Framework peradaban akan memengaruhi corak elemen material dan spiritual dari peradaban tersebut. Sebagai contoh, dengan framework peradaban yang humanis maka arsitektural Islam yang berkembang tidak lagi terpaku pada penciptaan “bangunan gigantik”, tetapi sejauh mana kemanfaatannya bagi masyarakat luas hari ini. Tidak mengherankan Gus Dur menyebut konsep Gurnah yang dikemukakan oleh Hassan Fathi sebagai contoh bagaimana re-artikulasi tradisi arsitektural Islam yang ramah bagi kaum miskin di Mesir. Contoh lain misalnya konsep suq (pasar) dan bazari (paguyuban pasar) yang secara kreatif mampu didayagunakan oleh Khomeini untuk mendukung revolusinya.

Persis pada tataran perlunya membangun satu framework peradaban alternatif yang menjadi landasan kreativitas peradaban inilah Fayyadl melancarkan kritik terhadap Gus Dur. Fayyadl tidak menolak pentingnya framework peradaban tersebut tetapi sentralitas konsep humanisme dalam narasi Gus Dur itulah yang mesti ditolak. Bagi Fayyadl, dengan mengadopsi humanisme maka Gus Dur -sadar atau tidak- tidak memberi ruang bagi eksistensi kosmos (alam) secara ontologis yang dipandang Fayyadl inheren dalam doktrin kosmologi Islam klasik, termasuk juga yang berkembang di wilayah Nusantara.

Dengan kata lain, bagi Fayyadl mestinya framework peradaban tidak hanya berorientasi pada kesejahteraan manusia semata tetapi juga pada kelestarian alam. Alam memiliki nilai intrinsik yang tidak bisa direduksi sebagai pemuas kesenangan manusia belaka. Keberatan Fayyadl pada posisi Gus Dur inilah yang merupakan poin ketiga dari analisis Fayyadl terhadap teori peradaban Gus Dur. Bagi Fayyadl, teori peradaban orisinal Gus Dur masih menyimpan “cacat” dan harus diperbaiki dengan merekonstruksi framework peradaban yang bercorak post-antroposentrik.

Terkait dengan posisi Fayyadl tersebut, tulisan ini secara umum mengafirmasi posisi Fayyadl bahwa Gus Dur memang tidak secara eksplisit merekognisi nilai intrinsik alam dalam framework peradaban berbasis humanismenya. Dengan kata lain ontologi Gus Dur sedikit banyak masih menempatkan manusia sebagai satu-satunya realitas. Realitas lain yakni alam dan Tuhan seakan hilang dari pembahasan. Namun jika kita baca secara seksama tulisan Gus Dur tersebut, sejatinya ada sejumlah narasi yang entah disadari atau tidak oleh Gus Dur sendiri yang sebenarnya memiliki dimensi eko-spiritual yang tinggi. Narasi-narasi “minor” itulah yang sekiranya perlu “dizahirkan” dan diperkuat sedemikian rupa sehingga framework peradaban yang dibayangkan Gus Dur tidak lagi terjebak pada antroposentrisme yang bagi Fayyadl justru merupakan “jantung” dari gerak peradaban modern Barat yang ingin dilampaui oleh Gus Dur.

Sebelum masuk kepada analisis mengenai narasi-narasi “eko-spiritual” dalam teks Gus Dur tersebut, ada baiknya kita elaborasi terlebih dahulu hakikat peradaban industrial Barat yang ingin dilampaui Gus Dur. Tulisan ini berargumen bahwa interpretasi Fayyadl bahwa hakikat dari peradaban Barat adalah peradaban kapitalistik ada benarnya namun belum menggambarkan secara utuh apa yang diwacanakan oleh Gus Dur. Betul bahwa Gus Dur meletakkan pembahasan mengenai peradaban Barat dan potensi peradaban alternatif meliputi Sinetik, Indik, dan Islam dalam kerangka ekonomi-politik (negara industrial versus berkembang). Namun perlu diingat bahwa Gus Dur menggarisbawahi soal dua elemen peradaban yakni materiil dan rohani. Maka dari itu, semestinya kacamata ini juga dipakai untuk menemukenali hakikat peradaban Barat yang memiliki problem baik dari sisi zahir dan batin.

Satu kata kunci penting yang dipakai oleh Gus Dur dalam mendefinisikan problem peradaban Barat secara zahir dan batin ialah konsep mesin. Mesin dalam konteks ini bisa dipahami memiliki dua dimensi yang saling terkait, di mana dimensi materiilnya terkait dengan sistem ekonomi kapitalistik yang eksploitatif baik bagi alam dan manusia. Sedangkan dimensi rohani atau imateriilnya ialah bahwasanya mesin tidak memiliki jiwa. Dengan kata lain secara zahir peradaban Barat adalah peradaban yang anti-human/anti-manusia karena secara batin ia memang tidak memiliki jiwa yang dapat dikatakan merupakan penanda kemanusiaan itu sendiri.

Apa yang kemudian hadir di tataran batin hanyalah kekosongan karena mesin yang tidak memiliki hati. Maka tidak mengherankan peradaban tersebut bergerak secara dingin. Tidak ada simpati, empati, toleransi, dan juga kecintaan baik pada sesama manusia atau makhluk lain. Dengan kata lain peradaban Barat adalah peradaban yang nir-manusia secara ontologis karena mesin tidak sama dengan manusia. Dalam tataran ini kita dapat memberikan apresiasi kepada Gus Dur yang ingin kembali merevitalisasi kemanusiaan secara metafisik-eksistensial sebagai aspek yang hilang dari wajah peradaban kontemporer.

Lebih jauh, dalam teori peradabannya, Gus Dur secara eksplisit menyatakan bahwa eksploitasi sumber-sumber alam tengah terjadi secara masif dan berlangsung tanpa batas-batas moral. Bagi Gus Dur eksploitasi ini terjadi akibat nafsu manusia tak terkendali. Eksploitasi ini pada gilirannya akan mengancam totalitas kehidupan di masa mendatang. Kita tidak memungkiri bahwa narasi Gus Dur tersebut masih bercorak antroposentrik, di mana alam direduksi sebagai “sumber daya.”

Dengan kata lain alam dipandang berguna sejauh untuk memenuhi kepentingan ekonomis manusia. Namun yang patut diperhatikan pula ialah dalam narasi tersebut tergambar jelas bahwa Gus Dur telah memiliki kesadaran kosmik dalam derajat tertentu. Buktinya, ia melihat bahwa keseimbangan alam itu perlu dijaga untuk memastikan keberlangsungan kehidupan itu sendiri, di mana manusia termasuk di dalamnya. Dengan kata lain Gus Dur secara implisit -sadar atau tidak- mengafirmasi bahwa kehidupan itu lebih luas dari kerajaan manusia saja. Manusia hanyalah bagian dari keluarga besar living being/makhluk hidup tersebut.

Kritik Gus Dur terhadap nafsu tak terkendali sebagai penyebab kerusakan alam juga mengisyaratkan bahwa tegaknya kemanusiaan yang sejati mesti juga diiringi dengan pembenahan di tataran ruhani. Maka kita bisa tafsirkan bahwa kemanusiaan yang dimaksud Gus Dur memiliki kedekatan dengan konsep manusia dalam kosmologi Islam klasik yang ditandai dengan aspek zahir dan batin sekaligus. Afirmasi dimensi batin pada diri manusia inilah yang sekiranya membuka jalan bagi proyek Fayyadl untuk merevitalisasi doktrin kosmologi Islam yang secara spiritual melihat ada koneksi antara manusia dengan entitas selainnya sebagai satu “keluarga besar” pada tataran kosmik, yakni ciptaan Allah. Tanpa afirmasi dimensi batin pada manusia, maka kesadaran kebersatuan (sebagai makhluk) di tengah afirmasi pluralitas (keunikan manusia dan keunikan makhluk-makhluk lainnya) akan sulit untuk ditumbuhkan. Dengan kata lain kita bisa katakan bahwa ide orisinal Gus Dur sudah membuka ruang untuk “dihijaukan” sedemikian rupa oleh para akademisi sepeninggalnya, termasuk oleh Fayyadl.

Bahkan menariknya jika kita mencermati sejumlah karya yang dinukil oleh Gus Dur semacam Kalilah wa Dimnah dan Hayy ibn Yaqzon adalah karya-karya yang memiliki dimensi “eko-spiritual” sangat kental. Alasannya bahwa warisan peradaban Islam klasik tersebut menyuguhkan cara pandang yang lebih dalam dalam melihat alam semesta. Karya Kalilah wa Dimnah misalnya yang berisi cerita fabel penuh ajaran moral membantu kita merekonstruksi cara pandang kita terhadap hewan.

Hewan bukan satu obyek yang dapat direduksi dalam logika ekonomi belaka (entah sebagai bahan makanan atau daya tarik wisata) tetapi hewan juga memiliki dimensi simbolis yang menyiratkan aneka sifat manusia itu sendiri. Dengan kata lain hewan secara eksistensial adalah cermin dimana melaluinya kita dapat berefleksi dan kemudian mengambil banyak pelajaran daripadanya. Melalui hewan kita dapat memperbaiki diri menjadi pribadi yang lebih baik. Pada posisi ini manusia secara eksistensial menjadi pribadi yang butuh kepada hewan dan bukan sekedar entitas yang direduksi maknanya semata sebagai pemuas kebutuhan manusia.

Begitu pula dengan karya Hayy ibn Yaqzon, yang menggambarkan bagaimana alam mampu menjadi sumber perenungan filosofis dan mistik yang memungkinkan aktualisasi diri dari seorang Hayy yang tinggal seorang diri pada sebuah pulau terpencil. Dengan kata lain alam dipersepsikan bukan dalam logika ekonomi tetapi dalam logika filosofi-mistik yang memungkinkan seorang untuk mengalami transformasi kesadaran secara kualitatif. Dalam bahasa yang lebih sufistik, alam berfungsi sebagai tangga (mi’raj) yang memungkinkan seorang Hayy menggapai derajat tinggi dalam spiritualitas (kewalian). Melalui perenungan terhadap alam sekitar, Hayy dapat memahami realitas metafisik di belakangnya dan juga mengafirmasi keberadaan Tuhan. Dengan kata lain alam adalah suatu entitas yang sakral dan mesti didekati secara reflektif dan bukan eksploitatif. Pandangan ini mirip dengan Arne Naess yang melihat gunung sebagai “rekan” yang menyediakan limpahan sumber inspirasi pikiran-pikiran ekologisnya.

Dari penjelasan di atas rasanya tidak berlebihan jika kita menyatakan bahwa meskipun Gus Dur tidak mengelaborasi karya-karya tersebut dalam kerangka “eco-spiritual” secara eksplisit, namun setidaknya dari apa yang ia tulis telah membuka kemungkinan baru untuk mengembangkan framework peradaban yang tidak bercorak antroposentrik namun kosmik. Dalam konteks inilah menjadi penting apa yang dinasihatkan oleh Fayyadl bahwa perlu untuk mempercanggih teori peradaban Gus Dur tersebut guna menutupi sejumlah “cacat” yang ada di dalamnya. Tulisan ini berargumen bahwa percanggihan tersebut salah satunya dapat dimulai dengan mengeksplorasi apa yang tidak menjadi perhatian utama dalam tulisan Gus Dur tersebut namun “uniknya” muncul dalam teks.

Maka dalam konteks ini pula, ada benarnya apa yang dikayakan Fayyadl bahwa penting juga untuk melihat potensi kebangkitan peradaban Sinetik dan Indik sebagai upaya studi komparasi dan -syukur-syukur- sebagaimana diharapkan Fayyadl dapat membentuk aliansi besar untuk melawan dominasi peradaban Barat yang antroposentrik tersebut. Tentu upaya melakukan studi komparasi peradaban membutuhkan kerja-kerja yang cukup ekstra.

Namun sekiranya kerja-kerja peradaban ini menjadi niscaya karena kita butuh untuk mengambil pelajaran dari cara peradaban lain merevitalisasi dirinya sendiri serta kekurangan dan kelebihan dari upaya revitalisasi peradaban lain tersebut dewasa ini. Analisis komparatif tersebut sekiranya menjadi penting untuk semakin mempercanggih framework peradaban Islam berbasis logika kosmik yang meniscayakan afirmasi akan persatuan dan pluralitas sekaligus. Dengan memahami pluralitas peradaban alternatif tersebut, maka akan dimungkinkan pula menyusun satu mode kesatuan peradaban yang tidak menegasikan keragaman di dalamnya.

Terakhir, terkait dengan poin kedua Fayyadl yakni bahwa teori peradaban Gus Dur luput dari perhatian GUSDURian. Tulisan ini tidak berpretensi mengomentari kritik Fayyadl terhadap GUSDURian. Satu hal yang ingin ditekankan dalam tulisan ini ialah bisa dikatakan kajian tentang teori peradaban Gus Dur atau juga tokoh-tokoh lain semacam Soedjatmoko dapat dikatakan minim atau bahkan tidak ada dalam dunia akademik. Uniknya, dimensi lain dari pemikiran Gus Dur begitu bergaung di dunia akademik.

Satu penjelasan yang mungkin terkait dengan fenomena ini ialah adanya komparmentalisasi pengetahuan dan juga orientalisme pengetahuan. Komparmentalisasi pengetahuan dalam arti ide-ide Gus Dur yang banyak dibicarakan baik dalam dunia akademik dan publik secaar luas adalah ide-idenya yang terkait dengan tema keagamaan (misal pluralisme, toleransi, dan semacamnya) yang secara akademik masuk dalam “kamar” studi agama.

Namun ide-idenya peradabannya yang dapat dikatakan terkait dengan “kamar” ilmu sosial dapat dikatakan absen. Dengan kata lain ada semacam “kompermentalisasi” pengetahuan yang berujung pada atomisasi cara pandang terhadap Gus Dur. Sebagai tokoh agama, tokoh NU, tokoh lintas agama, dan semisalnya, maka idenya dapat masuk dan beredar dengan mudah dalam dunia akademik dalam “kamar” studi agama.

Namun dalam kapasitasnya sebagai teoretikus peradaban -sebagaimana juga Soedjatmoko dan akademisi dunia ketiga lain- maka tidak ada “kamar” yang tersedia untuk menampung dan mengembangkan idenya. Dalam ranah ilmu sosial, kalaupun ada “ruang” bagi elaborasi pemikiran Gus Dur maka bisa dikatakan yang eksis bentuk elaborasi yang sifatnya “orientalistik,” di mana Gus Dur sebagai representasi realitas “Timur” hanya “pas” untuk diposisikan sebagai obyek studi dan bukan sebagai kerangka studi. Sedangkan kerangka studi yang dipakai adalah teori-teori Barat termasuk juga teori peradaban Barat.

Jika dikaitkan dengan visi Islam Nusantara yang menjadikan tradisi keilmuan Islam sebagai framework peradaban, maka sudah sepantasnya logika “kompermentalisasi” dan “orientalisme” pengetahuan ini ditinggalkan. Sosok semacam Gus Dur dan Soedjatmoko tidak bisa sekedar ditempatkan sebagai obyek, tetapi keduanya sah untuk ditempatkan sebagai teoretisi sebagaimana ilmuan Barat lainnya, sehingga gagasannya justru dapat dipakai sebagai framework untuk membaca dan mentransformasi realitas dan bukan hanya ditempatkan sebagai obyek “pesakitan” untuk “dibedah” dari aneka teori Barat.

Perlu ditegaskan bukan maknanya seorang mesti antipati terhadap aneka teori yang berasal dari Barat. Namun perlu dipahami bersama bahwa produksi pengetahuan mainstream sebagaimana dinyatakan oleh Fayyadl -dengan menukil Harari- sedikit banyak berkoalisi dengan imperium. Dengan kata lain produksi pengetahuan di dunia akademik hari ini akan mengafirmasi tatanan antroposentrisme peradaban Barat saat ini. Dalam situasi semacam ini maka menjadi problematik jika sosok Gus Dur dan teori peradabannya hanya diletakkan sebagai obyek dan tidak sebagai lensa alternatif.

Transformasi mode pengetahuan ini tentu membutuhkan kerja keras banyak pihak. Kerja-kerja peradaban tersebut tidak mungkin ditimpakan pada pundak “GUSDURian” atau organisasi NU semata. Para akademisi, aktivis, dan juga umat Islam secara umum yang peduli dengan ide transformasi peradaban perlu turut serta dalam perubahan mode produksi pengetahuan ini agar teori peradaban yang dikemukakan Gus Dur, Soedjatmoko, dan para tokoh lain dapat menjadi teori arus utama setidaknya dalam kesadaran publik secara luas dalam lingkup peradaban Islam itu sendiri.

Peserta program Kader Pemikir Islam Indonesia (KPII) Angkatan ke-2 yang diselenggarakan oleh LSAF (Lembaga Studi Agama dan Filsafat) dan Universitas Paramadina.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *