Keberagaman. Itulah kata yang dapat melukiskan Indonesia di kanvas dunia. Ia adalah anugerah yang diwariskan leluhur bangsa ini, yang harus kita rawat dan lestarikan bersama. Keberagaman ini tersublimasi ke dalam tradisi-tradisi lokal yang memberikan corak dan identitas bangsa Indonesia. Selain itu, juga termanifestasi ke dalam semboyan Bhineka Tunggal Ika.
Memang, mayoritas masyarakat Indonesia adalah umat Islam. Namun, kemayoritasan itu tidaklah menonjol. Ia sama-sama rata atau meratakan dirinya dengan agama-agama lain ke dalam kemoderatan beragama. Moderat (tawasuth) dimaknai sebagai sikap atau perilaku dalam beragama yang menghindari perihal-perihal ekstrem, yang cenderung ke arah jalan tengah.
Watak moderat yang dimiliki umat Islam Indonesia adalah tulang punggung dalam merawat warisan nenek moyang bangsa Indonesia, agar tidak tergerus oleh pengharaman oleh kelompok Islam garis keras yang dilakukan secara membabi buta. Yang mana, mereka buta terhadap tradisi dan kearifan lokal. Lalu, mengapa ihwal itu terjadi?
Menurut Fazlur Rahman, kemunculan kelompok fundamentalis Islam maupun neo-fundamentalis Islam memberikan masalah bagi negara-negara Islam berkembang, termasuk Indonesia. Ia menilai, bahwa kemunculan kelompok fundamentalisme dan neo-fundamentalisme Islam di negara-negara Muslim di dunia tidak memberikan alternatif atau tawaran yang baik tentang masa depan Islam. Karena mereka mengidap penyakit yang cukup berbahaya, yaitu mendorong kita kepada pemiskinan akal karena pandangan-pandangan literal dan tekstual yang tidak memberikan apresiasi terhadap khazanah keislaman klasik yang kaya dengan pemikiran alternatif bagi problematika umat Islam dewasa ini (M. Syafi’i Anwar dalam Islamku, Islam Anda, dan Islam Kita, 2011: xxii-xxiii).
Berangkat dari analisis Rahman di atas, kelompok-kelompok fundamentalis maupun neo-fundamentalis Islam cenderung menutup ruang intelektual dan membuka kenormatifan mereka dalam memahami nash. Sedari itu, mereka menolak tradisi-tradisi luhur bangsa Indonesia yang dapat dijadikan konstruk dalam membangun penafsiran nash. Kita ingat kejadian di mana seorang yang merasa heroik dengan menendang sesajen di Gunung Semeru yang dianggap mendatangkan murka Allah, atau pengharaman wayang dan ingin memusnahkannya, serta problem lain yang kiranya masih membenturkan tradisi dengan Islam.
Padahal, dengan tradisi, masyarakat Indonesia dapat memeluk agama Islam. Inilah jasa-jasa Walisongo, yang mana mereka mengakulturasikan tradisi lokal dengan Islam. Dan akhirnya, Nusantara khususnya Jawa dapat diIslamkan dengan dialogis-harmonis, bukan dengan peperangan. Dari sana lahirlah paham Islam Nusantara yang ramah, bukan yang marah.
Gus Dur dan Pribumisasi Islam
Menurut Gus Dur, Indonesia dikenal sebagai “negerinya kaum Muslim moderat”. Islam di Indonesia muncul dari keseharian kultural dan tidak muncul dari proses maupun upaya ideologisasi. Karena hal itu akan mendorong umat Islam kepada upaya-upaya politis yang bermuara kepada penafsiran tekstual dan radikal kepada teks-teks agama.
Menangkal masalah di atas, Gus Dur menggaungkan sebuah gagasan “pribumisasi Islam”. Di sana Gus Dur meminta agar nash dipahami maupun ditafsirkan secara kontekstual, termasuk kondisi multikultural Indonesia. Dalam hal ini, pribumisasi Islam merupakan sebuah upaya “rekonsiliasi” Islam dengan kekuatan-kekuatan budaya setempat, sehingga budaya lokal tersebut tidak hilang.
Selain itu, pribumisasi Islam hanya mempertimbangkan kebutuhan-kebutuhan lokal dalam merumuskan hukum-hukum agama, tanpa mengubah hukum itu sendiri. Juga, tidak meninggalkan norma demi budaya, tetapi agar norma-norma itu menampung kebutuhan-kebutuhan dari budaya dengan mempergunakan peluang yang telah tersedia dari keberagaman pemahaman nash, dengan tetap memberikan peranan kepada ushul fikih dan kaidah fikih. (Abdurrahman Wahid, 2011: xxxiv).
Apa yang menjadi agenda Gus Dur di atas adalah upaya modernisasi umat Islam yang mulanya digaungkan oleh Jamaluddin Al-Afghani dengan gagasan Pan-Islamisme dan Pan Arabisme-nya yang bergema di benua Asia dan Afrika dalam rangka melawan imperialisme Barat pada paruh kedua abad XIX. Kemudian, dilanjutkan oleh Muhammad Abduh yang mengusulkan agar “pintu ijtihad dibuka”, di samping desakan agar kembali kepada Al-Quran dan mau melakukan ijtihad langsung dan terbuka.
Gerakan modernis Islam juga berkaitan dengan reformasi dalam praktik dan pemikiran Islam yang perihal itu berangkat dari tanggapan-tanggapan atas tantangan modernitas. Sehingga, agenda modernisasi Islam mengeluarkan sikap bahwa umat Islam hendaknya tidak memalingkan diri dari apa yang telah dicapai peradaban, namun hendaknya umat Islam mau “mengambil yang baik dan membuang yang buruk” (Greg Barton, 2020: xx).
Kita pun ingat dengan kaidah fikih: Al-muhafadhotu ‘ala qodimis sholih wal akhdzu bil jadidil ashlah (Memelihara yang lama yang baik dan mengambil yang baru yang lebih baik). Kaidah itu dapat kita sandarkan dalam rangka menerima hal-hal baru yang modern, namun sebagai umat Islam “yang hidup di Indonesia” janganlah lupa dengan tradisi-tradisi luhur bangsa Indonesia. Sehingga, agenda modernisasi yang merujuk kepada pembaruan pemikiran Islam akan tercapai.
Dari Pribumisasi Menuju Modernisasi
Mengenai pembaruan pemikiran umat Islam Indonesia, kita ingat Cak Nur (Prof. Nurcholis Madjid). “Sekularisasi” merupakan agenda dari Cak Nur dalam upayanya untuk menduniawikan nilai-nilai yang sudah semestinya bersifat duniawi, dan melepaskan umat Islam dari kecenderungan untuk meng-ukhrawi-kan hal-hal yang duniawi. Selain itu, sekularisasi juga bermakna temporarisasi dan kontekstualisasi mengenai hal-hal yang dahulu dan sekarang (Nurcholis Madjid, 2013: 250).
Cak Nur memberikan segelas air segar kepada generasi muda Islam agar segera menapaki modernisasi yang berangkat dari merawat tradisi dan menyemai moderasi. Mengingat, peradaban Barat sangat maju dan tinggi—dengan kemajuan ilmu pengetahuan, teknologi, filsafat, juga sains—Barat telah sampai ke luar angkasa, lah kita? Masih berkutat dengan pengharaman tradisi, saling mengkafirkan sesama umat Islam, dan bilamana perihal itu terus terjadi, maka menurut Cak Nur umat Islam Indonesia akan kehilangan psychological striking force di era modern ini dan hal itu berbuntut pada kejumudan atau stagnasi pemikiran umat Islam. (Nurcholis Madjid, 2013: 252-254).
Dengan melihat dan merenungkan sengkarut permasalahan di atas, generasi muda Indonesia segera melakukan apropriasi. Yaitu, kemampuan memahami, dan mengambil sebuah gagasan atau budaya dari luar (Barat) tanpa hanyut ke dalamnya (Haidar Bagir, 2020: 46). Dan, di pihak lain juga harus menggelorakan paham Islam Nusantara sebagai tandingan terhadap kelompok Islam garis keras.
Jadi, generasi muda Islam mempunyai peran sentral dalam merawat dan meruwat tradisi-tradisi Islam khas Indonesia. Karena dengan agenda tersebut, umat Islam Indonesia sudah waktunya dan segera “merapikan tempat tidur” untuk menapaki pembaruan pemikiran Islam dengan berpikir secara visioner, bersikap inklusif-responsif terhadap kompleksitas zaman, namun tidak menghilangkan khazanah kearifan lokal dan ajaran Islam moderat ala Nusantara.