Puncak Harlah Gus Dur, Pendeta Simon: Demokrasi Terjadi ketika Hak Minoritas Terjamin

Demokrasi di Indonesia dinilai jauh panggang dari api. Sebab, standar terjadinya demokrasi dimulai ketika hak minoritas terjamin oleh pemerintah. Namun, justru diskriminasi yang berkembang hingga saat ini.

Hal itu, disampaikan Tokoh Agama dan Sahabat Gus Dur, Pendeta (Pdt) Simon Filantropa sewaktu mengisi acara Webinar Hari Lahir (Harlah) Gus Dur via Zoom Meeting bersama 200 lebih elemen Jaringan GUSDURian se-Indonesia, Kamis (7/9/23) malam.

“Standarisasi Gus Dur terhadap demokrasi, yaitu pada terjaminnya hak-hak kaum minoritas. Jika tidak, artinya demokrasi masih belum tercipta. Adapun saat ini, hak minoritas belum terpenuhi dengan baik,” papar Pdt. Simon kepada peserta Webinar.

Secara terpisah, pernyataan Pdt. Simon dikuatkan dengan laporan dari lembaga yang bergerak di bidang Hak Asasi Manusia (HAM), Human Rights Watch (HRW) dalam World Report 2020. Isinya, Indonesia menghadapi ancaman serius ihwal HAM.

Pertama, soal kebebasan beragama. Di tahun 2019, Indonesia mengadili tiga perempuan dengan dugaan penistaan agama. Maret, Pengadilan Serang memvonis Aisyah Tusalamah, yang memiliki cacat psikososial, dengan hukuman lima bulan penjara karena memposting video diduga menistakan agama.

Pada bulan Juni, Indonesia menahan Suzethe Margaretha karena membawa anjing ke sebuah masjid di Kota Bogor, padahal pihaknya menderita skizofrenia paranoid. Sedangkan November, sebuah pengadilan di Sulawesi Selatan memvonis Eka Trisusanti Toding, seorang guru bahasa Inggris, dengan hukuman lima bulan penjara atas komentarnya yang diduga menghujat Islam di media sosial Facebook.

Mahkamah Agung juga menolak banding Meliana dari Sumatera Utara atas vonis penistaan agama di Medan. Meliana mengeluhkan volume suara azan di sebuah masjid pada tahun 2016 dan dijatuhi hukuman satu setengah tahun penjara.

Selanjutnya, dari sisi hak masyarakat adat. Pelebaran zona perkebunan kelapa sawit memberantas hak-hak mereka seperti hutan, mata pencaharian, makanan, air, dan budaya. Hal ini terjadi di tahun 2004, masyarakat suku Iban diusir dari tanah mereka oleh perusahaan kelapa sawit.

Satu dekade kemudian, perusahaan tersebut menandatangani perjanjian dengan beberapa keluarga untuk merelokasi rumah mereka beberapa kilometer di area perkebunan tetapi tidak memberikan kompensasi apa pun atas hilangnya hutan asli dan mata pencaharian yang berasal dari hutan itu.

Laporan HRW ini masih tersisa enam lagi, yaitu kebebasan berekspresi dan berasosiasi, hak-hak perempuan dan anak, masalah di Papua dan Papua Barat, orientasi seksual dan identitas gender, hak-hak penyandang disabilitas, hak-hak terkait lingkungan. Semuanya, mesti terjamin oleh pemerintah, namun faktanya tidak.

Sementara itu, pada agenda bertemakan ‘Belajar Demokrasi dari Gus Dur’ tersebut turut dihadiri Direktur Jaringan GUSDURian, Alissa Wahid sebagai keynote speaker dan Senior Advisor Jaringan GUSDURian, Inaya Wahid selaku moderator.

Ditambah, beberapa narasumber seperti Ahmad Suaedy, Dekan Fakultas Islam Nusantara Pascasarjana Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (UNUSIA), dan Lies Marcoes selaku Founder Rumah KitaB.

Jurnalis. Penggerak Komunitas GUSDURian Jepara, Jawa Tengah.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *