Social Media

Puncak Harlah Gus Dur, Lies Marcoes: Gus Dur sebagai Jembatan Demokrasi

Selama ini, perjalanan Presiden RI ke-4, Abdurrahman Wahid dinilai hadir sebagai jembatan demokrasi. Sejumlah pihak yang bersitegang, Gus Dur (sapaan akrabnya) mampu selesaikan persoalan. Mulai dari perempuan feminis dan perempuan religi maupun beberapa lainnya.

Hal itu disampaikan Founder Rumah KitaB, Lies Marcoes sewaktu mengisi acara Webinar Hari Lahir (Harlah) Gus Dur bertemakan ‘Belajar Demokrasi dari Gus Dur’ via Zoom Meeting, Kamis (7/9/23) malam. Agenda tersebut setidaknya dihadiri 200 lebih elemen Jaringan GUSDURian se-Indonesia.

”Pengetahuan ihwal reproduksi, teladan sejak di rumah, maupun referensi jadi konflik bagi perempuan feminis (non-religius) dan religius (kaum pesantren). Namun Gus Dur dengan piawainya, hadir sebagai penyambung serta menjumpai kesepakatan antarkeduanya,” papar Lies Marcoes.

Baginya, perbedaan pemahaman, apalagi yang bersumber dari latar belakang pendidikan, tergolong dimensi yang sukar dijangkau. Sehingga, dibutuhkan pengetahuan serta pengalaman yang mumpuni, supaya mau duduk bersama. Resolusi konflik yang diemban Gus Dur dinilai tepat.

“Gus Dur sebagai tokoh yang melalang buana, di dunia pesantren, Chicago serta Al Azhar Mesir sudah cukup bekal baginya untuk memetakan permasalahan. Pemahaman geopolitik dan geostrategis Gus Dur tepat guna menyasar perempuan dari berbagai latar belakang,” tambahnya.

Tidak hanya itu, Lies Marcoes juga membeberkan, Gus Dur juga bergerak untuk melindungi hak minoritas. Seperti umat Konghucu, walau sudah ada di Nusantara ratusan tahun lalu, namun sejak pemerintah dipimpin Gus Dur, Konghucu secara resmi diakui oleh negara sebagai agama.

Pada tahun yang sama, terorisme yang terjadi di Kabupaten Mojokerto sampai tragedi pengeboman di Gereja Eben Haezer yang menewaskan seorang anggota Banser, Riyanto. Gus Dur hadir berbelasungkawa berbekal tali asih dan mendoakan korban, sebab Riyanto telah berani memeluk bom dan berhasil menyelamatkan ratusan umat kristiani.

Kemudian, perjuangan Gus Dur di Surabaya dalam menolak Undang-Undang (UU) Pornografi. Menurutnya, UUD 1945 telah memisahkan antara urusan negara dan agama, karena itu di Indonesia tidak boleh ada budaya tunggal di dalam negara. Sedangkan, urusan pornografi diserahkan kepada akhlak, masyarakat atau tokoh agama, bukan negara.

“Perjalanan beliau (Gus Dur) dalam memperjuangkan hak-hak minoritas patut diacungi jempol, kepedulian terhadap pejuang antiterorisme, kekritisan ihwal UU yang tidak relevan dengan bangsa, sangat baik dijadikan suri tauladan bagi kita,” terang Lies Marcoes.

Sementara itu, pada agenda bertemakan ‘Belajar Demokrasi dari Gus Dur’, turut dihadiri Direktur Jaringan GUSDURian, Alissa Wahid sebagai keynote speaker. Senior Advisor Jaringan GUSDURian, Inaya Wahid selaku moderator. Ditambah, beberapa narasumber seperti Ahmad Suaedy, Dekan Fakultas Islam Nusantara Pascasarjana Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (UNUSIA), Pdt. Simon Filantropa, Tokoh Agama, dan Sahabat Gus Dur.

Jurnalis. Penggerak Komunitas GUSDURian Jepara, Jawa Tengah.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *