Social Media

Dinasti Politik: Ketika Kekuasaan Membuat Nyaman

Baru-baru ini ramai diperbincangkan di berbagai media mengenai Jokowi yang tengah membangun dinasti. Hal ini semakin mengemuka ketika putra bungsunya Kaesang Pangarep juga masuk politik meski berbeda partai dengan ayah dan kakaknya, Gibran Rakabuming Raka yang bernaung di PDIP. Kaesang memilih Partai Solidaritas Indonesia (PSI) sebagai kendaraan politiknya, dan yang membuat spekulasi semakin mencuat tatkala Kaesang langsung didaulat menjadi ketua umum (ketum) hanya setelah dua hari dia resmi masuk partai tersebut.

Fakta bahwa keluarga Jokowi masuk politik membuat pernyataannya pada tahun 2019 ketika dia terpilih kembali menjadi presiden yang mengatakan bahwa anak-anaknya tidak tertarik masuk politik, dipertanyakan. Bahkan menantunya Bobby Nasution juga masuk politik dengan menjabat sebagai walikota Medan.

Dinasti politik bukanlah barang baru di Indonesia, bahkan sejarah dalam Islam pun setelah masa kepemimpinan Khulafau Rasyidin, itu monarki dan dinasti yang mana kepemimpinan dilanjutkan berdasarkan keturunan dan ikatan kekerabatan. Dalam bahasa yang sederhana bisa diartikan sebagai rezim kekuasaan politik.

Sifat alamiah manusia adalah selalu ingin mempertahankan kenyamanan dan kemapanan, termasuk kenyamanan akan kekuasaan. Setelah sebelumnya ramai wacana tiga periode kini mengenai inkonsistensi pernyataan Jokowi yang ternyata tak kuasa melepas kenyamanan yang ditawarkan kekuasaan.

Praktik politik dinasti ada juga dengan cara memecah kongsi kekuatan politik dalam keluarga, yaitu dengan cara bergabung melalui partai yang berbeda, hal ini untuk menambah besar peluang dalam menduduki posisi kekuasaan tertentu seperti kepala daerah atau legislatif. Dan melihat Kaesang yang bergabung ke PSI bisa termasuk dalam memecah kongsi politik. Apalagi masih hangat wacana kembali muncul Jokowi diusulkan oleh Guntur Sukarno (Kakak Megawati) untuk menjadi ketua umum partai menggantikan Mega setelah selesai masa jabatannya.

Sulit untuk melihat konsep dinasti dalam kacamata yang positif, karena kepemimpinan itu akan berubah menjadi oligarki yang hanya dikuasai oleh segelintir orang saja. Kita bisa berkaca pada zaman Orde Baru, apa yang kita dapat dari adanya dominasi kekuasaan di tangan segelintir orang saja? Abuse of power (kesewenang-wenangan).

Ada sebuah adagium dari Lord Acton (1833-1902) bahwa “Power tends to corrupt. Absolute power corrupts absolutely” yang artinya kekuasaan itu cenderung korup. Dan kekuasan yang absolut cenderung korup secara absolut. Itu sebabnya kekuasaan harus dibatasi, bahkan Fahri Hamzah (mantan Wakil Ketua DPR RI) mengatakan bahwa orang baik itu perlu dicurigai dan kebaikan seseorang ada batasnya.

A.G.N Ari Dwipayana (Dosen Ilmu Politik Fisipol UGM) mengatakan bahwa adanya tren politik kekerabatan itu merupakan gejala neopatrimonialistik, yaitu dengan mengutamakan regenerasi politik berdasarkan ikatan genealogi (keturunan atau kekerabatan) ketimbang merit system yang berdasarkan pertimbangan prestasi. Sebenarnya ini sudah ada sejak dulu, hanya saja bedanya jika dulu pewarisan melalui penunjukan langsung, sedangkan sekarang melalui jalur prosedural politik hingga terkesan terselubung.

Indonesia adalah negara berbentuk kesatuan dan bentuk pemerintahannya itu republik serta sistemnya menganut presidensial meski beberapa ahli tata negara ada juga yang mengatakan quasi presidensial (semi presidensial). Itu artinya Indonesia jelas bukan negara berbentuk monarki, di mana kepemimpinan itu diwariskan. Kekuasaan yang hanya berpusat di tangan segelintir orang tidak akan menciptakan politik yang sehat, cita-cita bangsa berkesajahteraan juga sulit dicapai.

Memang konstitusi sendiri memberi peluang terhadap potensi dinasti politik sebagaimana yang tertuang dalam Pasal 28 J ayat (2) UUD Tahun 1945 yaitu “Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis”.

Itu artinya, siapa pun tanpa terkecuali termasuk keluarga pihak Petahana (incumbent) boleh ikut serta dalam politik baik sebagai kepala daerah, legislatif atau bahkan presiden. Apalagi dengan pemberlakukan presidential threshold dalam proses pemilu yaitu mengenai ambang batas suara yang harus dipenuhi oleh partai politik untuk bisa mengajukan pasangan calon presiden dan wakil presiden.

Ambang batas suara itu sekurang-kurangnya 15% jumlah kursi DPR dan 20% perolehan suara sah nasional melalui pemilu anggota DPR, jadi bagi partai yang tidak memenuhi ambang batas tersebut mau tidak mau harus bergabung (koalisi) dengan partai lain. Dan ini membuat pihak Petahana semakin berpeluang besar untuk bisa memenangkan kembali pertarungan pemilu selanjutnya yang berujung pada langgengnya kekuasaan hanya bagi sekelompok orang saja.

Mungkin kita tidak akan mengalami sama persis pada zaman Orba, di mana kekuasan dijalankan secara tirani yang berujung pada kekerasan, tapi dengan kepemimpinan yang oligarki hasilnya akan selalu sama yaitu hilangnya kedaulatan rakyat meski dengan gaya berbeda. Sebagai contoh akan adanya produk hukum yang tidak berkeadilan dan hanya menguntungkan pihak tertentu saja. Tentunya ini bisa berakibat pada penegakan hukum yang ada di Indonesia.

Maka yang terjadi adalah sesuai dengan adagium bahwa “hukum tumpul ke atas, tajam ke bawah”. Apa maknanya? bahwa paradigma yang menang adalah yang mempunyai kekuasan dan kekuatan (uang dan kedudukan) dan yang terjadi sekarang memang seperti itu. Kasus Sambo tentu masih hangat di ingatan, dan hasil vonis hakim atas kejahatan tersebut hanya dengan pidana seumur hidup.

Indonesia adalah negara hukum (rechtsstaat) dan bukan berdasar kekuasaan (machtsstaat), tapi jika praktik kepemimpinan bersifat korup, oligarki, maka tidak ada keadilan, padahal hukum merupakan instrumen penting dalam bernegara sesuai yang termaktub dalam sila ke-5 Pancasila, yaitu menciptakan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Itu sebabnya, kekuasaan ada batasnya dan harus dibatasi.

Anggota PMII Kota Serang, Banten.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *