Pendidikan Teologi Gereja Kristen Jawi Wetan, Balaiwiyata, Malang menjadi rumah keluarga perdamaian Malang dan Indonesia. Bukan tanpa alasan. Tempat ini sebagai petilasan Gus Dur yang merajut persaudaraan sejati dengan para tokoh Gereja dan lintas agama yang terajut sejak 1974 sampai dengan 1981. Pengalaman ini menjadi dasar di tubuh GKJW yang akhirnya melahirkan Program Antar Umat (PAU) yang sekarang dikenal dengan Komisi Antar Umat Beragama. Kelahiran tersebut adalah buah relasi Pendeta Wismo dengan Gus Dur.
Kisah Persaudaraan Sejati, Buah Relasi Gus Dur dan Pendeta Wismo
Alkisah, Pendeta Gideon, salah satu pendeta Gereja Kristen Jawi Wetan memberikan penjelasan tentang kelahiran Pendidikan Teologi Gereja Kristen Jawi Wetan Balaiwiyata yang dimulai tahun 1925 sebagai sekolah tinggi tertua di lingkungan GKJW yang berpusat di Kediri. Kemudian bergeser ke Malang pada tahun 1927. Waktu itu GKJW punya pesantren yang disebut dengan Pesantren Kristen. Jejak pendidikan ini kemudian berkembang ke pendidikan Sekolah Tinggi Duta Wacana di Jawa Tengah.
Pendidikan Teologi di Balaiwiyata pertama diselenggarakan di gedung yang sering digunakan pertemuan Komunitas GUSDURian Malang. Di tempat itu, Gus Dur mengajar sebagai islamolog GKJW. Waktu itu pembelajarnya adalah para pendeta GKJW. Tempat tersebut menjadi ruang perjumpaan dan pembinaan warga sebagai bagian penting peran Balaiwiyata. Tempo itu beliau bersama dengan PGI (Persatuan Gereja Indonesia) menjadikan tempat tersebut sebagai kelas-kelas lintas iman dan kelompok keagamaan. Balaiwiyatalah yang memulai interaksi penting bagi lintas agama dan aktif dalam kerja perdamaian.
Menurut Pdt. Gideon, di ruang tersebut awalnya beliau kenal dengan saudara Islam pada awal tahun 1960-an. Tempo itu, Islamologi menjadi pelajaran pertama dan belum dibuka untuk umum. Adapun yang memberikan pengajaran mengenai Islamologi yang pertama adalah KH. Abdul Azis. Sayang, menurut Pdt. Gideon, sosok KH. Abdul Azis tidak terlacak lebih rinci kisahnya hingga hari ini, termasuk keluarga atau orang terdekatnya. Setelah KH. Abdul Azis, pengajaran kedua Islamologi dilanjutkan KH. Oesman Mansur, salah satu pendiri UNISMA (Universitas Islam Malang) dan menjadi dekan di Fakultas Tarbiyah IAIN Sunan Ampel Malang (sekarang UIN Maulana Malik Ibrahim Malang) pada sekitar tahun 1968 sampai 1974. Pada masa ketiga, pengajar Islamologi dilanjutkan KH. Abdurrahman Wahid dalam kurun tujuh tahun (1974-1981). Alkisah, Gus Dur diantarkan Gus Nuruddin, salah satu anak KH. Oesman Mansur, ke Balaiwiyata. Itulah kehadiran pertama Gus Dur sebagai seorang islamolog ketiga yang menandai situasi baru relasi lintas agama lebih menguat di Malang dan Indonesia.
Selama tujuh tahun, Gus Dur telah keluar masuk Pendidikan Teologi Balaiwiyata. Gus Dur sering tidur di Balaiwiyata dan sekarang ini kita dapat melihat ruang Gus Dur. Gus Dur tidur di tempat dekat kamar mandi karena beliau sering beser di malam hari. Di tahun tersebut Gus Dur seperti pomah (at-home) bersama Wismo Adi Wahono. Waktu itu sebagai direktur IPTH (Institut Pendidikan Teologi) Balaiwiyata.
Di perjumpaan awal, Wismo-Gus Dur hanya sebatas relasi pengajaran saja. Ternyata relasinya intensif sedemikian bergeser menjadi konsensus keberpihakan karena kenangan gelap 1996. Waktu itu di daerah tapal-kuda terjadi pembakaran gereja. Sebagian besar yang dibakar adalah GKJW. Sebuah tragedi menyakitkan sehingga menjadi kenangan gelap. Saat salah seorang jemaah GKJW (bernama Yeti) menjadi korban, justru tetangga yang beragama Islamlah yang menyelamatkannya. Dari peristiwa itu, menurut Gideon, isu agama gampang digoreng menjadi isu politik. Peristiwa yang memecah belah antar-umat sedemikian menciptakan kohesi antar-umat berbeda agama terganggu. Pola tersebut secara politik dapat melupakan atau mengalihkan perhatian kritis masyarakat atas koreksi politik elite, tegas Pdt. Gideon. Krisis relasi ini menjadi latar yang memotivasi perkembangan relasi dua tokoh menjadi bibit tokoh lintas agama saling bertemu.
Merespons situasi ’96 yang buruk, Wismo berinisiatif menghubungi Gus Dur dan tokoh nasional lain yang menandai simpul penguatan gerakan perdamaian lintas agama elite negeri ini. Gus Dur mewakili Muslim. Wismo mewakili Kristen. Romo Mangun mewakili Katolik. Ki Bagus Oke dari Hindu. Ada juga Sarlito Wirawan dan Johan Effendi. Mereka berkumpul rutin di tahun ’97 awal. Kadang di Malang, Jakarta, bahkan sampai ke Belanda. Mereka menyebut pertemuan para pemuka agama tersebut sebagai gerakan “persaudaraan sejati” dalam rangka merespons kenangan gelap ’96 di Jawa Timur.
Gerakan para pemuka agama tersebut diisi berbagai kegiatan penting. Ada seminar, konferensi, dan konsolidasi untuk mengikat persaudaraan antar-umat. Rentetan berikutnya muncul PAU (Program Antar Umat) dan UIM (persatuan gereja 97-98) yang merancang SITI (Studi Intensif Tentang Islam). Pesan utama yang dibangun antara lain, bahwa Islam bukan pembakar gereja. SITI adalah tempat belajar mengenal Islam lebih baik di kalangan gereja. Nampaknya, situasi belajar yang berkembang juga mendorong saudara muslim pingin belajar mengetahui Kristen. SITI lantas diubah menjadi SIKI (Studi Intensif Kristen Islam). Setelah vakum lama, dan di Maret tahun 2023 ketika Haul Gus Dur diadakan di Balaiwiyata, akhirnya mengilhami para pengurusnya membangkitkan kembali SIKI melalui wajah baru, yakni SILI (Studi Intensif Lintas Iman). PAU dibarukan menjadi KHAU (Komisi Hubungan Antar Umat Beragama) yang menjadi struktur di lingkungan Gereja Kristen Jawi Wetan.
Relasi Pro-eksistensi: Menjadi Mayoritas meski Minoritas
Merawat petilasan Gus Dur di Balaiwiyata didasari oleh relasi Pdt. Wismo dan Gus Dur yang bernilai pro-eksistensi. Menurut istri Pdt. Wismo, kedekatan mereka berdua begitu istimewa. Kedekatan tersebut didasari oleh keprihatinan antarpribadi untuk melampaui kegelisahan personal tentang perdamaian agama-agama. Istilah persaudaraan sejati yang menjadi semacam doktrin gereja hari ini ternyata diterima Gus Dur yang tidak diprasangkakan sebagai milik dogma teologis gereja. Gus Dur menerima itu sebagai spirit pro-eksistensi bagi upaya saling bahu-membahu mewujudkan kebebasan hak dan relasi damai agama-agama. Kenangan gelap ’96 yang melahirkan persaudaraan sejati dari GKJW sebenarnya merupakan spiritualitas lintas iman yang memposisikan masing-masing tokoh lintas iman bertanggung jawab menjaga dan mewujudkan apresiasi keinginan bersaudara meski beda agama untuk saling menjaga dan melindungi.
Sejumlah perasaan pro-eksistensi bermakna luas yang diproduksi oleh pribadi yang hadir dalam refleksi safari damai di Balaiwyata pada hari Sabtu, 14 Oktober 2023. Pro-eksistensi disebut tingkat tertinggi toleransi sebagai bentuk persaudaraan sejati. Di antara perbedaan saling berjuang untuk saling mendukung kehidupan orang lain. Tidak ada kepalsuan, terus terang, dan “Aku berjuang agar kamu tetap hidup,” tegas Pdt. Gideon. Beda dengan tingkat satu, yang saling menghindar untuk hidup sendiri-sendiri dalam perbedaan. Tingkat dua apologetik, aku membela agamaku, kamu membela agamamu. Tingkat ketiga, ko-eksistensi, yakni toleransi, menghargai perbedaan semata saja. Begitu nukilan Pdt. Gideon dijabarkan. Arah refleksi maknawi memahami perbedaan dari hadirin bergumul memahami lebih jauh tentang pro-eksistensi.
Perasaan pro-eksistensi. Proeksistensi berdaur ulang dalam ragam narasi afektif, baik dari pemuda CD GKJW Karangpilan Surabaya, beberapa guru, mahasiswa, keluarga, dan beberapa penggerak GUSDURian lama dan baru. Beberapa perasaan tersebut antara lain, ketika bergabung dengan GUSDURian mereka memiliki daya tarik mendapatkan pengalaman aktualisasi toleransi dan akhirnya mempunyai praktik baik tanpa melihat latar-belakang seseorang setelah megikuti magang. Sebagian menyampaikan perasaan syukur karena nyaman seperti menjadi bagian dari saudara dalam keluarga baru, dan terbuka secara lintas iman, dan ada yang ingin memperluas manfaat tersebut. Momen ini menjadi ilmu baru tentang pro-eksistensi bagi Ahmad Jalal, salah satu orang yang hadir. Bahkan, Fahrur, dari agama Baha’i menyatakan, “Saya merasa menjadi mayoritas, meskipun agama saya minoritas. Sebuah rasa ketauhidan yang nyata.” Di sini GUSDURian menjadi ruang aktualisasi empatik pro-eksistensi yang mengikat persaudaraan sejati untuk menjaga resiliensi menjadi Indonesia dari segala bentuk diskriminasi minoritas.
FIlantropi Inklusif, GUSDURian Peduli Pro-Eksistensi
Di saat orang berlomba mengapitalisasi gerakan filantropi berbasis identitas (agama), melalui GUSDURian Peduli, nilai filantrofi alternatif menunjukkan empati pro-eksistensi. Nilai kemanusiaan menciptakan respons imparsial, independen, dan netral. Korban disikapi sebagai subyek kemanusiaan yang dibela dan dibebaskan dari penderitaan tanpa melihat identitas diri korban. Korban Syiah, persekusi agama, korban diskriminasi minoritas, korban powerless, oleh GUSDURian Peduli ditempatkan secara inklusif dan nir-diskriminatif di saat organisasi filantrofi lain masih berpihak eksklusif. Yushar mengapresiasi, “Saya tertarik dengan pro-eksistensi karena mengapresiasi perbedaan. Kalau ada kegiatan lagi, saya bisa mengajak anak-anak saya. Mudah-mudahan saya dan keluarga saya bisa diajak mengembangkan nilai-nilai persaudaraan. Saya bisa bertahan di organisasi filantrofi Katolik meskipun saya muslim, tidak lain dari kekuatan pro-eksistensi.” GUSDURian melatih proses empatik imparsial, inklusif, dan persaudaraan yang menghidupkan.
Bahkan GUSDURian Peduli dapat mandiri relawan kapitalisasi filantrofi, namun dapat bertindak pro-bono. Yushar mengatakan, kegiatan GUSDURian Peduli dapat dilakukan bernilai pro-bono. Tidak mengedepankan kapital tetapi semangat sunyi bergerak mengedepankan kepedulian kemanusiaan. Sikap humanisme total, tanpa melihat identitas terbentuk. Bagi Yushar, ini tantangan anak muda untuk terus bergerak. Kalau teman-teman sudah memiliki pengalaman pro-bono (bukan uang), maka kita punya standar ketulusan sehingga tidak mudah terwarnai. Pengalaman ini adalah proses adaptasi yang ringan. Lewat kegiatan ini, anak muda kampus dapat mengalami kesederhanaan. Kita semua dapat pengalaman belajar tidur di tenda pengungsi, bukan hanya mampu tinggal di hotel. Lewat GUSDURian, anak muda yang belajar kepedulian dapat comfort ke nilai-nilai kemanusiaan. Sebuah rangkuman refleksi jalan damai Yushar.
Epilog
Kenangan gelap ’96 dan petilasan Gus Dur di Balaiwiyata menjadi kawah candradimuka menghadirkan pemaknaan pro-eksistensi. Ada tanggung jawab para penggerak untuk konsisten menghadirkan pro-eksistensi dengan daya lenting (resiliensi) bagus. Menurut Wahyuni Widyaningsih, kredibilitas nilai para penggerak perlu berkapasitas resiliens (daya lenting). Caranya dengan memupuk kemandirian gerakan. Bukan berarti penggerak tidak mampu mengapitalisasi aksi, tetapi berdasarkan kemampuan kreatif untuk mendorong kemandirian finansial. Boleh saja jika memang dalam proses aksi dan keterampilan gerakan melahirkan dampak finansial, maka pilihan tersebut menjadi bagian dari temuan kreativitas. Perumpamaannya, “Perlulah menjaga keselamatan di darat sebelum kita membangun keselamatan di udara. Setiap penggerak perlu belajar kesiapan pribadi yang mandiri, memahami filantropi sebagai nilai kemanusiaan sehingga di lapangan kita dapat lebih siap mendorong tetap fokus pada nilai kemanusiaan yang inklusif. Tetap siap melebur dengan situasi kemanusiaan riil.” pungkas Yushar. Pengalaman pahit ’96, pelajaran persaudaraan sejati, dan gerakan filantrofi imparsial adalah jalur gerakan yang penting dipelihara atau dirawat GUSDURian Malang.