Menuju Demokrasi Sehat, Jaringan GUSDURian Gelar Seminar Indonesia Rumah Bersama

Salah satu ancaman bagi demokrasi adalah munculnya gejala otoritarianisme, di mana para pemangku kebijakan menggunakan kekuasaannya dengan cara mengangkangi aturan demokrasi. Melemahnya KPK, semakin kuatnya oligarki, mewabahnya politik dinasti, dan keputusan MK yang diduga cacat hukum merupakan situasi demokrasi kita hari ini. Merespons situasi demikian maka Jaringan GUSDURian kembali menggelar Seminar Indonesia Rumah Bersama.

Koordinator Gardu Pemilu Nasional Jay Akhmad. Ia mengatakan bahwa demokrasi masih minim literasi. Baginya, hal ini disebabkan adanya kesadaran terkait pendidikan politik yang rendah. Padahal pendidikan politik juga menentukan volume suara politik di level kebijakan.

“Saat ini demokrasi kita minus literasi, sehingga menyebabkan minim voice,“ ujarnya.

Lebih lanjut ia menyampaikan bahwa agama memiliki peran strategis terhadap masing-masing individu dan sosial. Sehingga, menurutnya, tokoh-tokoh agama seyogyanya tidak hanya bergerak dalam soal praktis keagamaan saja. Akan tetapi, turut berpartisipasi untuk mengawal jalannya demokrasi yang menjadi media untuk mencapai kemaslahatan bersama.

“Sehingga tokoh agama bukan hanya berbicara soal surga dan neraka saja, tetapi juga bertanggung jawab terhadap persoalan demokrasi,” pungkasnya.

Hal senada juga disampaikan Julius Ibrani dari Koalisi Masyarakat Sipil Kawal Demokrasi. Dirinya mengungkapkan bahwa demokrasi Indonesia yang terjadi saat ini masih didominasi kalangan elite politik. Dominasi tersebut merupakan sebuah akibat dari anggapan negatif masyarakat terhadap pendidikan politik. Bahkan tak jarang dianggap sebagai barang haram dan eksklusif. Dampaknya, setiap proses politik tidak mendapatkan perhatian penuh dari masyarakat.

“Harus kita sadari bahwa masalah demokrasi saat ini berangkat dari anggapan kurang baik terhadap pendidikan politik,” ungkapnya.

Selain itu, dia juga menyampaikan adanya tiga catatan minus bagi demokrasi Indonesia. Tiga catatan tersebut ialah partisipasi suara publik dalam forum politik yang rendah, layanan umum yang tidak memadai, dan kasus politik yang tidak ditangani secara serius. Tetapi, menurutnya, masyarakat tidak perlu mencari pemimpin yang lebih baik dari pemimpin sebelumnya, melainkan mencari kepemimpinan yang membuat masyarakat lebih baik.

“Yang terpenting adalah bahwa bagaimana kita mencari pemimpin yang membuat kitanya lebih baik,” tegas ketua BPN-PHBI tersebut.

Sementara Dewan Pengarah Gardu Pemilu Anita Hayatunnufus Wahid mengungkapkan bahwa demokrasi hari ini yang melemah bermula dari gejolak kristalisasi-polarisasi. Polarisasi terjadi akibat pendukungan paslon secara berlebihan. Namun selalu memandang dengan kacamata kebencian pada saat melihat paslon liyan.

Pandangan seperti itu terjebak pada konteks kita lawan mereka saja. Suatu pihak menganggap bahwa golongannya yang paling berjuang sendiri demi bangsa dan negara. Sementara pihak lawan dianggap sebagai golongan perampas atau perusak negara. Pada situasi semacam ini orang akan mudah berpikir dikotomis dan sering kali terprovokasi oleh hoaks.

“Sikap-sikap semacam ini yang kemudian menjadikan orang gampang berpikir dikotomis dan mudah termakan hoaks,” jelasnya.

Lebih lanjut, putri ketiga Gus Dur tersebut mengajak untuk mengakui pengalaman kelam demokrasi yang pernah dialami. Sebab menurutnya, dari sebuah pengakuan akan lahir bentuk kesadaran untuk tidak melakukan hal serupa. Lantas hal yang perlu dilakukan ialah pemantauan dan penyebaran informasi-informasi terkait bagaimana pemangku kebijakan membuat prosedur perancangan kebijakan dan pelaksanaan program.

“Maka sekarang kita perlu memperlihatkan informasi-informasi terkait dengan prosedur pelaksanaan suatu program,” tutur perempuan lulusan FISIP UI tersebut.

Kegiatan yang mengangkat tema “Menuju Pemilu Jujur, Adil, dan Bermartabat” tersebut bertempat di Gedung Aula PUSDIKLAT Administrasi Kementerian Agama RI Ciputat, Tangerang Selatan. Diskusi publik ini menghadirkan ratusan peserta dari unsur pemangku kebijakan, praktisi agama, dan berbagai organisasi atau lembaga lainnya. Adapun yang bertugas sebagai pembicara adalah Anita Wahid (Dewan Pengarah Gardu Pemilu), Jay Akhmad (Koordinator Koordinator Gardu Pemilu Nasional), Julius Ibrani (Koalisi Masyarakat Sipil dan Kawal Demokrasi), Mustafa A. Said (Direktorat Jenderal Politik dan Pemerintahan Umum KEMENDAGRI), dan Marleni Adiya (Koordinator Wilayah GUSDURian Jawa Bagian Barat) sebagai moderator.

Penggerak Komunitas GUSDURian Ciputat, Tangerang Selatan.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *