Mahatala Jata: Keberagaman Gender Warisan Nenek Moyang dalam Masyarakat Dayak Ngaju

Berbicara tentang keberagaman sejarah budaya di Indonesia, Kalimantan Tengah merupakan salah satu daerah yang tak boleh dilewatkan. Keberagaman budaya dan adat Kalimantan Tengah salah satunya berasal dari suku Dayak dengan kepercayaan Kaharingannya. Suku Dayak sangat menghargai perbedaan. Hal itu tercermin dari “Huma Betang (Rumah Besar)”, yaitu falsafah suku Dayak yang berarti memiliki perspektif yang berbeda dalam membahas suatu masalah, termasuk soal seksualitas.

Walaupun banyak perdebatan yang cukup panjang, namun suku Dayak memiliki nilai persaudaraan yang erat sebagai landasan yang kuat untuk menghindari perpecahan. Tak heran jika kita menemukan satu keluarga besar orang Dayak terdiri dari bermacam-macam agama seperti Kaharingan (agama nenek moyang), Hindu, Islam, Kristen, dan agama lainnya yang terikat tali pernikahan.

Prinsipnya, apa pun yang terbentuk dalam keyakinan diri setiap individu orang Dayak diserahkan kembali oleh individu yang menjalaninya. Termasuk, misalnya, orang Dayak begitu menjaga anggota keluarga yang memiliki gender hingga ekspresi yang beragam dan mampu mempertanggungjawabkan pilihannya tanpa membuat dampak negatif pada keluarga lainnya.

Bawei, atau perempuan dalam bahasa Dayak Ngaju, memiliki tempat tertinggi dan penghargaan tersendiri bagi masyarakat Dayak di Kalimantan Tengah (provinsi yang dialiri oleh dua sungai terpanjang di Indonesia yaitu Sungai Barito dan Sungai Seruyan). Bagi suku Dayak, perempuan memiliki peran yang sangat penting. Fakta membuktikan bahwa dalam sejarahnya tokoh-tokoh perempuan Dayak mampu menunjukan diri dalam menembus ketabuan gender dan mengangkat perannya dalam kesetaraan gender, seperti contohnya pada kisah Nyai Balau.

Sedikit cerita tentang Nyai Balau. Jika kita membahas pulau Kalimantan, sepertinya julukan Panglima Dayak tidak asing terdengar di telinga kita. Panglima Dayak identik dengan sosok seorang laki-laki yang berbadan tegap, pemberani, dan kuat. Nyatanya, di Kalimantan Tengah tidak selalu demikian. Panglima Dayak juga dikenal bagi julukan seorang perempuan, yang tidak lain adalah sosok Nyai Balau.

Panglima Dayak perempuan ini dikenal sangat baik, sopan, dan santun dalam sikapnya. Ia juga sangat gigih dan pemberani dalam melawan Antang, yaitu musuhnya saat itu yang telah membunuh anak kesayangannya. Nyai Balau dikenal memiliki kesaktian melalui selendang saktinya. Nama Nyai Balau sendiri menjadi representasi bahwa Kalimantan Tengah memiliki ikatan kuat dengan adanya kesetaraan gender, yang pada akhirnya juga memberitahu dunia bahwa gender tidak memiliki keterbatasan sifat dan karakter.

Nenek moyang masyarakat Dayak juga mengenal keberagaman gender. Hal ini tertuang dalam sejarah para dewa dan dewinya yang sangat dijunjung masyarakat adat Dayak, khususnya suku Dayak Ngaju. Dewa dan dewi tersebut memiliki satu kesatuan yang menggambarkan simbol feminin dan sosok maskulin. Dewa dan dewi ini bernama Mahatala-Jata. Dalam masyarakat Kaharingan, dewa dan dewi ini dikenal dengan gambaran sosok tubuh laki-laki dan perempuan.

Menurut kepercayaan suku Dayak Ngaju, Mahatala juga disebut Hatala atau Lahatala, atau yang memiliki nama asli Tingang (burung rangkok atau burung enggang). Sementara Jata memiliki nama asli Tambon, yang juga biasa disebut masyarakat Dayak Ngaju dengan julukan Bawi Jata Balawang Bukau dan menampakan diri dalam bentuk naga (banyak juga yang menyebutnya ular laut).

Mahatala sendiri berada di alam atas. Alam ini sebagaimana kehidupan manusia, tetapi segalanya lebih berkelimpahan dan sangat indah daripada alam manusia. Sedangkan Jata hidup di alam bawah, yaitu alam manusia yang dihuni oleh para buaya. Dalam kepercayaan Dayak Ngaju, di alam bawah ini buaya yang dimaksud adalah buaya yang berbentuk manusia. 

Mahatala dan Jata juga sering digambarkan dalam satu wujud, seperti burung elang yang bersisik ular atau seekor naga yang berbulu burung enggang/tingang. Mereka dipercayai seperti dwi tunggal, yaitu sesuatu yang bersifat bertentangan dan tercermin dalam sifat baik dan jahat, hidup dan mati, hingga gelap dan terang. Keunikan lainnya, ketika dewa dan dewi ini bertemu, tubuh mereka akan menjadi satu dan mereka akan membuat sebuah jembatan yang terbuat dari permata dan batu mulia, sehingga dalam pandangan awam manusia akan terlihat seperti pelangi yang membentang. Mahatala-Jata ini juga disebut-sebut sebagai dewa transgender pada keyakinan masyarakat Dayak Ngaju.

Seiring berjalannya waktu, terutama sejak kedatangan ‘agama pendatang’, situasi dan kondisi di Kalimantan Tengah mulai berubah. Alih-alih menjadi provinsi yang sangat toleran, Kalimantan Tengah malah menyimpan catatan kelam terhadap kelompok gender yang beragam, seperti persekusi, pengucilan, ancaman, pelecehan, hingga pemerkosaan. Seolah, keberagaman gender menjadi ‘fenomena baru’ yang bertentangan dengan ajaran agama mana pun, tanpa mengkaji aspek lokal seperti ajaran adat atau agama nenek moyang yang telah hidup di sana jauh lebih dulu.

Hal ini sangat disayangkan, mengingat Kalimantan Tengah hanyalah satu di antara banyak daerah di Indonesia yang sebelumnya juga telah mengenal keberagaman gender dari nenek moyang mereka. Jika masyarakat kita bijak dan mau menggali sejarah lebih jauh, seharusnya segala persekusi hingga kekerasan tidak perlu terjadi, dan Indonesia dapat menjadi negeri yang adil dan toleran pada semua keberagaman atas nama apa pun yang selama ini menjadi keniscayaan bangsa ini.

Alumnus Lokakarya AKSARA Komunitas Qbukatabu.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *