Social Media

Tumbilatohe di Era Modern, Antara Pelestarian dan Pergeseran

Adati hula-hula’a to syara’, syara’ hula-hula’a to qurani. Artinya, adat bersendikan syara’, syara’ bersendikan Al-Qur’an. Sebuah filosofi yang tertanam di dalam kehidupan sosial masyarakat Gorontalo setiap harinya. Praktik keagamaan yang bersumber dari Al-Qur’an dan selaras dalam kehidupan sehari-hari.

Salah satunya adalah tradisi Tumbilatohe yang setiap tahun dirayakan pada malam ke-27 di bulan Ramadan. Seingat saya perayaan ini membuat tradisi keagamaan menjadi lebih terasa. Terutama di ketiga malam terakhir. Oma (nenek) saya sering mengaji di masjid selepas tarawih hingga semalam suntuk. Orang-orang tua juga berbondong-bondong ke masjid untuk melaksanakan itikaf di malam-malam terakhir.

Tumbilatohe dilakukan di setiap rumah masyarakat. Mereka berbondong-bondong menyalakan lampion dari minyak tanah di depan rumah. Dengan tujuan agar orang-orang dapat dengan mudah menyusuri jalan menuju ke masjid.

Kehidupan sosial ini telah tertanam di masyarakat Gorontalo. Mereka menyebutnya mohuyula (gotong royong). Gotong royong saling membantu dengan tujuan untuk beribadah lebih giat di hari-hari terakhir Ramadan.

Saya pernah mendengarkan kisah sejarah awal Tumbilatohe di Gorontalo. Kisah itu berawal dari salah seorang syekh. Orang yang menceritakan kepada saya menyebutnya Syekh Polohungo. Kala itu Syekh Polohungo tengah mencari makna dalam Al-Qur’an yang menyebut bahwa ada malam yang lebih indah dari malam seribu bulan.

Beliau melakukan perjalanan pencariannya ke sebuah hutan di daerah Tapa, Bone Bolango. Kemudian dirinya bertemu dengan sebuah batu yang mampu berbicara. Batu itu namanya Tihengo. Tihengo bertanya pada Syekh Polohungo apa yang diperbuatnya di tengah hutan. Kemudian diutarakanlah keinginannya untuk mengetahui malam lailatul qadr.

Batu Tilihengo kemudian menyuruh syekh untuk membalikan badannya. Dibaliklah batu itu dan terkuaklah sebuah lafadz Arab di baliknya. Sebuah lafadz Arab bertuliskan “lailatul qadr” sejumlah tiga kali. Batu itu menyuruh syekh untuk menghitung jumlah hurufnya yang kemudian semuanya berjumlah 27 huruf. Mulai saat itulah syekh menyebarkan kepada masyarakat untuk lebih giat melaksanakan ibadah di bulan Ramadan, khususnya di malam ke-27 hingga terakhir.

Namun kala itu, keadaan daerah Gorontalo belum terpenuhi cahaya lampu listrik. Sehingga, Syekh Polohungo membuat lampu lilin dari bahan pepaya, yang kemudian ditaruh minyak kelapa, ditaruh kapas dan dibakar api yang membuat cahaya di malam hari. Itulah lampu tumbilatohe pertama yang pernah saya dengar kisahnya. 

***

Modernitas tidak bisa dihalang-halangi lagi. Setiap detik kita disuguhkan dengan berbagai kelap-kelip kemegahannya. Sejak masuknya budaya layar ke Indonesia dimulailah era baru ini. Era yang membuat masyarakat terutama kalangan muda maunya serba instan. Kita hidup dalam sebuah persegi yang bercahaya dengan tontonan berdurasi pendek (short video).

Kesadaran masyarakat terbatasi pada hal yang indah, ditambah dengan lagu jedag-jedug yang lagi viral. Hal ini menjadi lumrah di tengah masyarakat melalui berbagai kanal media sosial. Salah satu korbannya adalah generasi muda.

Viralitas menjadi sebuah tren. Tidak viral, tidak seru. Bahkan status centang biru menjadi sebuah keharusan, orang pada berlomba mendapatkannya. Yang ramai di media sosial, yang viral harus diikuti. Seperti domba yang mengikuti tuannya ke mana saja diarahkan. Kemudian, bagaimana kaitannya dengan tumbilatohe?

Perayaan tumbilatohe di era modern ini memiliki ragam tujuan. Tujuan paling depan adalah untuk melestarikannya. Ini menjadi suatu beban moral bagi setiap individu yang terlahir di tanah Gorontalo. Sebab tradisi ini telah mengakar dari orang tua mereka yang harus dilestarikan. Pelestarian menjadi sebuah kebiasaan dalam komunitas masyarakat. Hal itu telah tertulis jauh di dalam goa-goa purba yang ditemukan para ahli.

Dengan pelestarian tradisi ini juga para generasi muda, setidaknya, mengetahui budayanya. Namun, kemodernan membuat generasi muda ingin yang serba instan. Tumbilatohe yang awalnya dinyalakan dengan lampu botol kemudian berubah menjadi lampu tumbler. Bahkan ada guyonan yang disebutkan oleh istri penulis bahwa, saat ini istilah tumbilatohe sudah digeser dengan istilah tumbilatumbler.

Pergantian lampu-lampu tumbilatohe membuat suasananya juga berubah. Ketradisionalan lampu botol tidak akan pernah bisa digantikan oleh lampu tumbler. Perubahan simbolis lampu tumbilatohe tadi menggeser makna religius yang ada di dalamnya.

Mungkin ini adalah pandangan yang simplistik, tapi kemudian realita yang ada membuat penulis mengutarakan hal demikian. Tumbilatohe di era modern ini tidak hanya bertujuan untuk pelestarian tapi juga bertujuan untuk mendapatkan perhatian, lebih tepatnya mendapatkan viralitas. Semangat ini baik untuk mendekatkan kalangan muda terhadap tradisi. Namun, baru-baru ini ada berbagai nada negatif terhadap model pelestarian tradisi a la Gen Z.

Di media sosial Facebook, ada beragam postingan yang bernada negatif terhadap hal yang dilaksanakan oleh kaum muda tersebut. Mereka, golongan tua menganggap bahwa, festival tumbilatohe yang digelar oleh kalangan muda dengan berbagai ekspresi seni menggerus substansi makna tradisi yang sebenarnya. Seperti membantu penerangan jalan bagi masyarakat untuk beritikaf di masjid pada tiga malam terakhir Ramadan.

Komentar ini memang benar, tapi kita lupa bahwasanya siapa yang membentuk generasi muda. Ialah generasi tua itu sendiri. Sikap apatis terhadap generasi muda agar lebih dekat dengan orisinalitas tradisi ini menjadi salah satu penyebabnya. Sehingga yang terjadi adalah, generasi muda mencari alternatifnya sendiri untuk merayakan tumbilatohe dengan gaya mereka, gaya modern a la Gen Z. Seperti memadukan konser dengan perayaan festival malam pasang lampu itu.

Hal ini juga didorong oleh berbagai tujuan, seperti sponsor dari para pemegang modal. Para kapital yang diharapkan oleh gen Z sebagai pendonor uang atau hal lain untuk mensukseskan kegiatan mereka. Sehingga hal-hal menarik kemudian dibuat, tapi mereka, mungkin tidak sadar atau mungkin juga sadar mengetahui ada tujuan di balik sponsor tersebut, yakni memperoleh keuntungan.

Di sini penulis tidak ingin menyalahkan baik generasi tua maupun generasi muda. Tapi penulis menginginkan akan adanya kolaborasi antargenerasi untuk pelestarian tradisi. Tidak hanya tumbilatohe tapi juga untuk tradisi-tradisi Gorontalo lainnya. Sehingga pelestarian akan terwujud dengan tetap berpegang teguh pada akar kesejarahan dan makna utama dari sebuah tradisi.

Seperti yang sering dikemukakan oleh Gus Dur dalam tulisannya, al-muhafadhotu ‘ala qodimis sholih wal akhdzu bil jadidil ashlah, yakni “memelihara yang lama yang baik dan mengambil yang baru yang lebih baik”. Dengan kata lain, melestarikan suatu tradisi dahulu dan memadukannya dengan budaya baru “tanpa” menghilangkan substansi yang lama.

Penggerak Komunitas GUSDURian Gorontalo.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *