Pesawat saya landing di Bandara Vaclav Havel pada pukul 12.30 waktu setempat. Saya disambut dengan hawa dingin yang langsung menusuk. Padahal saya sudah menggunakan jaket yang sangat tebal. Ketika melihat layar di ponsel, suhu di sekitar Kota Praha mencapai 0° celsius! Pantas saja.
Akhir November 2023 itu cuaca sebenarnya cukup cerah. Matahari masih terlihat meski agak redup. Namun hembusan udara membuat kulit tropis saya butuh waktu adaptasi. Setelah menyelesaikan urusan imigrasi, saya pun langsung keluar bandara. Di sana ada seorang bule setinggi dua meter yang membawa papan nama bertuliskan nama saya.
“Hello. Welcome to Prague,” ujarnya ramah. Ia pun mengajak saya untuk menuju mobil yang terparkir tidak jauh dari pintu kedatangan. Pemandangan dan kesannya benar-benar baru bagi saya. Ini adalah kali pertama saya menginjakkan kaki di benua biru. Rasa lelah setelah menempuh perjalanan lebih dari 14.000 km tiba-tiba berganti menjadi semangat ingin segera mengeksplorasi kota yang baru saya lihat melalui film Surat dari Praha.
Di lokasi parkiran hampir di setiap kaca mobil terdapat tumpukan salju. Mungkin beberapa waktu sebelumnya kota ini diguyur sníh. Saya pun mbatin, ‘Wah akhirnya beneran di Eropa, nih.’
Perjalanan dari bandara membuat saya terheran-heran dengan label ibu kota yang disandang Kota Praha. Kota ini jauh dari penampakan Jakarta. Apalagi ketika mobil sudah mulai masuk ke wilayah kota. Jalan mengecil dan terasa semakin menggrunjal karena strukturnya terbuat dari batu (cubble stone). Di tengahnya terdapat rel yang menjadi lintasan tramvaj.
Setelah sampai di penginapan di daerah Hradčany, saya pun bergegas check-in agar bisa segera melaksanakan salat dzuhur. Untuk memastikan arah kiblat saya menginstal super apps NU Online yang juga menyediakan jadwal salat. Saya terkejut karena pukul 14.00 setempat sudah masuk waktu ashar, sementara pukul 16.00 sudah magrib. Yang lebih mengagetkan, waktu subuh dimulai pukul setengah enam hingga setengah delapan! Artinya malam di Republik Ceko sangat panjang.
Minoritas
Tidak ada azan berkumandang di Kota Praha. Bukan cuma azan, namun kota ini memang asing dari bunyi-bunyian di ruang publik, apalagi berupa pengeras suara. Satu-satunya suara keras yang saya dengar adalah bunyi lonceng yang berdentang di Orloj, jam astronomi kuno berusia 600 tahun di alun-alun kota tua Praha. Bunyi lonceng itu menjadi tujuan wisata yang dinantikan pengunjung.
Republik Ceko memiliki populasi sekitar 10 juta jiwa. Dari jumlah tersebut, penganut Muslim hanya berkisar 20.000-an atau 0,2 persen dari total populasi. Jumlah ini lebih banyak dari agama minoritas lain seperti Yahudi yang hanya 2.000-an orang. Meski demikian, komunitas Muslim berupaya memberikan warna Kota Praha.
Setidaknya itu kesan yang saya terima saat berbincang dengan Vladimír Sáňka, seorang warga Ceko yang beragama Muslim. Ia menceritakan bahwa di pusat Kota Praha ada sebuah masjid sederhana. Komunitas Muslim di sana menyewa sebuah ruangan di basement untuk difungsikan sebagai Islamic Center sekaligus ‘masjid’. Sayangnya, saya belum berkesempatan untuk ke sana karena waktu yang sangat terbatas.
Dari Vladimír saya juga mendapatkan cerita bagaimana komunitas Muslim di sana mengupayakan daging sapi yang beredar di resto-resto Praha dikelola dengan standar halal. Di Praha, daging dan olahan daging yang ada pada umumnya berbahan babi. Vladimír menyebut beberapa restoran ‘umum’ kini sudah menerima pasokan daging halal tersebut. Namun untuk opsi yang paling aman memang makan di restoran halal yang juga menjamur di kota bohemian ini.
Pengalaman ini otomatis membuat saya jadi teringat perdebatan label halal yang pernah jadi polemik di Indonesia. Di lokasi seperti Eropa inilah, label halal dibutuhkan untuk menjaga keamanan konsumsi.
Selama di Kota Praha, saya mengikuti sebuah agenda konferensi yang diselenggarakan di salah satu palace. Saat mengisi formulir pendaftaran, ada pertanyaan mengenai jenis makanan. Panitia menyediakan opsi halal food bagi peserta Muslim. Selain itu, ketika peserta Muslim ingin salat, panitia juga mempersilakan menggunakan sebuah ruangan. Sebagai minoritas, saya belajar betul bagaimana mereka bisa mengakomodir kebutuhan-kebutuhan syar’i meski jumlah kami tak seberapa.
Saya merasakan keindahan Kota Praha bukan hanya dari bangunan-bangunan estetiknya karya para baroque, namun juga dari perlakuan orang-orangnya selama mengikuti agenda-agenda di sana.
Konferensi tersebut membincangkan berbagai tantangan kehidupan keberagaman di seluruh dunia. Pengisinya berlatar belakang aktivis, akademisi, tokoh agama, hingga penyintas. Ada yang bercerita mendampingi komunitas keagamaan yang diusir dari wilayahnya karena tidak diakui. Ada yang bercerita saat ini tinggal di negara berbeda akibat menentang otoritarianisme negara dalam mempersekusi kelompoknya. Bahkan ada pula penolakan-penolakan pendirian rumah ibadah karena dianggap berbeda.
Mendengar cerita-cerita itu saya langsung menghela nafas. Sebab saya sangat akrab dengan kisah-kisah yang identik di negara tempat saya tinggal. Persekusi, intimidasi, hingga ancaman menjalankan agama masih menjadi problem yang enggak tahu kapan bisa diatasi di negeri yang konon menganut semboyan Bhinneka Tunggal Ika itu.