KABUPATEN GORONTALO – Dalam rangka memperingati hari lahir (harlah) KH. Abdurrahman Wahid atau Gus Dur, Komunitas GUSDURian Kabupaten Gorontalo bersama Mapala Tilongkabila Universitas Gorontalo menggelar Forum Demokrasi membahas isu lingkungan dengan tema “Keadilan Masyarakat Sipil, Hadapi Eksploitasi Sumber Daya Alam” di Sekretariat Mapala Tilongkabila, pada Minggu (8/9/2024).
Forum Demokrasi yang diikuti oleh akademisi, organisasi mahasiswa, pemuda lintas iman hingga masyarakat sipil ini menghadirkan empat narasumber yakni, Samsul Bahri Saman, S.Hut.,M.Sc selaku Kepala Kesatuan Pengelola Hutan (KPH) Wilayah IV Gorontalo Utara Dinas LHK Provinsi Gorontalo, Dr. Wawan K. Tolinggi, SP.,M.Si selaku Ketua Forum DAS Provinsi Gorontalo, Sri Dewi Jayanti Biahimo selaku Anggota Jaringan Advokasi Pengelolaan Sumber Daya Alam (Japesda), dan Defri Sofyan selaku Dinamisator Simpul Walhi Gorontalo.
Dalam konteks Gorontalo, KPH dibagi menjadi enam wilayah yang tersebar di seluruh Provinsi Gorontalo, mulai dari bagian barat ada Lemito, Marisa, Boalemo, Gorontalo, Gorontalo Utara, dan Bone Bolango. Jadi, dalam konteks perencanaan hutan seluruh kawasan hutan menjadi tugas dan fungsi yang kedudukannya dikelola oleh unit pengelolaan hutan disebut KPH.
Tugas dan fungsi KPH itu sendiri adalah mengelola hutan produksi dan hutan lindung. Sementara hutan konservasi dikelola oleh Balai Konservasi Sumber Daya Alam.
Menurutnya, terjadinya banjir dikarenakan vegetasi daerah sungai sudah habis, kemudian aliran sungai membuat sedimen-sedimen membludak. Sebab ada akibat kesalahan manajemen, yaitu terjadinya penebangan/ekstraksi di hulu DAS dan digantikan dengan tanaman musiman yang bisa memicu banjir. Hal itu, kata dia, perlu untuk diketahui oleh masyarakat.
“Sekarang peran kita adalah mengintervensi untuk mengedukasi masyarakat yang berada di pinggiran Daerah Aliran Sungai maupun di kawasan hutan, bahwa menebang hutan sampai habis yang mengakibatkan deforestasi kita makin tinggi dan mengakibatkan area/kawasan hutan menjadi terbuka dan menjadi area rusak permanen,” tuturnya.
Ia juga mengatakan bahwa giat-giat dinas LHK gencar melaksanakan rehabilitasi hutan dan lahan, seperti gerakan nasional rehabilitasi hutan dan lahan. Ini merupakan bagian dari advokasi dan edukasi perubahan pola pikir untuk membangun komitmen menanam agar mereduksi kegiatan yang orientasinya merusak hutan.
Sementara itu, Wawan K. Tolinggi menekankan soal keadilan masyarakat dalam persoalan lingkungan. Menurutnya, Gorontalo masuk dalam tesisnya Richard Audy ada yang namanya kutukan sumber daya alam; bahwa negara-negara yang memiliki sumber daya mineral (minerba) mengalami pertumbuhan ekonomi yang lambat dikarenakan banyak konflik vertikal yang terjadi antara perusahaan dan negara berhadapan dengan masyarakat sipil.
Persoalan lingkungan yang terjadi, kata Wawan, mencakup semua hal, mulai aspek ekonomi, sosial, dan pendidikan. Dalam hal ini, masyarakat harus menjadi tujuan utama dari sebuah pembangunan, bukan hanya dipandang sebagai subyek, tetapi juga pemanfaatan.
“Karena ini soal distribusi peran. Prinsip dasar yang menjadi tema kita seharusnya merujuk pada pasal 33 UUD tahun 1945, yaitu ‘regulasi pola sumber daya alam menjadi prinsip dasar keadilan bagi masyarakat, baik bumi, air dan seisinya harus dimanfaatkan untuk kepentingan rakyat’,” tegasnya.
Di sisi lain, Dewi Biyahimo menyebut bahwa perempuan dan kerusakan alam dalam hal ini banyak kasus perampasan hak-hak masyarakat sipil, terutama dalam kasus permasalahan tata kelola lahan dan perebutan lahan. Kata Dewi, kelompok yang paling rentan selain kelompok marginal adalah perempuan.
Menurutnya, perempuan merupakan role of nature yang menumbuhkan kehidupan. Ketika alam kehilangan keanekaragamannya, masyarakat kehilangan sumber penghidupannya, yang paling terdampak adalah kaum perempuan.
“Secara sadar dan tidak sadar kita telah mengikuti budaya konsumerisme atau monokultur sehingga kita kemudian kehilangan sumber pangan kita. Gerakan yang paling penting sebagai perempuan adalah menumbuhkan ketahanan kita kembali, bagaimana masyarakat kita menjadi resilience di tengah berbagi hambatan ini, resilience dalam artian bagaimana kita bertahan hidup,” ujar Dewi.
Terakhir, Defri Sofyan menyentil soal tanaman yang ditanam masyarakat sipil atau petani adalah hasil kongkalikong antara pemerintah dan korporat.
“Pemerintah berpihak dengan mendukung korporasi dan menggunakannya untuk kegiatan ekonomi ekstraktif. Satu hal yang perlu kita semua tahu adalah yang mendesain pertanian monokultur atau hibrida adalah korporat itu sendiri dan dibantu pemerintah melalui program agropolitan berbasis jagung. Dalam hal ini masyarakat sipil/petani hampir tidak punya pilihan. Karena bicara soal pemerintah, maka bicara soal subsidi bantuan baik pupuk, obat, dan bibit. Tanaman tipe hibrida adalah tanaman yang hanya bisa ditanam sekali saja, dan siklus ini kemudian membuat keuntungan pada korporat, bukan petani itu sendiri,” jelas Defri.
Lanjut Defri, kalau mau mengurai soal dampak yang ditimbulkan di antara lain yakni bencana ekologis, konflik vertikal, konflik agraria dalam hal ini perampasan tanah.