Sewaktu saya remaja, Gus Dur pernah menyampaikan kepada saya untuk tidak mengharapkan beliau akan seperti ayah-ayah lain. Katanya, keluarga adalah prioritas keempat, setelah Islam, Indonesia, dan NU. Sejak itu, saya belajar melepaskan ekspektasi kepada beliau dalam kapasitas sebagai ayah. Saya juga mendapatkan pelajaran berharga tentang menyusun prioritas hidup dan perjuangan.
Prioritas seperti ini tidak datang tiba-tiba. Gus Dur belajar dari sumber-sumber signifikan dalam hidupnya: datuk-datuknya KH Hasyim Asy’ari, KH Bisri Syansuri dan KH Wahab Hasbullah serta ayah-ibunya KH Wahid Hasyim dan Nyai Solichah Wahid. Selain itu, Gus Dur juga belajar dari guru-gurunya, seperti KH Chudlori dari Magelang, KH Ali Maksum Krapyak, dan banyak kiai lain yang didatanginya untuk mendapat nasihat tanpa menjadi santri mukim (santri yang tinggal di pondok pesantren).
Dari mereka, Gus Dur belajar tentang menempatkan diri dalam semangat perjuangan mewujudkan Islam rahmatan lil ’alamin atau Islam sebagai rahmat untuk semesta. Hidup tidak semata tentang diri sendiri dan kepentingan kelompok. Para kiai dan nyai ini adalah para pemimpin gerakan sosial pada tingkatan yang paling bawah: di akar rumput. Mereka menggerakkan perubahan konkret, terutama para kiai perintis pondok pesantren.
Kiai Hasyim Asy’ari mendirikan pondok pesantren di wilayah Tebuireng, yang merupakan daerah hitam dan menjadi pangkalan para preman kota Jombang kala itu. Beliau memilih untuk mendirikan sebuah pesantren baru, alih-alih melanjutkan hidup nyaman di rumah ayahnya, KH Asy’ari di Pondok Pesantren Keras.
Dari Pondok Pesantren Tebuireng inilah muncul KH Wahid Hasyim dan Gus Dur. Dalam tradisi pesantren, sebutan kiai merujuk pada tingkat ketokohan lebih tinggi. Gus dan Ning adalah sebutan untuk ulama muda atau putra-putri kiai. Namun, sebutan Gus menjadi populer di kalangan masyarakat awam ketika Gus Dur mulai berkiprah keluar pesantren. Walhasil, Gus Dur tidak dikenal sebagai Kiai Abdurrahman Wahid, bahkan sekarang sebutan Gus pun sering tidak ditanggalkan bagi kiai-kiai yang sudah senior, seperti Gus Mus.
KH Bisri Syansuri dan KH Wahab Hasbullah adalah kawan karib saat mondok di Pondok Pesantren Syaikhona Kholil, Bangkalan, Madura, lalu bersama belajar di Tanah Suci. Walaupun akhirnya menjadi saudara ipar, mereka mengelola pondok pesantren masing-masing di desa yang bersebelahan di Jombang. KH Wahab mengurus Pondok Pesantren Tambakberas yang dirintis oleh kakek buyutnya, sementara sang adik ipar mendirikan Pondok Pesantren Denanyar. Kelak, dari sosok Kiai Wahab muncul berbagai inisiatif seperti Nahdlatut Tujjar (Koperasi Dagang) dan Tashwirul Afkar (gerakan pemikiran).
Kiai Hasyim, Kiai Wahab, dan Kiai Bisri akhirnya menjadi simpul gerakan para kiai di Nusantara. Di awal abad ke-20, Kiai Wahab memimpin delegasi Komite Hijaz untuk bertemu Raja Saud yang baru saja mendirikan Kerajaan Arab Saudi dan mengambil ideologi Wahabi sebagai paham keagamaannya. Selepas tugas Komite, para kiai memutuskan kebersamaan itu dilanjutkan menjadi Nahdlatul Ulama, yang di bulan Januari 2025 ini berulangtahun ke-102 tahun Hijriah (99 tahun Masehi).
Para kiai pada umumnya memang memiliki watak entrepreneurial, lebih tepatnya social entrepreneurship. Mereka tidak takut untuk merintis dan membuka jalan (trailblazing) di lahan yang masih liar. Nilai-nilai agama yang diyakini menjadi sumber kehidupan dijadikan sebagai kerangka perbaikan kualitas umat.
Prinsip-prinsip transformasi sosial, bahkan social engineering (perekayasaan sosial), dapat dengan mudah kita temukan dalam jejak perubahan pimpinan para kiai walaupun mereka tidak berbekal ilmu-ilmu manajemen modern.
Transformasi sosial yang dilakukan oleh para kiai berbeda dengan model transformasi sosial dalam institusi, di mana semua elemen yang ada berada dalam struktur yang terkonsolidasi dan terintegrasi. Pada perubahan sosial dalam institusi, kendali perubahan dipegang oleh pemimpin institusi dan diikuti penuh oleh semua elemen.
Sebaliknya, para kiai harus mendorong perubahan pada masyarakat di tingkatan paling bawah. Di tangan para kiai, terjadi perubahan proses-proses sosial dan dinamika aspek-aspeknya, struktur sosial baru, pola-pola relasi sosial, dan pengorganisasian sosial.
Menjadi perintis transformasi sosial membuat para kiai terasah untuk membangun kepercayaan publik dan mengembangkan kearifan sosial. Para kiai menanamkan nilai sambil menunjukkan bukti bahwa corak kehidupan yang ditawarkannya jauh lebih baik daripada corak pola kehidupan sebelum dakwahnya. Menariknya, ini semua dilandasi keyakinan bahwa perubahan yang terjadi bukanlah kuasanya pribadi tetapi berkah dari Yang Maha Kuasa.
Karena proses transformasi yang dikelolanya ini, para kiai pun tumbuh menjadi figur yang matang dan arif bijaksana, serta memiliki kapasitas kepemimpinan yang par-excellence. Tantangannya justru pada pembangunan sistem sosial di dalam pesantren tersebut. Jabatan struktural pimpinan pesantren biasanya diwariskan kepada keluarga kiai dan terkadang tidak disertai dengan proses penggemblengan yang setingkat dengan kiai perintisnya. Di titik inilah, sebuah pesantren dapat terjebak menjadi sistem sosial mikro yang feodalistik dan lalu mengalami kemunduran.
Jejak para kiai Indonesia menjadi contoh nyata transformasi sosial yang efektif. Para kiainya menjadi model kepemimpinan transformatif pada level societal. Sejatinya mereka menyumbang pada pewujudan cita-cita kemerdekaan bangsa, yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa. Ah, seandainya para kiai ini berkenan untuk melakukan transformasi dalam masyarakat politik bangsa, mungkin kita punya masa depan yang jauh lebih cerah.
_______________
Artikel ini dimuat pertama kali di rubrik “Udar Rasa” Kompas, 26 Januari 2025