Sengketa Empat Pulau: Menelaah Keadilan dari Kacamata Islam

Keputusan Kemendagri menyulut berbagai reaksi lapisan masyarakat Aceh. Gubernur Aceh, Muzakir Manaf alias Mualem, mengumpulkan seluruh anggota DPR RI dan DPD RI dalam rapat tertutup di Pendopo Gubernur Aceh, (13/6/2025) (detik.com). Pembahasan utama mereka adalah tentang empat pulau di Aceh Singkil yang diserahkan Pemerintah Indonesia ke Sumatera Utara. Pertemuan ini demi menyatukan visi dan langkah melawan keputusan semena-mena pemerintah pusat yang tidak menghargai martabat Aceh. Apalagi, Menteri Dalam Negeri, Tito Karnavian, tidak menunjukkan tanda-tanda mendengar dan berpegang pada fakta sejarah mengenai pulau ini.

Keputusan Nomor 300.2.2-2138 Tahun 2025 tentang Pemberian dan Pemutakhiran Kode serta Data Wilayah Administrasi Pemerintahan dan Pulau yang ditetapkan pada 25 April itu, menetapkan status administratif empat pulau tersebut sebagai bagian dari wilayah Kabupaten Tapanuli Tengah, Provinsi Sumatera Utara (tempo.co,12/6/2025) disinyalir mengabaikan aspek psikologis masyarakat Aceh.

Jika ditotal, perang dokumen antara kedua provinsi, dari SK tahun 1965 hingga Kepmendagri 2025, kisruh empat pulau antara Aceh dan Sumatera Utara melibatkan setidaknya tujuh dokumen resmi negara, tiga surat keputusan, dua berita acara, serta sejumlah bukti lapangan seperti tugu batas, musala, dermaga, dan kebun garapan milik warga Aceh. Aceh mengandalkan dokumen berusia puluhan tahun seperti SK Inspeksi Agraria, peta topografi militer 1978, dan surat kuasa adat, untuk menguatkan posisi mereka terhadap Pulau Lipan, Pulau Panjang, Pulau Mangkir Besar, dan Pulau Mangkir Kecil. Sementara Sumut menaruh kekuatan pada legitimasi administratif era baru: verifikasi nama rupabumi 2008, rapat pembakuan geografis 2017, hingga Kepmendagri terbaru tahun 2025.

Ditambah lagi, menurut salah seorang wakil rakyat asal Aceh, masyarakat yang menetap di empat pulau tersebut sejak dulu beridentitas kependudukan Aceh (tempo.co, 12/6/2025). Disusul data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral yang merilis potensi sumber daya minyak dan gas bumi di perairan Aceh pada 22 Juli 2022, dinilai masih sangat menjanjikan. Hal itu berada di Wilayah Kerja (WK) Andaman yang mencakup tiga blok: Andaman I yang kala itu dikelola Mubadala Petroleum, Andaman II oleh Premier Oil, dan Andaman III oleh Repsol.

Kabar terbaru, Gubernur Sumatera Utara Bobby Nasution meminta masyarakat Aceh maupun Sumut agar tidak terprovokasi dengan persoalan empat pulau di Aceh yang kini menjadi bagian Provinsi Sumut, supaya jangan (sampai) warga Sumut anti melihat nomor (kendaraan bermotor) pelat BL (Aceh) dan orang Aceh anti melihat pelat (kendaraan Sumut) BK (infoaceh.net,13/6/2025).

Pada tanggal yang sama, Persatuan Mahasiswa Aceh Jakarta Raya meminta Presiden Prabowo Subianto mencopot Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian dan Direktur Jenderal (Dirjen) Bina Administrasi Kewilayahan (Adwil) Kemendagri, Safrizal ZA dalam aksi yang digelar di depan Gedung Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), Jalan Merdeka Utara, Jakarta Pusat, dilansir ajnn.net. Dua sosok yang dinilai mencabik demokrasi hingga menjadi luka yang menganga lebar.

Demokrasi memandang bahwa dalam hukum, manusialah yang mengatur semua permasalahan dan manusia pula sebagai hakim yang menetapkan hukum. Namun, sistem ini juga tidak dapat terlepas dari sistem ekonominya (kapitalisme), yakni yang berkepentingan adalah korporasi.

Dalam demokrasi, manusia punya kebebasan hak kepemilikan dan rakyatlah sumber kekuasaan. Rakyat yang membuat undang-undang dan yang menggaji kepala negara untuk menjalankan undang-undang yang dibuatnya. Atas nama rakyat pula, manusia berhak mencabut kembali kekuasaan itu dari kepala negara, menggantinya dan mengubahnya sesuai dengan kepentingan masing-masing. Oleh karenanya, muncullah pergantian-pergantian regulasi yang dianggap sebuah solusi dan perlu diperbarui jika dianggap tidak sesuai kepentingan tertentu.

Kacamata Islam

Sementara itu, dalam Islam, hukum asal perbuatan manusia terikat dengan hukum syara’. Tidak dibenarkan bagi manusia untuk menyelesaikan suatu hukum dengan membuat peraturan hidupnya sendiri.

Pengesahan regulasi batas batas wilayah yang terjadi pada kasus 4 pulau ini, misalnya, lahir dari kebijakan privatisasi yang jelas-jelas merupakan kebijakan yang zalim yang hanya menguntungkan atau segelintir pihak saja.

Dikisahkah, Abyadh bin Hamal pernah menemui Rasulullah saw., meminta agar diberi tambang garam yang ada di Ma’rib. Lalu Rasul pun memberikannya. Ketika Abyadh pergi, salah seorang di majelis itu berkata, “Apakah Anda tahu yang Anda berikan kepadanya? Anda memberikannya (tambang yang seperti) air yang terus mengalir.” Kemudian Rasulullah saw. menarik kembali tambang itu dari Abyadh. (Lihat HR Abu Dawud)

Memang tidak ada dalam Al-Qur’an atau Al-Hadis tentang dalil sengketa pulau. Makanya terciptalah kaidah ushul fiqh “Hukum asal segala sesuatu adalah kebolehan/kemubahan, sampai ada dalil yang menunjukkan keharamannya”. 

Berangkat dari sana, perkara ini di-qiyash-kan dengan larangan mengambil hak milik orang lain termasuk tanah. Sebagaimana sabda Nabi saw.

“Siapa saja yang mengambil hak orang lain, walaupun hanya sejengkal tanah, nanti akan dikalungi tujuh lapis bumi (THR al-Bukhari dan Muslim).

“Wahai Abu Salamah hindarkanlah bertengkar dalam urusan tanah karena Nabi saw. pernah bersabda, ‘Siapa saja yang pernah berbuat aniaya sejengkal saja (dalam perkara tanah) maka nanti dia akan dibebani (dikalungkan pada lehernya) tanah dari tujuh lapis bumi’.” (THR. al-Bukhari).

Provinsi Aceh, seperti yang disampaikan Jusuf Kalla, terbentuk berdasarkan undang-undang sebagai kekuatan hukumnya. Sedangkan pihak yang hendak mengklaim empat pulau tersebut miliknya hanya memiliki Kepmendagri sebagai tameng. Padahal tidak diragukan lagi kekuatan Kepmendagri tidak mampu menyaingi undang-undang.

Lebih lanjut, selain mengawal jalannya syari’at, dalam Islam, fungsi kepala negara, juga mengurus urusan-urusan (dunia) rakyat. Artinya, kepala negara dalam Islam adalah pelayan rakyat. Bukan malah membuat kebijakan yang membawa derita bagi rakyat, apalagi mengambil untung dari proses melayani rakyat. Ini sebagaimana disebutkan dalam Kitab Al-Ahkaam ash-Shulthaaniyyah oleh Imam al-Mawardi. Pandangan ini juga diaminkan oleh Muhammad Yusuf Musa dalam bukunya, Nizâm al-Hukm fi al-Islâm.

Wallahu a’lam bish shawwab.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *