Kalau bicara soal Tragedi Mei 1998, ingatan kita biasanya langsung tertuju pada kerusuhan, penjarahan, dan runtuhnya rezim Orde Baru. Tapi ada satu bagian dari sejarah itu yang sering kali disisihkan, dibungkam, bahkan dianggap tidak pernah terjadi, yaitu kekerasan seksual terhadap perempuan, khususnya perempuan Tionghoa. Ini bukan sekadar tragedi kecil. Ini luka kolektif yang nyata, tapi sayangnya masih sering dilupakan atau lebih parah lagi, disangkal.
Baru-baru ini, Fadli Zon, menteri kebudayaan dan seorang politisi senior, kembali melontarkan pernyataan yang memicu amarah publik. Katanya, tidak ada pemerkosaan massal dalam Tragedi Mei 1998. Kalimat itu mungkin singkat, tapi dampaknya panjang. Bagi banyak orang, itu seperti menyiram air garam ke luka lama yang belum pernah sembuh. Bayangkan, setelah lebih dari dua dekade, korban belum juga mendapatkan keadilan, malah kenyataan mereka dipatahkan begitu saja.
Padahal, berbagai laporan dari Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF), organisasi non-pemerintah dan para aktivis HAM menunjukkan sebaliknya. Ada puluhan kesaksian yang bercerita tentang pemerkosaan, penyiksaan, bahkan pembunuhan yang dialami oleh para perempuan saat itu. Banyak dari mereka memilih diam karena trauma, rasa malu, atau takut dibalas. Namun, diam bukan berarti bohong. Mereka bukan tidak mau bicara, mereka tidak diberi ruang aman untuk bersuara.
Barangkali, kita ingat dengan sosok aktivis perempuan bernama Ita Martadinata. Dia aktif mendampingi korban kekerasan seksual pada Tragedi Mei 1998. Rencananya, Ita akan bersaksi di hadapan PBB. Namun, tiga hari sebelum keberangkatannya ke Amerika, Ita ditemukan tewas bersimbah darah di kamarnya. Meski kasus Ita dinyatakan sebagai perampokan biasa, namun banyak yang percaya bahwa apa yang menimpa Ita merupakan upaya untuk membungkam kebenaran. Ita bukan hanya korban tapi juga simbol perjuangan melawan ketidakadilan yang dialami oleh para perempuan saat itu.
Temuan Tim Gabungan Pencari Fakta peristiwa kerusuhan Mei 1998 mencatat ada 103 kasus pemerkosaan (1 meninggal), 26 kasus pemerkosaan dan penganiayaan (9 meninggal), 9 kasus pemerkosaan dan pembakaran (semua meninggal), serta 14 kasus pelecehan seksual (1 meninggal) di wilayah Jakarta dan sekitarnya. Peristiwa pemerkosaan massal juga terjadi di beberapa kota lain seperti Solo, Medan, Palembang, dan Surabaya. Hingga 3 Juli 1998 terhitung ada 16 kasus pemerkosaan yang terjadi di kota tersebut dan dilaporkan oleh Tim Relawan untuk Kemanusiaan.
Dalam ruang sunyi itulah gerakan perempuan muncul sebagai suara alternatif, bahkan suara perlawanan. Presiden BJ Habibie juga membentuk Komnas Perempuan pada bulan Oktober 1998 sebagai respons atas kekerasan seksual yang terjadi kepada para perempuan saat kerusuhan Mei 1998. Lantas, bagaimana bisa Menteri Kebudayaan Republik Indonesia menyangkal terjadinya pemerkosaan massal yang dialami oleh para perempuan Tionghoa pada Tragedi Mei 1998?
Pernyataan tersebut menciderai korban, menyakiti keluarga korban, dan menghina solidaritas masyarakat sipil yang bertahun-tahun memperjuangkan keadilan dan kemanusiaan. Jaringan Solidaritas Korban untuk Keadilan (JSKK) melalui aksi kamisan, Suara Ibu Peduli di Yayasan Jurnal Perempuan, dan berbagai aktivis perempuan bergerak untuk menolak melupakan. Mereka turun ke jalan, mendesak negara untuk mengakui, menyelidiki, dan memulihkan martabat korban. Mereka menolak penulisan sejarah yang tertutup dan manipulatif. Sejarah harus ditulis sesuai fakta yang terjadi. Karena pada Tragedi Mei 1998, mereka bukan cuma membela para perempuan yang jadi korban, tapi juga mempertaruhkan hak semua orang untuk tahu kebenaran.
Sayangnya, negara sepertinya lebih nyaman berdamai dengan versi sejarah yang steril dari rasa bersalah. Negara lebih suka menyebut “kerusuhan sosial” ketimbang “tragedi kemanusiaan”. Padahal, selama kekerasan seksual terus disembunyikan dari catatan sejarah, berarti kita sedang membangun bangsa di atas kebohongan. Sejarah tidak boleh disusun dari atas ke bawah oleh segelintir orang yang memilih lupa atas luka rakyat Indonesia.
Melawan lupa bukan hanya soal mengenang. Ini adalah perlawanan terhadap politik penghapusan. Dan perempuan yang tubuh dan suaranya sering dijadikan medan perang, justru menjadi garda terdepan dalam menjaga ingatan. Mereka menolak dihapus. Mereka menolak dianggap tidak pernah ada. Jadi, ketika ada yang bilang “tidak ada pemerkosaan massal”, kita harus tanya balik; yang tidak ada itu kekerasannya atau keberanian untuk mengakui?