Jejak Gus Dur dalam Penegakan Keadilan Ekologis

Jika…. ”Memuliakan manusia berarti memuliakan Penciptanya, menistakan dan merendahkan manusia, berarti merendahkan dan menistakan penciptanya” (Gus Dur).

Maka…. ”Memuliakan alam dan seluruh makhluk ciptaan-Nya berarti memuliakan penciptanya. Merusak dan menistakan alam dan seluruh makhluk ciptaan-Nya, berarti merusak dan menistakan Penciptanya”.

JIKA tak ada aral melintang, Jaringan GUSDURian akan mengadakan Konferensi Pemikiran Gus Dur (Abdurrahman Wahid) pada bulan Agustus 2025 nanti. Pilihan tema konferensinya adalah “Meneladani Gus Dur, Merawat Indonesia”.

Diturunkan dalam tiga topik, yaitu Agama dan Etika Sosial, Demokrasi dan Supremasi Sipil, serta Keadilan Ekologi/Lingkungan. Selama ini publik sangat mudah menemukan jejak kontribusi Gus Dur di topik pertama dan kedua, namun masih sedikit yang menguraikan jejaknya di topik ketiga yaitu, keadilan ekologi/lingkungan.

Meskipun, tentu saja, ketiga aspek tersebut sulit dipahami secara terpisah dari diri Gus Dur, sebab pengikat gagasan dan jiwa dasarnya masih sama, yakni menjunjung tinggi martabat kemanusiaan dan kehidupan makhluk ciptaan-Nya.

Pernyataan terkenal Gus Dur bahwa “yang lebih penting dari politik adalah kemanusiaan” mengandung makna bahwa nilai-nilai kemanusiaan, seperti kasih sayang, empati, dan keadilan, seharusnya menjadi landasan utama dalam setiap tindakan, termasuk dalam bidang politik.

Politik, yang sering kali identik dengan kekuasaan dan kepentingan, seharusnya tidak mengorbankan martabat dan kesejahteraan manusia beserta kehidupannya. Dengan landasan semacam ini, maka penting dudukan perspektif holistik dalam melihat tapak legacy keteladanan Gus Dur.

Sebab, baginya “guru spiritualitas saya ada realitas, dan guru realitas saya adalah spiritualitas.” Maka, meskipun Gus Dur berkiprah dan berkontribusi di berbagai ranah, baik pembaharuan pemikiran Islam, penegakan pilar demokrasi, pluralisme dan toleransi dan pembela keadilan ekologi/lingkungan, hakekat pesannya sama, melanjutkan profetisme (kenabian) dan transformasi sosial untuk mewujudkan keadilan sosial-ekologi.

Jejak Gus Dur dalam Isu Keadilan Ekologi-Lingkungan

Sependek hasil penelusuran penulis, setidaknya ada delapan situasi sejarah yang dapat dirujuk menjadi “bukti” kepedulian dan kontribusi Gus Dur terkait keadilan ekologi/lingkungan: Pertama, pelopor dan inspirator pembangunan berbasis maritim untuk kedaulatan SDA laut dan pesisir.

Pasca-dilantik sebagai Presiden ke-4, Gus Dur membuat terobosan penting dengan membentuk Departemen Eksplorasi Laut (DEL) beserta rincian tugas dan fungsinya melalui Keputusan Presiden Nomor 136 Tahun 1999 tanggal 10 November 1999 yang menjadi cikal bakal dari lahirnya Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) sekarang.

Disadari atau tidak kebijakan tersebut telah mendorong bangsa Indonesia menggali kembali potensi kehidupan di dunia maritim. Kelanjutannya adalah penyelenggaraan World Ocean Conference (WOC) di Manado di tahun 2009 yang bertujuan untuk menyatukan komitmen global dalam melestarikan sumber daya laut dan mengatasi dampak perubahan iklim terhadap ekosistem laut.

Selama jadi presiden, Gus Dur menerbitkan peraturan yang mendukung kejayaan maritim Indonesia, yakni Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 52 Tahun 1999 Tentang Konvensi Internasional tentang Tanggung Jawab Perdata untuk Kerusakan Akibat Pencemaran Minyak, Keppres Nomor 55/1999 tentang Perjanjian Kerjasama Indonesia dengan Jerman dalam Bidang Pelayaran, dan Keppres Nomor 178/1999 Tentang Ratifikasi Konvensi Hukum Laut PBB Tahun 1982 di Indonesia.

Selain itu, dalam berbagai kesempatan, Gus Dur mengingatkan pentingnya kedaulatan atas sumber daya laut. “Sebagian besar wilayah Indonesia adalah perairan laut, karena itu masyarakat kita seharusnya dapat hidup layak dari sumber daya alam yang tersedia di laut,” (Dalam satu seminar di tahun 1992).

Kedua, pendorong gagasan gerakan hijau (green movement) dalam partai politik. Gus Dur menjelaskan bahwa gerakan hijau murni untuk penyelamatan lingkungan, bukan gerakan politik untuk “menyerang” pemerintah, hal inilah yang membedakan dengan Partai Hijau yang ada di Barat.

Singkatnya, syarat partai politik hijau ada tiga: Pertama, harus bersifat kultural, bukan politis. Agenda tidak untuk merebut kekuasaan tetapi memastikan agenda hijau itu untuk kelestarian lingkungan.

Kedua, harus bicara tentang nilai-nilai lokal yang hidup, digali dari nilai-nilai lokal Nusantara atau living knowledge dengan koridor kebhinekaan. (Deklarasi Hijau Menyelamatkan Lingkungan Bersama Gus Dur, Bali, 2007).

Ketiga, hasil Deklarasi Hijau Tahun 2007 terdapat enam poin penting, di antaranya adalah meminta pemerintah memutus kontrak karya dengan perusahaan tambang migas dan non-migas di hutan dan kawasan lindung.

Berikutnya meminta pemerintah memberlakukan jeda tebang hutan (moratorium logging) hingga 20 tahun yang diikuti dengan restorasi kawasan hutan, serta mengkaji dan mencabut semua peraturan yang berpotensi merusak lingkungan dan sumber daya alam. Hal ini merupakan terobosan penting dan inspirasi bagi upaya cek ulang secara menyeluruh izin dan konsesi kehutanan secara nasional (audit perizinan).

Keempat, pelindung ekologi/lingkungan dengan mendorong koreksi kebijakan dan penolakan industri ekstraktif perusak sumber daya alam dan eksklusi rakyat, yakni PLTN Jateng dan pabrik kertas Sumatera tahun 2010, karena dianggap merusak lingkungan dan merugikan masyarakat sekitarnya.

Gus Dur juga terlibat dalam gerakan penolakan pembangunan pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN) Muria, Jepara, Jawa Tengah tahun 1994. Pasca-Orde Baru tumbang, bahkan setelah ia tak lagi menjabat sebagai presiden, Gus Dur tetap menyuarakan keberpihakannya terhadap gerakan lingkungan hidup.

Misalnya, sebulan setelah semburan lumpur Lapindo, Gus Dur berdialog dengan korban lumpur Lapindo di Porong, Sidoarjo. Selepas dialog, Gus Dur dengan tegas mengungkapkan bahwa Lapindo harus bertanggung jawab. Pasalnya, Lapindo melakukan pengeboran tanpa mengantongi Amdal (Antara News, 18/6/2006). Sehingga menyebabkan kerusakan ekologis dan merugikan rakyat di sekitarnya.

Kelima, mendapat gelar penghormatan tokoh pejuang lingkungan hidup dari Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) dalam acara Environmental Outlook 2010. Acara itu menghadirkan catatan awal tahun WALHI dan diskusi dengan tema “Indonesia Tanah Air Kita”.

Penghargaan WALHI diberikan kepada Gus Dur karena kiprahnya yang kongkrit dan serius dalam mendorong kebijakan berupa moratorium (penangguhan) tebang hutan demi kelestarian ekosistem dan aktivitas lainnya dalam mendorong kelestarian dan perlindungan alam di Indonesia.

Menurut Gus Dur moratorium penebangan hutan perlu diupayakan karena sebagaimana manusia, hutan yang merupakan paru-paru dunia juga membutuhkan waktu untuk melakukan restorasi, jeda untuk bernapas sebagaimana manusia yang membutuhkan istirahat setelah beraktivitas.

Restorasi hutan membutuhkan waktu yang tidak hanya sebentar untuk dapat memulihkan hutan alam, ekosistem rawa gambut dan kawasan ekosistem esensial lainnya. Agar hutan di Indonesia bisa tetap lestari dan tidak berkurang kebermanfaatannya, maka, penting kebijakan moratorium untuk ada jeda waktu sebelum penebangan kembali.

Keenam, penganjur “Land Reform” untuk keadilan ekologi, kedaulatan agraria, dan keadilan untuk rakyat kecil. Gus Dur, saat masih menjabat sebagai presiden, membuat sebuah pernyataan yang begitu kontroversial dan mengganggu perusahaan perkebunan yakni: “40 persen tanah-tanah perkebunan dahulunya hasil mencuri tanah-tanah rakyat” (Dikutip di awal tahun 2001 oleh Majalah Gerbang).

Oleh karenanya, ketika Hak Guna Usaha (HGU) perkebunan telah habis, maka Gus Dur menyerukan agar tanah tersebut hendaknya dibagikan kembali kepada rakyat. Tentu statement Gus Dur ini bukan tanpa data. Secara historis, tanah perkebunan-perkebunan yang saat ini dikuasai oleh PTPN atau BUMN, adalah bagian dari tanah bekas perusahaan-perusahaan Hindia Belanda.

Sudah barang tentu, tanah-tanah ini dulunya adalah milik rakyat yang dirampas begitu saja tanpa adanya proses ganti rugi (istibdal).

Ketujuh, Pendorong lahirnya Tap MPR IX/2001, Pembaruan Agraria dan Pengelolaan SDA (PAPSDA) yang lahir sebagai respons atas desakan dua kelompok gerakan sosial yaitu gerakan reforma agraria dan ekologi/lingkungan yang muncul di Orde Baru.

Tujuannya untuk menyelesaikan masalah konflik sosial-agraria, kerusakan lingkungan, ketimpangan struktural dan ketidakadilan sosial-ekologis. TAP MPR ini juga hendak memberikan dasar dan arah bagi pembaruan agraria dan pengelolaan sumber daya alam, termasuk penataan kembali penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan sumber-sumber agraria dan SDA.

Di sisi lain, PAPSDA ini juga menjadi ‘muara’ penting dari ‘bersatunya’ gerakan lingkungan dan agraria di Indonesia, yang sebelumnya sering “berjalan sendiri-sendiri”.

Kedelapan, pengembangan pendidikan Islam berwawasan lingkungan hidup. Menurut Gus Dur, hal penting yang harus diterima sebagai kenyataan hidup kaum Muslimin di beragam wilayah adalah respons umat Islam terhadap “tantangan modernisasi”, yaitu tantangan masalah pengentasan kemiskinan, pelestarian lingkungan hidup, dan sebagainya.

Hal ini patut menjadi renungan secara mendalam dalam pengembangkan dunia pendidikan Islam di masa depan. Ujung akhirnya adalah diperlukan jawaban yang benar atas pernyataan berikut: bagaimanakah caranya membuat kesadaran struktural sebagai bagian alamiah dari perkembangan pendidikan Islam? (Kedaulatan Rakyat, 2002).

Pada tahun 2007, Gus Dur menginisiasi dan menghadiri acara penanaman 999 pohon Jati Mas di Pondok Pesantren Al-Falakiyah Pagentongan Bogor. Di depan ratusan santri dan undangan yang menghadiri acara tersebut Gus Dur menyampaikan pesan “Indonesia membutuhkan strategi penyelamatan lingkungan hidup yang dapat dijalankan seluruh rakyat secara bersama-sama dan berkesinambungan”.

Hal ini menjadi salah satu dasar komitmen Gus Dur untuk mengembangkan pendidikan Islam yang berwawasan lingkungan hidup hingga akhir hayatnya.

Humanisme Ekologis, Titik Sambung Gus Dur dan Isu Lingkungan

Bagaimana memahami seorang kiai dan ulama Islam seperti Gus Dur mampu memberi teladan dalam penegakan keadilan ekologi/lingkungan? Berlandaskan sedimentasi sembilan nilai Gus Dur yang telah menjadi pondasi bagi pelanjutan dan pengembangan perjuangannya, yakni ketauhidan, kemanusiaan, keadilan, kesetaraan, pembebasan, kesederhanaan, persaudaraan, kekesatriaan, dan kearifan lokal (Ridwan, 2029) dan penjelasannya, dapat dipetik setidaknya tiga nilai yang terkait erat dengan isu keadilan ekologi/lingkungan yakni: prinsip keadilan, kemanusiaan, dan kearifan lokal/tradisi.

Sebagai seorang kiai dan ulama Islam, Gus Dur sangat paham kedudukan konsep keadilan dalam Islam yang dijunjung sangat tinggi. Banyak sekali ayat-ayat dalam Qur’an yang memerintahkan untuk berbuat adil dalam segala aspek kehidupan, baik secara hubungn pribadi, sosial, ekonomi, politik dan ekologi/lingkungan (QS. An Nahl: 90).

Keadilan dalam Islam tidak hanya berarti memberikan hak kepada yang berhak, tetapi juga menempatkan segala sesuatu pada tempatnya yang benar, tidak hidup berlebih-lebihan untuk diri sendiri serta menjunjung tinggi kesetaraan dan keseimbangan. Jelas hal ini sejalan dengan tujuan dari prinsip keberlanjutan dan kelestarian lingkungan untuk mencegah keserakahan yang menjadi penyebab kerusakan dan bencana ekologi.

Aspek kemanusiaan yang dijunjung tinggi Gus Dur, bukan semata pengakuan kedaulatan manusia seutuhnya, namun juga memastikan pendukung kehidupan manusia dapat dilindungi dan dijaga. Sebab, penghayatan spiritual atas eksistensi manusia, akan tiba pada kenyataan bahwa manusia adalah bagian integral dari alam semesta.

Menjaga dan melindungi manusia pada hakikatnya adalah menjaga kehidupan alam semesta. Tepat di titik inilah, aspek ketiga menjadi kontekstual, yakni kearifan lokal dan tradisi. Sulit menjelaskan dimensi keadilan dan kemanusian tanpa penghormatan yang utuh ada dimensi budaya dan tradisi.

Sebab, dalam diri setiap manusia terkandung unsur alam dan unsur kebudayaan (Rendra, Merenungkan Daulat Manusia, 2000). Bagi Gus Dur, sebagaimana dihayati dalam tradisi Nahdlatul Ulama (NU), organisasi yang pernah dipimpinnya cukup lama (1984-1999), tanpa jangkar kearifan budaya dan tradisi yang kokoh, manusia akan mudah tercerabut dan terombang-ambing dalam alunan gendang peradaban bangsa lain.

Keterpaduan antara prinsip keadilan, kemanusiaan, dan kearifan lokal/tradisi yang terhubung dengan eksistensi manusia sebagai bagian integral dari alam, bukan entitas yang terpisah dan superior, menunjukkan Gus Dur sebenarnya lebih pas disebut sebagai humanisme ekologis. Hal ini berarti bahwa tindakan manusia harus mempertimbangkan keseimbangan ekosistem dan keberlanjutan lingkungan.

Kesadaran di “maqom” (level) semacam ini umumnya dilandasi oleh gagasan yang mengusulkan pergeseran paradigma etika dari yang berpusat pada manusia (antroposentris) ke etika yang berpusat pada ekosistem (ekosentris). Maka, manusia harus memandang dirinya sebagai bagian dari komunitas tanah (land community), bukan sebagai penguasa atasnya, dan memiliki tanggung jawab moral terhadap kesehatan dan integritas ekosistem (The Land Ethic; Leopold, 1945).

Manifestasi perjuangan keadilan ekologi/lingkungan Gus Dur sangat mungkin juga diilhami dari dari dasar-dasar nilai dalam Ahlu Sunnah Wal Jama’ah (ASWAJA) yang telah diwarisi dari tradisi keluarganya, yang secara tegas menjalankan prinsip tawazun (seimbang), amar ma’ruf nahi munkar, tegak lurus (i’tidal), dan tasamuh (toleransi)] yang dapat diperluas artinya bukan semata untuk manusia, tapi juga untuk alam semesta.

Selain itu, seorang ulama Islam, Gus Dur tak mungkin mengabaikan juga epistemologi Hukum Islam (Maqasid Syariah) yang tidak hanya untuk untuk lima hal. Kelima hal tersebut yakni menjaga agama (hifdzu ad-din), menjaga jiwa (hifdzu an-nafs), menjaga akal (hifdzu al-‘aql), menjaga keturunan (hifdzu an-nasl), dan menjaga harta (hifdzu al-maal), serta menjaga lingkungan (hifdz al-bi’ah).

Meskipun pada dasarnya implementasi menjaga keturunan (hifz an-nasl) juga berarti menjaga lingkungan hidup yang baik akan memberikan dampak positif bagi generasi mendatang, memastikan kelangsungan hidup dan kesejahteraan mereka dalam jangka panjang.

Makna lebih progresif prinsip ASWAJA ini akan semakin kuat jika diberikan perspektif materialisme historis, misalnya, prinsip keseimbangan dan larangan untuk hidup berlebihan, dapat ditafsirkan lebih ideologis menjadi sikap anti kapitalisme dan neoliberalisme atas alam (Menuju Aswaja, Materialis: Fajar, 2021).

Yang paling jelas, Gus Dur pasti sangat mengerti bahwa tujuan akhir moral-etik seorang Muslim adalah menjadi rahmat bagi semesta alam (Islam rahmatan lil alamin).

Relevansi Legacy Gus Dur dan Keadilan Ekologi/Lingkungan

Setidaknya ada tiga hal relevansi dan urgensi merenungkan kembali tapak legacy Gus Dur dalam memperjuangkan keadilan ekologi/lingkungan di Indonesia.

Pertama, gelombang kesadaran lingkungan global yang semakin niscaya menuntut semua entitas sosial, kelompok masyarakat, termasuk kelompok agamawan turut serta terlibat nyata dalam perjuangan keadilan sosial-ekologis.

Kedua, krisis sosial ekologis dan bencana ekosistem yang makin parah, buruk dan meluas di Nusantara. Kebijakan pembangunan dengan jargon Proyek Strategis Nasional (PSN) seolah menjadi sumbu hulu ledak konflik struktural agraria, perampasan hak dasar rakyat, dan perusakan ekosistem secara sistematis dan brutal.

Bahkan akhir-akhir ini, tutup mata atas warisan kemolekan dan kelestarian pulau-pulau kecil Nusantara, seperti, Pulau Raja Ampat di Papua, Pulau Obi dan Teluk Buli di Halmahera, dan lain-lain.

Ketiga, semakin kuatnya kelindan antara kelompok agama dengan kekuasaan dan rezim perusak lingkungan, terutama rezim tambang. Sejak ormas keagamaan menerima izin dan konsesi tambang 2024 lalu, semakin kuat potensi politisasi dan komodifikasi agama untuk tujuan politik dan ekonomi kekuasaan.

Dengan cara menggunakan klaim “kebenaran atas nama panji-panji suci agama” untuk justifikasi atau legitimasi kebijakan pembangunan yang mendorong percepatan perampasan ruang hidup rakyat, perusakan ekosistem dan penciptaan ketidakadilan ekologis/lingkungan (holy grabbing).

Apa yang akan dilakukan Gus Dur jika masih hidup hari ini melihat ragam krisis sosial-ekologis tersebut? Wa’allahu a’lam bisshowab. Yang jelas, menelusuri ulang sikap keteladanan Gus Dur dalam perjuangan keadilan ekologis tak boleh berhenti semata pada gagasan dan pemikirannya, tetapi juga kepemihakannya pada kelompok marginal, tertindas, korban ketidakadilan dan kaum papa, serta keberanian sikap moral-etiknya, bahkan juga pengorbanannya.

Jika dengan meneladani dan mengikuti jejak keteladanan Gus Dur dalam penegakan keadilan ekologis dan lingkungan harus disebut “Wahabi Lingkungan”, saya berdoa, mudah-mudahan saya bagian dari “santri penerusnya”. Amien.



_______________________________________
Tulisan ini pertama kali dimuat di sindonews.com pada 18 Juni 2025.

Mahasiswa Doktoral Sosiologi Pedesaan IPB University dan Peneliti Sajogyo Institute.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *