“Yang lebih penting dari politik adalah kemanusiaan—Gus Dur”
Momentum Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) akan dilaksanakan pada 27 November 2024. Sebanyak 37 provinsi akan melakukan pemilihan gubernur dan wakil gubernur, serta 508 kabupaten/kota akan melakukan pemilihan bupati dan wakil bupati atau walikota dan wakil walikota. KPU RI menyebutkan sebanyak 1.553 pasangan calon sudah ditetapkan untuk bertarung dalam gelanggang Pilkada Serentak 2024 dengan rincian 103 pasangan calon gubernur dan wakil gubernur, 1.166 pasangan calon bupati dan wakil bupati, dan 284 calon walikota dan wakil walikota.
Melihat dari jumlah keseluruhan pasangan calon yang akan memperebutkan kekuasaan relatif besar, baik tingkat provinsi maupun kabupaten/kota, tentu akan menjadi tantangan ekstrem dalam Pilkada 2024. Ini disebabkan begitu besar beban biaya (cost politic) untuk meraih perolehan suara demi memenangkan pertarungan.
Betapa amat penting mencermati tantangan yang akan menghambat proses transisi kekuasaan di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota agar dapat meminimalisasi potensi pelanggaran dan kecurangan Pilkada 2024. Sebagai bagian dari warga negara, penulis berupaya untuk melihat seberapa besar efek domino yang akan ditimbulkan pada gelaran Pilkada dengan bertolak pada money politic (politik uang) yang potensial dapat mencederai etika berdemokrasi dan moral kebangsaan.
Politik uang juga membawa praktik ketidakadilan dan korupsi. Ketika paslon yang menggunakan politik uang terpilih, kebijakan dan kekuasaannya akan cenderung korup serta abuse of power sehingga kepentingan masyarakat tidak menjadi prioritas, dan justru malah akan mengakomodasi kepentingan kelompok maupun pribadinya.
Pengertian Politik Uang (Money Politic)
Menurut Miriam Budiardjo (2008), money politic merupakan bentuk korupsi yang merusak prinsip demokrasi dan keadilan dalam pemilihan umum. William L. Miller (2008) menjelaskan bahwa politik uang adalah penggunaan uang atau imbalan untuk memengaruhi hasil pemilihan. Miller menekankan bahwa praktik ini sering kali melibatkan pembelian suara secara langsung yang berdampak negatif terhadap kualitas demokrasi.
Selain itu, pengertian yang serupa juga dijelaskan oleh Daniel Smilov (2014), bahwa money politic merupakan strategi yang digunakan kandidat untuk mengamankan suara dengan cara memberikan imbalan finansial. Hal ini menciptakan ketidakadilan dalam proses pemilihan dan mencederai kepercayaan publik terhadap hasil pemilihan, serta akan sangat memengaruhi kebijakan publik. Dalam artikel “Political Corruption and Democracy” yang ditulis oleh Martha C. Nussbaum (2015) menjelaskan bahwa money politic merusak kepercayaan masyarakat terhadap sistem politik. Nussbaum mengkritik penggunaan uang sebagai alat untuk memanipulasi pilihan pemilih dan menciptakan ketidaksetaraan dalam partisipasi politik.
Dari pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa money politic atau politik uang merupakan praktik korup yang merusak prinsip-prinsip demokrasi dengan memanfaatkan imbalan finansial untuk memengaruhi pilihan pemilih. Hal ini menimbulkan tantangan serius terhadap integritas proses dan hasil pemilihan.
Mengenali Cara Kerja Money Politic
Menghadapi momen Pilkada 2024, tentu pasangan calon menghalalkan segala cara untuk meraup suara pemilih sebesar-besarnya agar memenangkan kontestasi. Termasuk menggunakan politik uang sebagai bagian dari strategi kemenangan. Bagi pasangan calon yang memiliki capital yang besar tetapi minim prestasi, maka cara ini akan dilakukannya (politik uang) untuk mencitrakan dirinya demi meningkatkan elektabilitas sehingga pemilih (voters) menjadi ketergantungan terhadap pasangan calon tersebut untuk kebutuhan hidup dalam jangka pendek.
Penting kiranya mengenali cara kerja politik uang agar kita sebagai pemilih tetap merawat prinsip demokrasi sehingga hasil pemilihan dapat menentukan kualitas pemimpin yang mengedepankan kepentingan masyarakat di atas kepentingan kelompok maupun pribadi. Money politic dalam pemilihan seringkali melibatkan tindakan sistematis dari paslon dan tim sukses untuk mendulang suara.
Pertama, penggunaan uang untuk membeli suara. Paslon yang terlibat dalam politik uang sering kali memberikan imbalan finansial langsung kepada pemilih, baik dalam bentuk barang maupun uang tunai. Hal ini biasanya dilakukan menjelang hari pemilihan untuk memastikan pemilih tidak berpaling atas pilihannya. Menurut penelitian Siahaan (2020), ini adalah metode paling umum yang digunakan untuk memengaruhi keputusan pemilih.
Kedua, janji pemberian pascapemilihan. Paslon sering kali menjanjikan proyek atau bantuan sosial setelah terpilih. Menurut Halim A. (2021), ini dilakukan untuk menciptakan loyalitas pemilih. Misalnya, paslon menjanjikan pembangunan infrastruktur atau pemberian bantuan langsung kepada masyarakat jika terpilih yang dapat meningkatkan dukungan mereka.
Ketiga, penggunaan tim sukses dan relawan. Menurut Rosyid (2019), biasanya paslon memanfaatkan tim sukses dan relawan untuk melakukan pendekatan langsung kepada pemilih. Mereka sering kali dibekali pengetahuan khusus untuk mempengaruhi pemilih dengan menawarkan imbalan dan menjelaskan benefit yang akan didapatkannya jika memilih paslon tersebut. Hal ini dilakukan untuk memperluas jangkauan kepada pemilih dengan pendekatan efektivitas praktik politik uang.
Keempat, manipulasi data dan informasi. Nugroho (2022) menjelaskan bahwa praktik politik uang juga dapat melibatkan manipulasi informasi. Paslon dapat membayar untuk penyebaran berita positif tentang diri mereka atau menyebar berita negatif terhadap lawan politiknya sehingga mempengaruhi persepsi pemilih. Ini sering dilakukan melalui media sosial dan platform digital lainnya.
Kelima, penerapan strategi kampanye berbasis komunitas (community based approach). Menurut Putra (2023), paslon dapat menggunakan pendekatan berbasis komunitas untuk mengorganisir pertemuan dan acara yang dirancang untuk memberikan imbalan kepada peserta (pemilih), baik secara langsung maupun tidak langsung. Ini membantu menciptakan dukungan masyarakat yang lebih besar melalui rasa kebersamaan (permainan psikologis).
Cara di atas merupakan mekanisme sistematis dalam melancarkan praktik politik uang untuk memenangkan pemilihan. Kendati demikian, sebagai pemilih wajib untuk mengambil peran aktif (subjek politik) dalam meningkatkan kesadaran politik masyarakat berbasis kebutuhan jangka panjang seluruh elemen masyarakat, termasuk stabilitas ekonomi dan politik, lingkungan hidup yang sehat, tata kelola pemerintahan dan birokrasi yang akuntabel serta transparan, pendidikan inklusif, mitigasi bencana, pemanfaatan teknologi dan ilmu pengetahuan based on human resource development, dan sebagainya. Ini merupakan tanggung jawab kolektif untuk menciptakan iklim demokrasi yang sehat, berkeadilan, transparan dan akuntabel serta berintegritas.
Pandangan Gus Dur Terhadap Money Politic
Abdurrahman Wahid atau akrab disapa Gus Dur, memiliki pandangan yang kuat terhadap praktik money politic yang ia anggap sebagai ancaman serius bagi demokrasi dan integritas politik di Indonesia. Gus Dur berpendapat bahwa politik uang merusak tatanan masyarakat yang seharusnya dibangun berdasarkan keadilan, partisipasi, dan integritas (Nugroho, 2010).
Gus Dur menekankan bahwa politik seharusnya didasari oleh etika dan moralitas. Menurutnya, money politic adalah bentuk korupsi yang menghilangkan kepercayaan masyarakat terhadap sistem politik. Dalam pandangannya, penggunaan uang untuk membeli suara menciptakan ketidakadilan, di mana kekuasaan dipegang oleh mereka yang memiliki sumber daya finansial.
Selain itu, Gus Dur percaya bahwa praktik money politic dapat menurunkan partisipasi masyarakat dalam proses politik. Ketika pemilih merasa suara mereka dapat dibeli, mereka menjadi apatis dan kehilangan minat untuk berpartisipasi dalam pemilihan umum. Hal ini menciptakan kondisi di mana hanya suara-suara tertentu yang terdengar sehingga prinsip demokrasi yang mendasarkan diri pada kesetaraan suara menjadi rusak.
Gus Dur juga menunjukan bahwa money politic merusak legitimasi dari pemimpin yang terpilih. Jika seorang calon menang melalui praktik korupsi (politik uang), ia tidak akan memiliki legitimasi moral untuk memimpin. Ini menciptakan pemerintahan yang tidak akuntabel, transparan dan responsif terhadap kebutuhan masyarakat dan lebih condong kepada kepentingan kelompok tertentu atau kepentingan pribadi (Husni, 2019).
Dengan demikian, Gus Dur memandang money politic sebagai praktik yang merusak prinsip-prinsip demokrasi dan keadilan. Pentingnya etika politik dan partisipasi publik dalam menciptakan sistem yang demokratis dan responsif. Oleh karena itu, pencegahan praktik korup seperti ini politik uang sangat penting dilakukan untuk menjaga integritas demokrasi dan kualitas hasil pemilihan.
Urgensi Pencegahan Money Politic dalam Pilkada 2024
Tentunya dalam momentum Pilkada yang akan digelar pada 27 November 2024, menghasilkan dua hal. Apakah akan membawa berkah bagi masyarakat atau justru menjadi malapetaka untuk masyarakat. Karena sangat potensial politik uang dilakukan oleh paslon untuk memenangkan pemilihan, baik Pilgub atau Pilbup/Pilwalkot.
Ketika ingin melihat malapetaka datang, maka bersikap apatislah yang dipilih. Tetapi jika kita sadar akan kebutuhan masyarakat, seharusnya kita terlibat mengambil peran untuk meningkatkan kesadaran politik kepada pemilih agar mendatangkan keberkahan baginya.
Pencegahan money politic sangat penting dilakukan untuk menjaga integritas proses demokrasi. Praktik money politic sesungguhnya merusak prinsip dasar pemilihan yang jujur dan adil. Karena dapat membuat pemilih kehilangan kepercayaan terhadap sistem demokrasi yang pada akhirnya berdampak negatif terhadap legitimasi pemimpin yang terpilih.
Money politic cenderung menghasilkan pemimpin yang tidak kompeten dan berkualitas. Calon yang menggunakan praktik ini lebih fokus pada pengembalian investasi yang telah dikeluarkannya selama proses pemilihan sehingga kepentingan publik menjadi terabaikan. Oleh sebab itu, pemimpin yang terpilih dengan cara politik uang cenderung lebih korup dan tidak responsif terhadap kebutuhan masyarakat, baik jangka pendek maupun jangka panjang.
Selain itu, ketika masyarakat merasa bahwa suara mereka dapat dibeli maka partisipasi pemilihan akan menurun. Pencegahan money politic penting untuk mendorong keterlibatan masyarakat yang aktif dan sadar politik sehingga menciptakan pemilih cerdas dan rasional berdasarkan kebutuhan masyarakat dan kepentingan umum.
Lainnya, praktik money politic dapat menimbulkan ketidakpuasan di kalangan masyarakat yang berpotensi menyebabkan konflik sosial. Stabilitas sosial sangat bergantung pada legitimasi pemimpin yang dipilih secara adil dan transparan.
Sekurang-kurangnya terdapat enam hal yang mesti kita lakukan untuk mencegah dan meminimalisasi praktik money politic dalam menghadapi Pilkada 2024. Pertama, mengedukasi masyarakat mengenai dampak buruk money politik dan pentingnya suara pemilih terhadap pembangunan daerah dengan kampanye edukasi melalui seminar, workshop, dan media sosial.
Kedua, memperkuat undang-undang yang mengatur kampanye politik termasuk sanksi tegas untuk pelanggaran money politic dan mengatur tindakan lebih lanjut terhadap aktor yang melakukan praktik tersebut. Ketiga, melakukan pemantauan dan pengawasan sehingga ketika menemukan pelanggaran pemilihan seperti money politic melaporkannya kepada Bawaslu atau institusi lainnya yang berwenang.
Keempat, paslon diwajibkan untuk melaporkan sumber dan penggunaan dana kampanye secara transparan dan masyarakat perlu memiliki akses ke informasi ini dalam melakukan pengawasan secara mandiri agar mengetahui kucuran dana yang masuk dan dana kampanye yang dikeluarkan oleh paslon diperuntukkan untuk apa. Kelima, mendorong keterlibatan masyarakat dalam proses pemilihan seperti membuka seluas-luasnya forum diskusi lintas komunitas dan menjaring koneksi masyarakat sipil untuk meningkatkan kesadaran akan praktik bahaya money politic.
Dan terakhir, penting disadari bahwa money politic dalam Pilkada 2024 bukan hanya inisiatif dari paslon tetapi juga parpol senantiasa mendorong calon melakukan praktik demikian. Oleh karena itu, parpol harus bersepakat dan berkomitmen untuk tidak melakukan politik uang (mengedepankan etika politik dan moral kebangsaan) dan memberikan penyadaran kepada paslon yang diusung beserta kader partainya agar tidak menjadikan money politic sebagai tradisi dan kebiasaan yang selama ini kerap ditemui dalam perhelatan pilkada maupun pemilu.
Dengan demikian, harapan kita semua money politic dapat diminimalkan dan pemilihan yang adil dan transparan dapat terwujud. Sebagai refleksi kita bersama, penulis teringat ungkapan Gus Dur bahwa tidak ada jabatan yang perlu dipertahankan mati-matian, dan yang lebih penting dari politik adalah kemanusiaan. Semoga pesan dan keteladanan Gus Dur senantiasa mengilhami kita dalam upaya memanusiakan manusia.
________________________________________________________
Referensi
Budiardjo, Miriam. (2008). Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama Miller, William L. (2008). The Dynamics of Political Corruption. New York: Routledge
Nugroho, A. (2010). Gus Dur dan Pemikiran Politiknya. Jurnal Pemikiran dan Politik. 5 (1). 17-30
Smilov, Daniel. (2014). Money in Politics: A Comparative Perspective. London: Routledge
Nussbaum, Martha C. (2015). Political Corruption and Democracy. Journal of Democracy. 26 (4). 56-69
Rosyid, M. (2019). Edukasi Pemilih untuk Mencegah Money Politic di Era Digital. Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan. 5 (3). 99-112
Husni, H. (2019). Dampak Money Politic terhadap Demokrasi di Indonesia. Jurnal Ilmu Sosial dan Humaniora. 3 (2). 45-58
Siahaan, H. (2020). Dampak Money Politic Terhadap Pemilih di Indonesia. Jurnal Ilmu Politik. 14 (2). 123-145
Halim, A. (2021). Pengawasan Pemilu: Mencegah Money Politic dalam Pilkada. Jurnal Hukum dan Politik. 10 (1). 45-60
Nugroho, Y. (2022). Media Sosial dan Money Politics dalam Pemilu. Jurnal Komunikasi. 8 (2). 73-85
Putra, F. (2023). Strategi Kampanye dalam Konteks Money Politics. Jurnal Politik dan Kebijakan. 11 (1). 21-34