Politik uang (money politic) telah menjadi momok dalam sistem demokrasi di berbagai belahan dunia, termasuk di Indonesia. Pada Pilkada 2024 mendatang, ancaman ini berpotensi semakin merusak integritas demokrasi kita. Gus Dur, sebagai tokoh pluralisme dan demokrasi, pernah berpesan, “Kita tidak boleh membangun bangsa ini dengan cara-cara yang tidak bermoral.” Gus Dur mengingatkan pentingnya menjaga demokrasi dari praktik koruptif seperti politik uang. Tulisan ini akan membahas bahayanya politik uang, sejarahnya di dunia, praktik baik di negara lain, serta bagaimana nilai-nilai Gus Dur dapat menjadi landasan untuk melawannya.
Bahaya Politik Uang dalam Pilkada 2024
Politik uang menciptakan demokrasi semu, di mana hasil pemilu lebih ditentukan oleh uang daripada suara rakyat. Bahayanya tidak hanya merusak proses pemilu, tetapi juga menghasilkan pemimpin yang lebih peduli pada sponsor daripada rakyat. Dalam pilkada, politik uang sering digunakan untuk membeli suara, memengaruhi panitia pemilu, atau melancarkan kampanye hitam (black campaign). Akibatnya, pemilih tidak lagi memilih berdasarkan visi, misi, atau kompetensi kandidat, tetapi tergoda oleh keuntungan instan.
Kondisi ini menciptakan siklus korupsi. Kandidat yang terpilih melalui politik uang akan merasa berhutang budi pada sponsor dan mengembalikan “modal” dengan kebijakan yang tidak berpihak pada rakyat. Demokrasi menjadi alat oligarki dan rakyat kehilangan kepercayaan pada sistem pemilu.
Sejarah Politik Uang di Dunia
Praktik politik uang (money politic) bukanlah fenomena baru. Dalam sejarah Yunani kuno, pemimpin sering menggunakan kekayaan mereka untuk membeli loyalitas. Di Roma kuno, clientele—hubungan patron-klien—memungkinkan para pemimpin politik mendapatkan dukungan rakyat dengan imbalan bantuan ekonomi atau perlindungan.
Di era modern, politik uang merebak dalam bentuk yang lebih terselubung. Skandal Watergate (Watergate Scandal) di Amerika Serikat pada 1970-an, misalnya, menunjukkan bagaimana dana politik ilegal dapat digunakan untuk memanipulasi pemilu. Skandal Watergate adalah salah satu skandal politik terbesar dalam sejarah Amerika Serikat yang berujung pada pengunduran diri Presiden Richard Nixon pada tahun 1974.
Skandal ini terkait dengan penyalahgunaan kekuasaan, spionase politik, dan upaya menutupi tindakan ilegal oleh pejabat tinggi pemerintahan Nixon. Sedangkan di Asia Tenggara, politik uang menjadi masalah struktural, termasuk di negara-negara seperti Filipina, Thailand, dan Indonesia, di mana praktik ini sering didorong oleh ketimpangan ekonomi dan lemahnya penegakan hukum.
Praktik Baik Anti-Politik Uang di Negara-Negara Lain
Beberapa negara telah berhasil mengurangi politik uang dengan menerapkan regulasi ketat dan pendekatan berbasis masyarakat. Di Finlandia, transparansi menjadi kunci. Setiap donasi politik harus dilaporkan secara rinci, dan ada batas maksimal dana kampanye.
Di Korea Selatan, pendidikan pemilih dilakukan secara masif melalui lembaga independen, mengajarkan pentingnya memilih berdasarkan program, bukan uang. Pendekatan berbasis komunitas di Uganda juga patut dicontoh. Di sana, organisasi masyarakat sipil bekerja sama dengan pemerintah untuk mengedukasi pemilih dan memantau pemilu.
Indonesia dapat mengambil pelajaran dari negara-negara ini dengan memperkuat transparansi pendanaan kampanye, mendukung pendidikan politik, dan melibatkan masyarakat dalam pengawasan.
Analisis dalam Bingkai 9 Nilai Gus Dur
Nilai-nilai Gus Dur dapat menjadi panduan moral untuk memerangi politik uang:
1. Ketauhidan: Politik uang bertentangan dengan nilai ketauhidan yang menempatkan Allah atau Tuhan sebagai sumber kekuasaan tertinggi. Memanipulasi pemilu demi kepentingan duniawi menunjukkan pengingkaran terhadap nilai spiritual ini.
2. Kemanusiaan: Politik uang merendahkan martabat manusia, menjadikan mereka objek transaksi. Demokrasi sejati harus memuliakan manusia sebagai subjek yang bebas menentukan pilihannya.
3. Keadilan: Ketidakadilan sistemik muncul ketika politik uang memungkinkan hanya kandidat kaya yang dapat berkompetisi, mengabaikan prinsip keadilan sosial yang harus ditegakkan.
4. Kesetaraan: Politik uang menciptakan ketimpangan, di mana suara rakyat miskin lebih rentan dimanipulasi, merusak semangat kesetaraan yang dijunjung tinggi dalam demokrasi.
5. Pembebasan: Masyarakat harus dibebaskan dari tekanan ekonomi yang membuat mereka terpaksa menerima politik uang. Pembebasan ini membutuhkan pemberdayaan melalui pendidikan dan akses ekonomi yang adil.
6. Kesederhanaan: Gus Dur mengajarkan bahwa seorang pemimpin harus sederhana, melayani dengan hati, dan tidak mengandalkan kekayaan untuk meraih kekuasaan.
7. Persaudaraan: Politik uang memecah belah masyarakat dengan membangun relasi transaksional yang tidak tulus. Persaudaraan sejati hanya dapat terwujud jika demokrasi dijalankan dengan nilai kejujuran dan kebersamaan.
8. Kekesatriaan: Memerangi politik uang memerlukan keberanian dan ketegasan. Penyelenggara pemilu, kandidat, dan masyarakat harus memiliki sikap ksatria untuk melawan godaan dan ancaman yang muncul dari praktik ini.
9. Kearifan Tradisi: Budaya lokal yang menjunjung nilai gotong royong dan kejujuran dapat dijadikan inspirasi untuk memperkuat integritas demokrasi. Politik uang justru merusak kearifan ini dengan menggantinya dengan budaya materialistis.
Kesimpulan dan Rekomendasi
Mengikis politik uang membutuhkan usaha kolektif. Pemerintah harus memperkuat regulasi dan transparansi dana kampanye, sementara masyarakat sipil perlu mengambil peran aktif dalam pendidikan politik dan pengawasan pemilu. Menjadikan nilai-nilai Gus Dur sebagai landasan, kita dapat membangun demokrasi bermartabat yang jauh dari praktik korup.
Sebagaimana Gus Dur pernah berkata, “Kita butuh pemimpin yang mendengar suara rakyat, bukan yang mendengar suara uang.” Melalui refleksi dan tindakan, kita dapat mewujudkan demokrasi sejati yang berorientasi pada keadilan dan kemanusiaan.