Kasus Supriyani tampaknya sudah di tahap akhir. Ibu guru honorer di SD Negeri Baito Kabupaten Konawe Selatan yang dituduh melakukan penganiayaan kepada anak didiknya ini dituntut bebas oleh jaksa penuntut umum.
Dalam kasus Supriyani, banyak faktor ikut membumbui sehingga mencuat di media sosial. Penuntutnya, sang wali murid, adalah seorang pejabat kepolisian. Polisi menyarankan keadilan restoratif, dengan nominal Rp 50 juta sebagai tanda damai. Oknum polisi pun diperiksa. Camat Baito dan bupati pun terseret pusaran kasus.
Tetapi, kasus ini bukan lagi hal langka. Tahun 2024 menunjukkan realitas kelam atas banyaknya kasus kekerasan dalam ekosistem pendidikan kita. Bentuknya beragam: antarmurid, guru terhadap murid, murid terhadap guru, juga orangtua terhadap guru.
Data Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) sejak Januari 2024, sebanyak 144 anak menjadi korban kekerasan kategori berat yang terjadi di sekolah atau yang melibatkan peserta didik sehingga masuk proses hukum pidana dan ditangani pihak kepolisian. Pelakunya beragam, 47 persen oleh sesama murid, sisanya oleh guru, kepala sekolah, dan pembina ekstrakurikuler.
Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia mendata 293 kasus kekerasan di sekolah sepanjang Januari sampai September 2024. Kekerasan seksual, perundungan, dan kekerasan fisik menjadi modus terbanyak. Tahun ini tercatat tujuh orang meninggal sebagai akibat kekerasan di sekolah.
Dalam konteks segitiga kekerasan antara guru-murid-orangtua, kita dapat melihat beberapa hal mendasar. Yang pertama tentu terkait prinsip pendidikan dalam kegiatan belajar-mengajar: sejauh mana seorang guru dapat menghukum muridnya, tanpa melanggar hak anak. Yang kedua adalah iklim ketidakpercayaan. Terakhir adalah tentang sumbu pendek, penyakit sosial kita saat ini.
Kita memang masih memiliki tantangan besar terkait pemahaman guru terhadap disiplin dengan kekerasan. Masih banyak guru yang menganggap bahwa tanpa kekerasan murid tidak akan dapat terasah menjadi orang yang tangguh. Bahkan, sebagian pendidik menilai bahwa pendekatan pendidikan saat ini terlalu memanjakan murid. Akibatnya jelas: strawberry generation, generasi anak muda yang tampak bagus dan keren, tapi lembek dan tidak awet.
Para pendidik yang meyakini ini pun tak segan menghukum muridnya dengan cara-cara usang itu. Apalagi, mereka biasanya juga meyakini sebagai guru mereka memiliki kuasa penuh. Relasi kuasa ini kemudian menjadi bahan bakar untuk bertindak sewenang-wenang.
Akibat makin banyaknya catatan kasus kekerasan yang dilakukan guru kepada muridnya, banyak orangtua cemas berlebihan dan menjadi overreaktif. Ketika merasa diperlakukan tidak adil dan anaknya menjadi korban, banyak orangtua murid kemudian memilih bermain hakim sendiri. Cukup banyak liputan kasus orangtua yang menyatroni sekolah atau guru, dari sekadar marah-marah sampai mengancam pihak guru atau sekolah.
Iklim ketidakpercayaan biasanya membuat persoalan berkembang menjadi rumit, dan lebih sulit diselesaikan. Orangtua murid tidak percaya kepada guru dan sekolah. Guru dan sekolah tidak percaya kepada itikad orangtua murid. Publik tidak percaya baik kepada aparat penegak hukum dan proses peradilan.
Tetapi, barangkali faktor penentu yang paling fatal adalah watak sumbu pendek yang tampaknya sedang menjangkiti kita. Sumbu pendek adalah istilah zaman now untuk menunjukkan watak mudah meledak, disebabkan oleh pendeknya jarak antara ujung sumbu (kejadian pemicu) dengan badan petasan atau dinamit (tindakan).
Orang dengan sumbu pendek digambarkan mudah tersulut emosinya dan bertindak gegabah karena dikuasai oleh emosi tersebut. Ia tidak sempat memikirkan segala sesuatu secara rasional. Dalam istilah Stephen Covey (1987), orang sumbu pendek bersikap reaktif, alih-alih bersikap responsif. Sikap responsif didukung oleh pemrosesan yang cukup antara stimulus dengan respons, melibatkan kesadaran diri, imajinasi, kehendak bebas dan tentunya nurani.
Mereka dengan sumbu pendek tak mengindahkan keempat hal tersebut. Dari perkara pemicu, mereka langsung bereaksi tak terkendali. Daniel Goleman sang mahaguru kecerdasan emosional menyebut proses ini sebagai Amygdala Hijack (bajakan amigdala).
Amigdala adalah bagian otak yang bertugas memproses emosi dan insting keselamatan. Ia menyimpan ingatan atas kondisi-kondisi mengancam, dan terkait dengan agresivitas, hukuman dan sanksi, hubungan emosional, dan lain-lain yang terkait emosi. Bajakan amigdala dipicu oleh aktifnya amigdala yang membuat proses rasional kita tak dapat berjalan dengan baik.
Tanda kita mengalami bajakan amigdala adalah ledakan emosi yang tiba-tiba, dominasi emosi sangat negatif (marah besar, takut berlebihan, menyalahkan pihak lain, dan rasa tidak aman luar biasa), dan saat sudah mereda kita menyesali tindakan atau perkataan kita.
Bercermin pada kasus kekerasan di lingkungan pendidikan, kita dapat melihat bagaimana baik guru, tenaga pendidik, murid, maupun orangtua murid yang terlibat sama-sama dikuasai oleh bajakan amigdala. Semua mudah emosi, mudah menyalahkan pihak lain, mudah merasa berhak bertindak sewenang-wenang demi kepentingannya.
Kita mudah melihatnya dalam konteks lingkungan pendidikan karena ekosistemnya yang relatif tertutup. Tetapi, sejatinya, ini adalah cerminan masyarakat kita saat ini yang mudah marah, merasa diperlakukan tidak adil, mudah menuntut, mudah menyalahkan.
Ujungnya, masyarakat mudah bertindak sewenang-wenang karena merasa hukum pun tidak dapat diandalkan. Ini problem lebih serius dan mendasar bagi bangsa ini karena berkait dengan kualitas sumber daya manusia kita.
Ketiga kementerian terkait pendidikan pun tidak hanya harus mengurus kasus kekerasannya, tetapi harus kembali ke tugas mencerdaskan kehidupan bangsa : bertanggung jawab untuk memampukan warga bangsa untuk lepas dari cengkeraman bajakan amigdala.
Atau kita memang ingin menjadi bangsa sumbu pendek?
_______________
Artikel ini dimuat pertama kali di rubrik “Udar Rasa” Kompas, 24 November 2024