Agama sebagai Kompas Hidup, Pelajaran dari Bhante Parijanavaro

Senja mulai menekuk, memeluk langit di timur laut Purwokerto, Minggu 12 Januari 2025, ketika langkah-langkah kami meninggalkan percakapan hangat di sebuah rumah sederhana di Desa Kebanggan, Kecamatan Sumbang. Dhila dan kerabat ideologis lamanya telah menuntaskan diskusi panjang yang penuh nostalgia dan pandangan-pandangan yang menggugah pikiran. 

Awan mendung menggelantung rendah, dan tetesan hujan mulai berjatuhan, menciptakan irama lembut yang berpadu dengan deru mesin kendaraan.

Kami melintasi hamparan sawah yang memanjakan mata dengan warna hijau yang nyaris sempurna, kini terselubung oleh kabut tipis yang menguap dari tanah basah. Sinar rawi yang perlahan memudar menorehkan semburat keemasan di balik awan, menciptakan pemandangan yang magis sekaligus melankolis.

Mulanya, kami hanya ingin menikmati kerlap-kerlip lampu yang menyerupai bintang di kaki Gunung Slamet, pemandangan yang selalu mengundang reminisensi.

Terakhir kali saya ke sini, kalau tidak salah, tahun 2017. Waktu itu, saya masih muda, lugu, dan sedang lucu-lucunya. Saat itu ada pelatihan kepenulisan yang diadakan oleh pers mahasiswa tempat saya belajar dan berproses. Kenangan itu masih tersimpan rapi di ingatan saya, meski mungkin tidak demikian bagi Dhila.

Dhila, dengan kehidupannya sebagai dokter muda dan gaji bercanda, sudah lupa kejadian itu. “Mahéng, kalau kamu punya kiai sebagai guru spiritual, aku juga punya bhante,” celetuknya sambil tertawa kecil.

Sepanjang perjalanan, ia terus berceloteh tanpa henti, membahas topik-topik besar seperti “penting atau tidaknya seseorang beragama.”

Di kesempatan lain, Dhila sempat melontarkan pemikiran tajam, “Masa gara-gara agama, orang jadi enggak bisa kerja?” Kalimatnya melayang di udara, menimbulkan jeda sejenak, mengundang ruang untuk refleksi.

Ketika akhirnya ia berkata, “Mahéng, ayo mampir ke tempat Bhante,” saya langsung memutar arah tanpa banyak kilah. Di bawah rintik hujan yang masih setia mengguyur dengan gemulai, aroma tanah basah menguar serindai.

Tujuan kami jelas: Jalan Makam, Dusun II, Kemutug Lor, Baturaden. Di sanalah Padepokan Astha Brata berdiri, kediaman Bhante Parijanavaro.

Setelah melewati jalan berkelok yang dipenuhi lubang-lubang mencolok, melewati pemakaman, lampu kendaraan kami berpendar, menonjok gelapnya langit malam. Tidak jarang roda kendaraan terjebak dalam lubang yang menganga, menambah tantangan perjalanan di tengah rintik hujan.

Saat akhirnya tiba di tujuan, kami disambut oleh Mas Roy, dan Kampléng, seekor kucing mungil dengan sorot mata penuh cerita.

Kampléng, begitu mereka menyebutnya, adalah kucing homeless yang diadopsi Bhante. Nama itu, konon, berasal dari istilah khas Banyumasan untuk menyebut stunting. Dhila, dengan nada serius, menegaskan bahwa si kucing Kampléng diucapkan dengan nada é seperti pada nama Mahéng, lembut dan penyayang seperti Mahéng.

Sebab, jika diucapkan dengan nada e seperti pada kata elang, Kampleng justru memiliki arti lain, yaitu memukul.

Gonggongan Milo dan Ciki, dua anjing penjaga yang tampaknya belum percaya pada kedatangan kami, turut menyambut dengan penuh semangat. Gonggongan mereka menjadi latar suara malam yang menambah kesan hidup di padepokan ini.

Setelah beberapa saat menenangkan diri dari perjalanan panjang, kami akhirnya dipersilakan duduk di tempat yang biasa Bhante gunakan untuk menerima tamu.

“Saya Mahéng dari GUSDURian Yogyakarta,” saya memperkenalkan diri. ”Bhante tersenyum tipis mendengar nama itu, lalu menanggapi dengan santai, “Saya juga GUSDURian.”

Melihat celah untuk menggoda, saya mencoba merayunya, “GUSDURian Purwokerto vakum ya?” Bhante menanggapi dengan nada ringan, namun tegas, “Enak aja!” Balasan singkatnya memecah suasana, membuat kami semua tertawa.

Dalam percakapan kami, Bhante menjelaskan pandangannya tentang spiritualitas sebagai jalan menuju kebahagiaan dan pembebasan dari penderitaan. Meskipun terlahir dari keluarga non-Buddhis, ia tidak berhenti bertanya dan mencari kebenaran yang lebih dalam.

Melalui meditasi mendalam, ia belajar menyelami batin sendiri, menyingkap lapisan-lapisan tersembunyi dalam dirinya. Perenungan yang tak henti-hentinya menjadi kompasnya, mengarahkan langkahnya menuju pemahaman tentang kebijaksanaan dan kedamaian.

Dalam ajaran Buddha, bagaimana kita bisa memahami hubungan dengan orang-orang yang memiliki keyakinan berbeda? Saya bertanya kepada Bhante, dan ia menjawab dengan tenang, “Memahami cinta yang universal. Dengan begitu, kita akan memiliki kasih sayang kepada semua makhluk.”

Ia lalu mengutip ajaran Buddha, “Sabbe satta bhavantu sukhitatta”, yang berarti, “Semoga semua makhluk hidup berbahagia.”

Mendengar jawaban Bhante, saya jadi teringat celotehan Dhila, “Berarti, kalau begitu, apakah penting bagi seseorang untuk ‘menemukan agama’ yang sesuai, atau cukup dengan menjalankan nilai-nilai universal seperti kebaikan dan kasih sayang?”

Bhante menanggapi dengan tegas, “Seseorang harus meyakini sebuah agama untuk menjadi penunjuk arah.”

Saya kemudian bertanya lebih jauh, “Menurut Bhante, apa yang membuat agama ini tetap ‘dibutuhkan’? Meski sekarang teknologi hampir mampu menjawab banyak pertanyaan manusia?”

Bhante menimpali, “Teknologi memang hebat, tetapi tidak mampu menjawab semua kebutuhan manusia. Maka, agama akan tetap menjadi jalan tengah.”

Ia lalu memberi contoh dari dunia medis. Hampir semua prosedur medis sekarang dikerjakan dengan teknologi canggih, tetapi mengapa ada yang hidup dan ada yang mati? Teknologi tidak bisa menjawab itu. Ada sesuatu yang melampaui logika dan ilmu pengetahuan, dan di situlah peran agama menjadi penting.

Sebagai sesama GUSDURian, kami sering merenungkan keraguan Dhila dalam memilih beragama. Hingga suatu kesempatan, saya mencoba menyela kegelisahannya, “Lihatlah Islamnya, bukan orang Islamnya. Itu dua entitas yang berbeda.”

Malam semakin larut, dan gemericik hujan di luar beralih menjadi deras yang menenangkan. Milo dan Ciko, telah menyerah pada kantuk dan berbaring diam di sudut ruangan. Kampléng, si kucing mungil yang penuh keingintahuan, telah melompat pergi dari pangkuan Bhante.

Kopi yang menemani kami kini tinggal sisa ampas di dasar cangkir, tanda bahwa malam telah sampai pada gulitanya.

Dengan hati penuh refleksi dan pelajaran, kami berpamitan. Di bawah rintik hujan yang terus turun, kami meninggalkan Padepokan Astha Brata, tempat yang malam itu mengajarkan bahwa ketenangan, kebijaksanaan, dan kasih sayang bisa ditemukan dalam percakapan sederhana di tengah alam.

Penggerak Komunitas GUSDURian Yogyakarta.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *