Teladan Gus Dur di Kolese Kanisius

Sosok Gus Dur sudah sewajarnya menjadi panutan bagi para santri atau umat muslim pada umumnya. Namun ada cerita berbeda ketika sosok Gus Dur juga diteladani di dalam sebuah acara internal sekolah-sekolah Katolik.

Semua orang tahu Gus Dur merupakan seorang tokoh pluralis Indonesia. Sebagai kyai besar Nahdlatul Ulama’ (NU), tentu saja beliau sangat dihormati di kalangan umat Nahdliyin. Akan tetapi Gus Dur disanjung juga oleh umat Islam di luar kalangan Nahdliyin. Bahkan beliau banyak dikagumi pula oleh umat lintas agama. 

Dua tahun lalu saya membuktikan hal tersebut. Saya menyaksikan sendiri ketokohan Gus Dur memang benar sudah melampaui sekat-sekat identitas. 

Pengalaman ini terjadi pada penghujung tahun 2018. Saya bersama beberapa teman GUSDURian Jakarta dan GUSDURian Jogja diajak terlibat dalam kepanitiaan acara Temu Kolese. Acara yang biasa disingkat sebagai Tekol ini adalah ajang perjumpaan antar kolese se-Indonesia yang digelar setiap empat tahun sekali. Kolese merupakan istilah umum untuk menyebut sekolah-sekolah Katolik binaan para pastor Yesuit (SJ).

Lantas bagaimana ceritanya anak-anak GUSDURian yang rata-rata bertampang “santri” ini diajak menjadi panitia acara kumpul-kumpulnya sekolah-sekolah Katolik?

Dalam penyelenggaraan di tahun tersebut, pertama kalinya Tekol mengambil tempat di Jakarta. Kolese Kanisius didaulat sebagai tuan rumahnya. Mendapat kepercayaan demikian, panitia dari Kolese Kanisius ingin para peserta Tekol mendapatkan kesan berbeda. Mereka tidak hanya ingin Tekol kali ini hanya menjadi acara internal antar kolese yang bersifat eksklusif.

Maka Kolese Kanisius menawari GUSDURian untuk ikut membantu dalam kepanitiaan Tekol. GUSDURian dipilih untuk memperkaya perspektif peserta Tekol terhadap liyan dengan pengalaman berinteraksi langsung dengan saudara-saudara lintas iman. Selain itu mereka ingin peserta Tekol dapat mempelajari nilai-nilai keteladanan Gus Dur yang semasa hidupnya konsisten memperjuangkan kaum minoritas dan orang-orang yang tertindas.

Dalam bayangan saya, orang-orang “luar” seperti kami cukuplah diberi posisi membantu sebagai penggembira acara. Kami tidak perlu diplot mengisi posisi vital. Namun dalam rapat panitia, kami justru ditugasi menjadi fasilitator sesi renungan harian. Hal ini tidak lazim dalam tradisi Tekol. Sebab biasanya sesi renungan harian adalah “sesi khusus” yang difasilitasi langsung oleh pastor/frater. Kini kami yang mengambil alih sepenuhnya sesi tersebut.

Di satu sisi, ini merupakan beban. Di sisi lain, kepercayaan ini adalah sebentuk kehormatan. Kolese Kanisius tidak hanya menlibatkan GUSDURian sebagai gimmick toleransi belaka. Mereka menganggap keberadaan kami secara serius sebagai bagian penting dalam kepanitiaan Tekol.

Salah satu sesi yang paling membebani saya adalah sesi renungan di hari terakhir. Dalam dua hari sebelumnya, peserta Tekol hanya diminta merenungkan pengalaman mereka sendiri. Di hari ketiga mereka diminta merenungkan sosok Gus Dur dan Romo Mangun.

Jika kedua sosok tersebut terasa begitu dekat dengan saya, belum tentu demikian bagi para peserta Tekol. Sebab mereka adalah anak-anak kelahiran 2001-2003. Sangat mungkin mereka merasa berjarak karena tidak memiliki memori langsung tentang dua tokoh bangsa ini.

Namun dugaan saya terbantahkan saat saya memancing, “Apakah ada yang mengetahui kiprah kemanusiaan Gus Dur dan Romo Mangun?” Sebagian peserta Tekol yang berasal dari Kolese De Britto Yogyakarta tahu peran Romo Mangun menata perkampungan kumuh di Kali Code. Sedangkan peserta Tekol yang lain menyebutkan Gus Dur adalah Presiden yang berupaya menghapus praktek diskriminasi terhadap orang-orang Tionghoa.

Peran saya menjadi jauh lebih mudah setelahnya. Saya cukup menambahkan cerita bahwa Romo Mangun juga berperan penting membela hak-hak warga Kedung Ombo yang desanya ditenggelamkan paksa oleh Soeharto untuk membuat waduk. Sementara Gus Dur tak hanya membela minoritas Tionghoa, tetapi juga pasang badan untuk mendorong pendekatan humanis terhadap warga Papua yang kerap diperlakukan secara rasis.

Kedua tokoh pastor dan ulama ini sama-sama tidak membatasi kebaikannya hanya untuk umat yang seagama dengan mereka saja. Mereka berkarya untuk semua orang yang membutuhkan bantuan mereka. Bahkan karena kesamaan karakter tersebut, keduanya bersahabat karib. Mereka pun kerap kali bekerjasama untuk memperjuangkan kemanusiaan dan membela hak-hak orang yang tertindas.

Sampai di titik ini, pengalaman dipercaya terlibat dalam kepanitiaan Tekol menimbulkan perasaan yang campur aduk untuk saya pribadi. Menjadi panitia Tekol di Kolese Kanisius bagi saya serasa pulang ke rumah. Sebab saya memang pernah mencicipi pendidikan kolese semasa SMA. 

Dulu, sebagai anak kolese, tentu saja saya pernah bermimpi bisa terpilih menjadi delegasi sekolah untuk mengikuti ajang Tekol. Sebuah keinginan yang nyatanya hingga saya lulus SMA hanya sebatas menjadi angan-angan belaka.

Sekian tahun berselang, kini saya malah mengalungi co-card bertuliskan nama saya sebagai panitia Tekol. Kesempatan yang tidak pernah terbersit dalam pikiran terliar sekalipun. Dengan perasaan yang masih bercampur antara tidak percaya, senang, heran, dan bangga, saya berbaur dengan para peserta Tekol selama tiga hari penuh.

Saya sadar pengalaman sekali seumur hidup ini tak akan terjadi apabila bangsa ini tidak mengenal sosok Gus Dur. Sehingga saya merasa berhutang budi kepada tokoh yang seumur hidupnya konsisten meneladankan persaudaraan antarumat beragama. Kiprah beliau secara tidak langsung telah memberikan saya tiket untuk mengikuti Temu Kolese dengan cara yang tak disangka-sangka. 

Matur nuwun sanget, Gus. Alfatihah

Catatan: Redaksi GUSDURian.net mempersembahkan lima esai terbaik dengan tema “Damai Itu Indah” untuk memperingati Hari Perdamaian Internasional yang jatuh pada tanggal 21 September 2020. Lima esai terbaik edisi khusus Hari Perdamaian ini mengulas seputar pengalaman personal lintas iman dan pemikiran tokoh yang mendorong hubungan lintas agama secara positif.

Penggerak GUSDURian Jakarta. Alumnus Fisipol Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta.