Kasih Sayang, Kuasa, dan Otonomi Tubuh Anak

Belakangan ramai momen yang tampak sederhana, seorang ustaz tersenyum ramah sembari menggendong anak kecil, dan bibir orang dewasa itu tiba-tiba bersentuhan dengan pipi mungil. Umumnya orang memandang hal itu sebagai bentuk kasih sayang. Namun, apakah kasih sayang boleh menembus batasan orang lain? apakah anak yang sepenuhnya belum bebas sah disentuh orang lain? Benarkah kasih sayang demikian bentuknya?

Tak diragukan lagi, kita kerap menganggap anak kecil sebagai objek ‘gemas’ yang dapat dijadikan target pelukan, bahkan ciuman sebagai lambang kasih sayang. Anggapan ini seakan-akan tidak berbahaya, bahkan disebut sebagai upaya pendidikan agar si anak menjadi ‘manut’. Namun, ketika seorang figur melakukan hal serupa terhadap anak kecil di hadapan publik, terdapat lapisan-lapisan kekuasaan yang jarang kita lihat. Dalam hal ini, anak kecil agaknya menjadi objek dalam ekspektasi sosial dan hierarki otoritas.

Jennifer Nedelsky (2012) dalam karyanya Law’s Relations: A Relational Theory of Self, Autonomy, and Law, menyebut bahwa otonomi bukan sekadar ‘bebas dari campur tangan orang lain’, namun ia dikembangkan melalui struktur hukum dan sosial di mana individu tersebut hadir dalam relasi yang kompleks. Anak-anak yang notabene belum memiliki kesadaran terhadap kebebasan akan bergantung pada orang tua, keluarga, dan masyarakat.

Akan tetapi, hal ini bukan diartikan sebagai anak akan sepenuhnya manut pada otoritas sekitar yang lebih kuat. Anak tetap memiliki kapasitas untuk mengetahui otonomi tubuhnya, sepanjang lingkungan relasionalnya mendukung pengakuan atas pilihan, batasan, dan preferensi mereka.

Dalam konteks ini, tentu saja relasi yang terjadi berjalan tidak seimbang. Orang dewasa memiliki kekuasaan signifikan, sementara itu anak memiliki ketergantungan pada orang dewasa. Tindakan mencium tanpa persetujuan, walau terlihat remeh, merupakan intervensi fisik yang mereduksi kapasitas anak untuk mengekspresikan preferensi dan otonomi tubuhnya. Di satu sisi, Nedelsky menekankan bahwa relasi yang sehat seharusnya memberdayakan individu, untuk turut serta dalam keputusan yang menyangkut tubuh dan kehidupan mereka. Singkatnya, kasih sayang tanpa persetujuan bukanlah perlindungan, melainkan pelanggaran relasional.

Acapkali orang dewasa menganggap memeluk anak kecil sebagai bentuk perlindungan dan kasih sayang, padahal tindakan semacam itu justru berpotensi mereduksi otonomi tubuh dalam relasi anak dan orang dewasa. Lazimnya, anak mengetahui otonomi tubuhnya ketika mereka diberi kesempatan untuk menolak yang benar-benar dihormati. Jika sedari kecil anak terbiasa dengan kemauan orang dewasa meskipun tidak nyaman, mereka berisiko mengalami trauma psikologis, kesulitan menetapkan batas pribadi dan melemahkan rasa percaya diri ketika dewasa kelak.

Hemat Nedelsky, hukum dan norma sosial harus membentuk kondisi yang mendukung pengembangan otonomi. Artinya, masyarakat dan sistem hukum memiliki peran penting untuk melindungi anak dari sentuhan atau intervensi fisik yang tidak disetujui, sekaligus membangun budaya yang menghargai batas tubuh dan persetujuan anak.

Dampak fenomena ini melampaui psikologis, merambah pada aspek fisik. Anak-anak dengan kerentanan tinggi terhadap penyakit menghadapi risiko nyata dari kontak fisik orang dewasa yang tidak higienis. Maka, penghormatan terhadap tubuh anak adalah bentuk perlindungan otentik, bukan sekadar tuntutan moral atau agama. Anak perlu dibiasakan untuk berkata ‘tidak’ dan kita juga menghormati penolakan anak.

Perlu digarisbawahi, membangun otonomi tubuh anak tidak diartikan sebagai memberi kebebasan sebebas-bebasnya kepada anak. Penekanan terhadap relasi yang suportif menjadi landasannya. Kita perlu membangun lingkungan yang memberi wadah bagi anak untuk belajar membuat keputusan yang aman, sesuai usia, dan tentu bersandar pada kenyamanan. Ambil contoh, anak diberi kesempatan menentukan kontak fisik dengan kerabat atau bagaimana menanggapi interaksi orang lain. Relasi yang menghormati pilihannya dapat menjadi sarana bagi mereka untuk mengembangkan otonomi tubuh secara autentik.

Anak tidak tumbuh dalam ruang kosong, mereka berkembang dalam terpaan hukum, sosial, dan psikologis yang saling berkelindan. Undang-Undang Perlindungan Anak (UU No. 35 Tahun 2014 dan UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual No. 12 Tahun 2022) menekankan perlindungan anak dari intervensi fisik yang tidak disetujui. Dalam konteks kasus ini, orang dewasa tersebut tidak hanya menyentuh persoalan sosial, tetapi juga berimplikasi pada ranah hukum. Anak yang belum mampu sepenuhnya memberi persetujuan harus dilindungi, bukan dijadikan objek ‘gemes’ semata.

Mengajarkan anak tentang otonomi tubuh tidak hanya sebatas pada memberi nasihat, membuat aturan, atau ‘nguringuri’ budaya, melainkan pembentukan melalui pengalaman sehari-hari yang memperlihatkan bahwa tubuh mereka benar-benar dihormati. Orang tua baiknya meminta izin sebelum memeluk anaknya, orang dewasa perlu menghargai penolakan kontak fisik terhadap anak dan menunjukan kasih sayang tanpa kontak fisik. Melalui kebiasaan-kebiasaan seperti ini, maka nilai yang dipegang masyarakat dapat berubah, dari yang menormalisasi kontrol terhadap anak menjadi penghormatan terhadap anak.

Ketika anak dibesarkan dalam relasi yang menghormati persetujuan, mereka belajar tidak hanya untuk dirinya sendiri. Akan tetapi juga menaruh kehormatan pada tubuh dan batasan orang lain. Maka dari itu, kita melihat bahwa otonomi tubuh tidak sebatas hak individu, melainkan bagaimana masyarakat membangun etika publik. Dalam masyarakat yang menghormati relasi kesetaraan, kasih sayang dipahami sebagai tanggung jawab untuk menjaga, bukan kuasa untuk menyentuh. Penghormatan terhadap tubuh anak menjadi napas dari keadilan, kesetaraan, dan perlindungan.

Peserta Program Internship SekNas Jaringan GUSDURian.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *