Menjelang hari ulang tahun Kemerdekaan Republik Indonesia, biasanya semua orang sangat sibuk menyiapkan segala sesuatu untuk perayaan. Semua orang mulai orang tua, muda-mudi, hingga anak-anak, hanyut dalam semangat mengenang peristiwa bersejarah itu.
Orang-orang tua biasanya menyambut kemerdekaan dengan mengecat tembok rumah, pagar rumah, menghias depan rumah dengan bunga-bunga, dan memasang bendera merah putih. Sedangkan para kawula muda sibuk menyiapkan acara agar meriah, seperti menyiapkan lapangan upacara, berbagai permainan, dan pertunjukan seni.
Mereka sangat antusias lantaran membaca sejarah, ketika para pejuang Indonesia mempertaruhkan jiwa dan raganya, dengan menggunakan bambu runcing untuk melawan para penjajah.
Di tahun ini, kita serasa kembali dijajah, meski pelakunya berbeda. Sekarang kita sedang “dijajah” oleh virus yang mematikan, Covid-19 (Corona). “Penjajah” ini berhasil meluluhlantakkan bangunan kehidupan di banyak sektor. Dampaknya sangat luas, di bidang pendidikan, sosial, ekonomi, hingga keagamaan. Perkumpulan, pernikahan, tempat-tempat wisata harus ditutup.
Di masa Covid-19 ini, kita berjuang melawan dua faktor. Pertama, faktor eksternal, yaitu Covid-19 itu sendiri, dan yang kedua adalah faktor internal. Faktor internal ini termasuk di dalamnya adalah dampak, misalnya kita melihat banyak sekali kasus perundungan, kriminalitas, hingga berbagai perselisihan yang dipicu saling salah paham. Orang menjadi cepat emosional. Hal ini bisa memecah-belah kita sebagai masyarakat yang rukun yang melekat dalam nilai-nilai Pancasila.
Melihat banyaknya kasus yang diduga sebagai dampak adanya Covid-19 menuntut semangat dan kreativitas kita sebagai pemuda harapan bangsa. Karena nasib bangsa kita ke depan sangat ditentukan oleh generasi muda. Meski dalam keadaan seperti ini, kita harus tetap semangat untuk belajar dan berbuat sesuatu untuk bangsa kita.
Selama masa Covid-19, terbukti banyak gerakan yang diinisasi oleh anak muda untuk saling membantu. Mulai dari pengumpulan donasi, menjadi relawan medis, atau melakukan kegiatan edukasi online melalui webinar.
Cara lain yang bisa dilakukan oleh generasi muda adalah menggali kembali kearifan lokal yang bisa dipraktekkan di masa seperti ini. Satu di antaranya adalah kalosara, tradisi yang dilakukan oleh masyarakat Tolaki di Sulawesi Tenggara.
Secara harfiah, “kalo” adalah sebuah benda yang berbentuk lingkaran. Kalosara terdiri atas tiga bagian, yaitu (1) kalo, berupa lilitan tiga rotan yang melingkar, (2) kain putih sebagai pengalas, dan (3) siwoleuwa, yaitu anyaman dari daun palem yang berbentuk persegi empat.
Hal ini dipercayai oleh masyarakat setempat sebagai suatu benda yang digunakan untuk menyelesaikan sebuah permasalahan, apa pun itu, dengan hukum adat yang berlaku. Masyarakat juga memercayai bahwa jika benda ini hanya berdiri sendiri, misalnya tanpa ada kain dan anyaman daun palem, maka itu tidak memiliki arti dan fungsi adat, kecuali jika ketiganya menyatu dalam suatu tatanan, seperti dalam adat masyarakat Tolaki Sulawesi Tenggara.
Dalam masyarakat Tolaki, kalosara dipercayai sebagai suatu benda yang sakral dan sangat dijunjung tinggi oleh masyarakat setempat. Jika terjadi suatu permasalahan, seperti kasus bullying, maka bisa diselesaikan dengan jalan kalosara, dengan ketentuan adat yang berlaku.
Caranya, pihak-pihak yang bersangkutan (yang melakukan kasus bullying) serta keluarganya akan dikumpulkan dan akan dipandu oleh orang yang di percaya, biasanya ketua suku adat, yang mengerti tentang adat kalosara tersebut.
Semua pihak akan duduk melingkar sesuai bentuk kalosara, saling berdialog, dan mengambil jalan perdamaian. Jika ada pihak yang tidak setuju dengan jalan perdamaian tersebut, maka akan diberlakukan hukum adat yang berlaku di tempat tersebut. Jika kedua belah pihak yang bersangkutan dalam kasus tersebut adalah masyarakat suku Tolaki, maka hukum adat yang akan dijatuhkan padanya adalah dikeluarkan dari suku Tolaki.
Bagi masyarakat Tolaki, kalosara bisa di artikan sebagai kata-kata seperti “Jangan, mohon maaf, ampun, engkau, dia dan aku serta kita sekalian adalah satu kesatuan, satu di dalam tiga dan tiga di dalam satu.” Dengan kata lain, jika kita menganiaya dia (saudara sebangsa atau sesuku kita), maka sama saja kita menganiaya diri sendiri, dan kita semua. Dan kalosara dalam keadaan demikian, maka damailah keduanya (pihak yang terlibat).
Kalosara dalam masyarakat Tolaki memiliki cakupan yang sangat luas. Seperti dikutip media.neliti.com, masyarakat Tolaki bisa membaginya dalam lima cabang. (1) Sara wonua, yaitu adat pokok dalam pemerintahan, (2) Sara mbedulu, yaitu adat pokok dalam hubungan kekeluargaan dan persatuan pada umumnya.
(3) Sara mbe’ ombu, yaitu adat pokok dalam aktivitas keagamaan, (4) Sara mandarahia, yaitu adat pokok dalam pekerjaan yang berhubungan dengan keterampilan dan keahlian, dan (5) Sara monda’u, mombopaho, mombakani, melambu, dumahu, meoti-oti, yaitu adat pokok dalam berladang, berkebun, beternak, berburu, dan menangkap ikan.
Jadi bisa dikatakan, kalosara ini sangat dijunjung tinggi dan merupakan adat yang paling pokok dalam masyarakat Tolaki, yang sangat menjunjung tinggi nilai-nilai keadilan, kemanusiaan, keagamaan. Jadi kalau di masyarakat Tolaki kita mengenal namanya kalosara, maka di Indonesia pada umumnya kita mengenal dan disatukan oleh Pancasila.
Di dalam berjuang melawan Covid-19, kita bisa menggunakan kalosara dengan menguatkan kembali nilai-nilai persatuan. Misalnya, pemerintah menganjurkan kita untuk tinggal di rumah sebagai salah satu alternatif untuk mencegah penyebaran Covid-19, atau selalu menggunakan masker, mencuci tangan, maka kita harus bersatu melaksanakan anjuran tersebut.
Supaya penyebaran virus pun akan berkurang, itulah pentingnya persatuan. Sekali lagi, sebagai generasi penerus bangsa, jangan pernah melupakan nilai-nilai pancasila, karena itu yang membuat kita satu dan memperkokoh bangsa kita.
Sumber: alif.id