Mengapa Negara Muslim Seringkali Dicitrakan Anti-Kesetaraan Gender dan Terbelakang?

Ketika berbicara soal gender dan negara, kita seringkali merujuk negara-negara Barat, seperti Amerika Serikat atau Prancis, sebagai model yang mengadvokasi soal kesetaraan gender dan hak-hak perempuan. Jarang kita dengar negara-negara dengan mayoritas Muslim disebut sebagai negara yang mempromosikan kesetaraan gender, bahkan sebaliknya, negara-negara Muslim seringkali dicitrakan sebagai negara yang anti-hak perempuan dan terbelakang.

Jika sesuai dengan fakta, sebenarnya hasil penelitian seperti ini sah-sah saja untuk diterima. Tetapi seringkali hasil penelitian terkait gender, agama, dan negara mengarah kepada kesimpulan yang keliru, yang bisa berdampak pada pembangunan citra negatif terhadap agama atau kelompok masyarakat tertentu. Hal inilah saya kira yang mendorong terbitnya buku Islam, Gender, and Democracy in Comparative Perspective.

Buku ini ingin memberikan sebuah cara pandang baru dalam memahami relasi agama, negara, dan gender yang sangat kompleks. Salah satu kritik yang ditulis dalam bab Introduction, adalah seringnya agama dijadikan sebagai penyebab ketidaksetaraan yang terjadi di negara-negara mayoritas Muslim.

Padahal, menurut Jocelyne Cesari, agama Islam merupakan salah satu agama yang cukup dahulu memberikan tempat dan hak-hak perempuan di masa itu. Namun, lambat laun negara-negara mayoritas Muslim mulai memberikan ruang yang lebih sempit dan pembatasan hak-hak terhadap perempuan. Hal ini yang mendorong Cesari untuk melihat lebih jauh faktor apa yang menyebabkan penyempitan ruang gerak perempuan di negara-negara Muslim.

Ada dua faktor yang dianggap memerankan peranan penting dalam mempengaruhi narasi hak kesetaraan perempuan. Pertama, terbentuknya negara-bangsa pasca kolonialisasi. Konsep negara-bangsa mendorong para founding fathers untuk membentuk sebuah identitas pemersatu. Hal ini bisa dilakukan dengan cara membentuk bahasa, agama, etnisitas yang sama. Termasuk di dalamnya melakukan pemilihan penafsiran keagamaan yang dianggap sesuai dengan visi-misi kenegaraan. Penafsiran keagamaan inilah yang nantinya berdampak terhadap narasi kesetaraan dan hak-hak perempuan di suatu negara. Kedua, perdebatan teologis terkait dengan fungsi dan peran wanita di kalangan sarjana Muslim.

Berbeda dengan pendapat populer yang menyatakan bahwa rezim demokratis lebih menyuarakan kesetaraan gender, Cesari menemukan bahwa negara otoritarian, seperti Turki (di bawah kepemimpinan Kemal Ataturk) dan Irak (di bawah Saddam Hussein), juga memberikan hak yang luas bagi perempuan di bidang pendidikan, politik, dan ekonomi. Namun, akses yang dimiliki perempuan di ketiga bidang tersebut tidak menjadikan partisipasi di bidang tersebut meningkat.

Misal, walaupun perempuan sudah memiliki hak memberikan suara dalam pemilu, tetapi jumlah perempuan di parlemen masih sangat sedikit dibandingkan dengan laki-laki. Menurutnya hal ini dikarenakan adanya perbedaan perlakuan terhadap hak self, yakni hak-hak yang berkaitan dengan keluarga. Perempuan dalam keluarga masih diharuskan untuk nurut terhadap suami mereka dan mendahulukan kepentingan keluarga dibandingkan pilihan karir atau self mereka. Hukum keluarga yang cukup mengikat perempuan menjadikan perempuan mengalami kesulitan untuk mengembangkan diri dalam bidang politik, pendidikan, dan ekonomi, walaupun akses dan hak untuk mendapatkan ketiga bidang itu sudah mengalami kemajuan.

Tulisan Cesari menjadi refleksi yang bagus untuk membaca kembali tulisan-tulisan terkait hubungan antara gender, agama, dan negara. Hubungan ketiganya yang kompleks membutuhkan analisa yang mendalam dan baru agar kita tidak terjebak pada kesimpulan yang buru-buru. Selain mempertanyakan kembali hubungan agama, gender dan negara, Cesari juga mempertanyakan apakah negara sekuler, yang memisahkan agama dari institusi negara, merupakan kondisi yang ideal bagi kesetaraan gender dan hak perempuan? Karena pada kenyataannya, ketika terjadi privatisasi agama, justru pengaruh mereka menjadi lebih menguat di kelompok masyarakat, yang pada akhirnya akan membentuk cara pandang dan gaya hidup masyarakat.

Referensi:

Jocelyne Cesari, “Introduction and State, Islam and Gender Politics”dalam Islam, Gender and Democracy in Comparative Perspective, Jocelyne Cesari dan Jose Casanova (Editor), 2017, Oxford: Oxford University Press

Sumber: islami.co

Mahasiswi S. Rajaratnam School of International Studies, Singapura.