Islam Tradisi Tanpa Penyeragaman

Pada saat berbicara Islam sebagai tradisi, harus berbicara pula tentang relasi antara yang transhistoris dengan yang historis. Saat bicara tentang tradisi, tentu harus berbicara tentang yang historis. Tetapi jangan terjebak menganggap tradisi sebagai superstruktur dari infrastruktur sejarah, setiap sejarah berubah, tradisi berubah, Islam berubah.

Tradisi bukan hanya sebagai hasil dari sejarah. Tradisi memiliki dinamika temporalnya sendiri, yang berdiri sendiri namun memang terkait dengan sejarah. Tradisi juga menghasilkan logika spasiotemporalnya sendiri. Untuk menganalisa spasiotemporal ini saya menggunkan, seperti istilah Hegel, historikalitas. Sebuah alur waktu tradisi.

Untuk menganalisis sejarah dan tradisi Islam adalah dengan melihat titik waktu dan benturan antara historisitas dan historikalitas. Di mana keduanya dimaknai sebagai suatu struktur dan dinamika ruang dan waktu yang berbeda.

Intinya, tidak ada ruang dan waktu yang membentuk tradisi, tetapi tradisi sudah membentuk alur dan waktunya sendiri sehingga sejarah tidak bisa memiliki keunggulan epistemis atas tradisi dalam konsep ruang dan waktu.

Proses pewahyuan Al-Qur’an, bahwa satu sisi Al-Qur’an adalah sesuatu yang kalam qadir, di mana ini berlaku mutlak tanpa melihat ruang waktu manusia. Di sisi lain, kalam tersebut harus disuarakan dalam bahasa yang dapat dipahami. Di sinilah peran penting nabi sebagai manusia di satu sisi, dan sebagai utusan Allah pada sisi yang lain. Sehingga sebagai jembatan yang menghubungkan ruang dan waktu ilahi dan ruang dan waktu manusia.

Melalui nabi, sisi transhistoris, yakni kalamullah yang qadir ini bertemu dan berbenturan dengan sisi historis. Pertemuan yang azali membawa dampak besar bagi konteks historis. Bukan karena pewahyuan kepada Muhammad kemudian membawa dampak besar bagi perubahan di Jazirah Arab, tetapi konteks linguistiknya, bahasa Arabnya, dengan wahyu berubah, karena kemasukan wahyu. Bahasa Arab sebelum dan sesudah wahyu berbeda, terjadi perubahan semantik.

Pendeknya, waktu kita, sejarah kita, itu menjadi riil karena dibenturkan pada waktu ilahi. Kalau tidak karena waktu ilahiyah, maka tidak ada sejarah. Itulah kenapa perlu mengkaji historikalitas manusia. Bahwa ada ruang dan waktu yang terhubung dengan yang transhistoris yang tidak melulu harus direduksi pada sejarah. Bahwa ada ruang waktu yang terpisah dengan sejarah dan justru membuka dinamika itu sendiri tanpa bergantung sejarah.

Saya mencontohkan, pada saat kita berdzikir, kita menghadirkan Tuhan dalam ruang dan waktu kita. Pada saat kita membacakan dan meriwayatkan hadis dengan sanad, kita menghadirkan nabi di ruang dan waktu kita. Inilah sisi historiakalitas, di mana yang tadinya bukan bagian dari sejarah kita, ikut masuk dalam ruang dan waktu kita, dan mengubahnya. Tetapi disaat yang sama, pada saat kita menghadirkan momen masa lalu di ruang waktu kita, maka yang terjadi adalah proses kontekstualisasi.

Apa yang sudah dikontekstualisasikan harus direentekstualisasi, dimasukkan kembali kedalam tradisi. Sehingga tradisinya tidak selalu sama, tradisinya akan selalu berubah, akan selalu mendapat sisa-sisa historisitas yang dialami. Di sinilah terjadi perubahan tradisi, tidak lagi sama antara sebelum dienterektualisasi dan sesudahnya.

Praktek-praktek tradisi berkembang terjadi perdebatan yang sangat besar. Saat Islam keluar dari Madinah, terjadilah perdebatan pertama antara Imam Malik dengan Imam Laih bin Sahal. Imam Malik beranggapan bahwa Madinah harus menjadi standar Islam, semua negara harus berstandar Madinah. Imam Laih bin Sahal beranggapan bahwa konteks lokal menjadi konten yang tidak bisa diseragamkan.

Dalam perkembangan sejarah Islam, setiap ulama yang menjadi simbol otoritas, banyak tidak dikenali karena keilmuannya, tetapi justru mempunyai otoritas karena memiliki kesalehan sosial. Maka tidak cukup seorang ulama untuk memiliki akses terhadap yang transhistoris, dia juga harus menjadi bagian dari elemen historis.

Seorang ulama tidak hanya mengandalkan ilmu fiqh, hanya mengandalkan sisi tradisi Islam, dia tidak dapat berbicara dengan masyarakat yang memang tidak berbicara dengan ilmu fiqh. Di Maroko, misalnya, seorang ulama harus mempelajari ilmu nasab dan genealogi kabilah-kabilah yang ada, karena mereka harus masuk dalam sistem sosial. Mereka harus bisa menegosiasikan aspek-aspek syar’i dengan aspek-aspek yang ada di tengah masyarakat.

Terkadang, kalau ada fatwa jauh dari aspek lokalitas tersebut justru ditinggalkan oleh masyarakat. Karena justru proses negosiasi tradisi adalah bagaimana membenturkan dan membangun dialog antara yang transhistoris dan yang historis. Dan demikian berarti tidak bisa ada kesamaan karena konteks masing-masing lokalitas antar daerah berbeda.

Inilah tugas penting mengapa seorang ulama harus mampu menegosiasikan antara hukum syar’i dengan konteks lokal di masing-masing daerah tanpa berpretensi harus membangun keseragaman. Tetapi juga bukan berarti, ulama tersebut bukan berarti ulama kampung. Tetapi justru merekalah yang berhasil menerapkan sistem ini.


(Artikel ini merupakan ulasan singkat diskusi Forum Jumat Terakhir GUSDURian Jogja pada 29 Juni 2013. Ulasan ini juga bisa anda lihat di SELASAR edisi 05)

Sejarawan. Profesor Studi Timur Tengah dan Islam, Universitas New York.