Hijrah umum dipahami sebagai peralihan dari suatu kondisi ke kondisi lain. Umumnya, pemahaman ini merujuk kepada proses hijrahnya Nabi Muhammad dan pengikutnya dari Mekah ke Madinah sebagai ikhtiar agar dakwah Islam berkembang. Sejarah mencatat hijrah tersebut menandai babak penting dakwah Islam saat itu hingga beberapa dekade berikutnya.
Banyak dari kita yang ingin tabarrukan (mengambil kerberkahan) dari hijrah tersebut untuk ditiru semangatnya dalam keseharian kita. Gerakan hijrah kian menjamur di kalangan remaja dan mungkin tak akan pernah padam selama mereka yang mengambil berkah dari gerakan itu tetap ada. Dengan keterbatasan interaksi sosial selama pandemi Covid-19, bagaimana baiknya memaknai hijrah?
Kajian Kebahasaan Hijrah
Dalam studi Bahasa Arab, dikenal istilah al-Isytiqaaq al-Kabiir yang membincang bahwa ada keterkaitan antarkosakata selama huruf pembentuknya sama. Sebut saja kata qalbun (hati), laqabun (gelar), atau qabila (menerima), di mana ketiga kata tersebut tersusun dari huruf yang sama: qaf, ba’, dan lam.
Dalam telaah saya, al-Isytiqaaq al-Kabiir dapat diterapkan pada topik hijrah di mana huruf penyusunnya terdiri dari: ha’, jim, dan ra’. Kata al-hijratu barangkali maknanya relevan dengan kata al-jahru. Kata pertama berasal dari ha-ja-ra (هجر) dan bermakna emigrasi atau meninggalkan, sementara kata kedua berasal dari ja-ha-ra (جهر) dan bermakna muncul atau lantang suaranya.
Melalui pemaknaan kreatif saya, muncul definisi berikut ini. “Hijrah adalah proses move on-nya seseorang yang diumumkan atau minimal diketahui oleh publik.” Makna implisitnya, saat seseorang memutuskan untuk berhijrah, maka pertanggungjawaban hijrah tidak hanya kepada diri sendiri dan Tuhan, melainkan juga kepada publik. Menurut saya, ini jenis hijrah yang hakiki.
Al-Qur’an Membincang Hijrah
Di dalam Al-Qur’an, derivasi kata ha-ja-ra terulang sebanyak 31 kali pada 27 ayat. Sementara hanya 6 ayat yang menggunakan kata ha-ja-ra (هجر), pengulangan kata haa-ja-ra (هاجر) terjadi pada 21 ayat. Yang mengagetkan, istilah hijrah ternyata bukan terambil dari ayat-ayat ha-ja-ra (هجر) melainkan ayat-ayat haa-ja-ra (هاجر) yang terulang puluhan kali tersebut.
Dalam telaah saya, ada 3 ayat yang mewakili spirit hijrah menurut al-Qur’an, antara lain: QS a-Taubah 9:20, QS Ali Imran 3:195, dan QS an-Nisa 4:97. Mari kita bahas satu persatu untuk mengetahui semangat hakiki hijrah menurut Al-Qur’an.
Pertama, QS at-Taubah 9:20. Diinformasikan di Tafsir al-Thabari, ayat ini turun merespon sekelompok orang yang membanggakan amal perbuatannya. Eksplisit dinyatakan pada ayat ini bahwa kemuliaan derajat manusia di sisi Allah diperoleh melalui 3 hal: iman, hijrah, dan jihad di jalan Allah. Siapa pun yang menjalani ketiga hal tersebut dianggap lebih baik keadaannya dari mereka yang (1) memberi minum jemaah haji atau (2) memakmurkan masjid, sementara di hatinya tersimpan syirik kepada Allah.
Ibnu ‘Asyur dalam at-Tahriir wa at-Tanwiir menyatakan bahwa parameter hijrah bukan untuk sesuatu yang panjang durasinya, melainkan sifat permanen pada kepergiannya dari tanah lahir. Bertolaknya sebagian umat muslim dari Mekah ke Ethiopia pada 615 M selama beberapa bulan tidak bisa disebut hijrah karena diniatkan untuk sekedar meminta perlindungan.
Kedua, QS Ali Imran 3:195. Ayat ini turun merespon keluhan yang diajukan kepada Nabi tentang tidak disebutkannya perempuan dalam perbincangan hijrah. Pahala terbaik bagi mereka yang berhijrah adalah penghapusan dosa, kecuali hutang kepada sesama. Pahala tersebut berlaku setara bagi laki-laki dan perempuan.
Jamaluddin al-Qasimi dalam Mahaasin at-Ta’wiil menggarisbawahi kalimat kedua pada ayat ini, di mana kata haajaruu (berhijrah) diletakkan tepat setelah isim maushuul (kata hubung, kata al-ladziina) yang berposisi sebagai mubtada’. Hal ini menunjukkan pentingnya aktivitas hijrah di ayat ini. Lebih lanjut, khabar kalimat berupa fi’il mudhaari’ yang dibubuhi ta’kid ganda (laam dan nuun) makin menegaskan perhatian dan kepedulian Tuhan kepada mereka yang berhijrah di jalan-Nya.
Ketiga, QS an-Nisa 4:97. Ceritanya, ayat ini merekam kisah mereka yang enggan berhijrah saat hidup dan meninggal dalam keadaan kufur kepada Allah. Dalam Tafsir al-Qurthubi disebutkan, mereka yang enggan berhijrah itu ada dua kemungkinan. Yaitu, (1) pada dasarnya enggan berhijrah dan hobi menyebar fitnah di Mekah selama Nabi dan sebagian pengikutnya berhijrah atau (2) playing victim karena dipaksa untuk tinggal di Mekah oleh sebagian kuffaar yang memiliki pengaruh. Pernyataan pertama lebih tepat, mengacu pada dua pertanyaan bermakna pengingkaran yang diajukan malaikat saat mencabut nyawa mereka: fiima kuntum dan alam takun ardhullaahi waasi’atan.
Az-Zamakhsyari dalam Al-Kasysyaaf menjelaskan bahwa sindiran malaikat tersebut menunjukkan mereka sebenarnya mampu berhijrah namun enggan. Hijrahnya seseorang saat itu menandai keberpihakan langsung kepada kubu Nabi Muhammad. Barangkali mereka yang imannya lemah merasa rugi jika dirinya harus diasosiasikan dengan agama baru yang didakwahkan Nabi Muhammad.
Reinterpretasi Hijrah
Menelaah sekilas ayat-ayat hijrah di dalam al-Qur’an, ada dua hal yang dapat dikemukakan. Pertama, hijrah merupakan sikap tegas dan keberanian untuk tidak berada di zona nyaman yang menghipnotis manusia dari potensi berkembang ke arah yang lebih baik. Hijrah itu tentang apa yang diketahui, diyakini, lalu berakhir dengan eksekusi.
Kedua, hijrah didahului oleh iman dan diakhiri dengan jihad. Iman yang benar menjadi landasan dasar seseorang berhijrah. Saat hijrah telah dilaksanakan, seseorang perlu memperjuangkannya dengan semangat jihaad fii sabiilillaah. Jihad tidak selalu identik dengan angkat senjata, melainkan sikap konsisten menjalani, menekuni, dan memperjuangkan jalan hidup yang telah dipilih.
Di masa pandemi yang serba tak menentu, semangat hijrah bisa ditiru dan digelorakan. Hijrah, sebagaimana beragama, dapat bersifat kontekstual sehingga memberi solusi riil bagi kehidupan manusia. Ada beberapa semangat hijrah yang dapat ditiru: (1) membiasakan atau menguasai hal-hal baru yang mungkin dapat membantu manusia beradaptasi dengan new normal atau tatanan kehidupan baru pascapandemi, (2) berusaha berpikir dari sudut pandang ‘tak pasti’ atau tidak terlalu optimistis akibat disrupsi yang terjadi di banyak hal selama pandemi.
Perlu diingat, “We are not working from home, but we are in our home trying to work.” Saat ini kita sedang berjuang untuk bertahan hidup dan mencoba beradaptasi dengan tatanan kehidupan baru selama pandemi. Menurut saya, hijrahnya seorang muslim di masa pandemi dalam bentuk berjuang keras menjalani disrupsi hidupnya dengan baik, penuh tanggungjawab dan amanah, serta turut memberi manfaat bagi lingkungan sekitarnya setara dengan hijrahnya Nabi Muhammad dan umat muslim dari Mekah ke Madinah. Wallaahu a’lam.
Sumber: islami.co