Social Media

Kenangan dari Bedog hingga Ahok: Sebuah Obituari untuk Buya Syafi’i Ma’arif

Jumat ini, bangsa Indonesia kembali menerima kabar kehilangan. Prof. Dr. H. Ahmad Syafi’i Ma’arif, yang akrab disapa Buya Syafi’i, telah berpulang ke haribaan Ilahi. Wafatnya beliau sontak meninggalkan lubang menganga di sanubari bangsa ini. Dengan berat hati, bangsa Indonesia mesti mengikhlaskan kepulangan salah satu guru bangsa terbaik yang pernah dimiliki negeri ini.

Jumat ini, bangsa Indonesia kembali menerima kabar kehilangan. Prof. Dr. H. Ahmad Syafi’i Ma’arif, yang akrab disapa Buya Syafi’i, telah berpulang ke haribaan Ilahi. Wafatnya beliau sontak meninggalkan lubang menganga di sanubari bangsa ini. Dengan berat hati, bangsa Indonesia mesti mengikhlaskan kepulangan salah satu guru bangsa terbaik yang pernah dimiliki negeri ini.

Secara pribadi, Buya Syafi’i adalah sosok orang tua sederhana yang jauh dari kesan gila kekayaan atau gila kekuasaan. Beliau tidak pernah tertarik memanfaatkan profilnya untuk menimbun harta. Terlalu banyak kesaksian dari orang-orang yang pernah melihat sendiri sosok sederhana ini terbiasa bersepeda untuk bepergian ke sana-kemari dari kediamannya di Jogja.

Kebiasaan bersepeda ini bahkan sampai membuat beliau meraih apresiasi yang cukup unik. Beliau terpilih sebagai salah satu penerima penghargaan Bike To Work Indonesia Award 2021. Suatu hal yang sedikit tak lazim jika mengingat betapa tingginya level ketokohan sosok seorang Buya Syafi’i, yang biasanya menyabet penghargaan terkait hal-hal yang “besar”.

Buya Syafi’i kondang karena sosoknya sebagai ulama dan intelektual Islam. Beliau juga merupakan salah satu sesepuh di Muhammadiyah, bahkan pernah menjadi ketuanya di masa-masa awal reformasi. Namun demikian, sepertinya semua orang pun tahu, Buya tak hanya menjadi tokoh besar yang terkungkung di dalam “tembok” Muhammadiyah. Beliau adalah satu dari sedikit tokoh agama yang level ketokohannya telah mampu melampaui sekat-sekat identitas.

Bagi saya, dan mungkin sebagian orang lainnya, kami mengenal Buya justru karena kiprahnya memperjuangkan toleransi, kemanusiaan, keadilan, dan perdamaian. Saya dan teman-teman Gusdurian mengenal Buya Syafi’i sebagai salah satu tokoh yang dekat dengan almarhum Gus Dur. Keduanya memiliki perhatian dan konsentrasi yang sama terhadap isu-isu tersebut. Kami pun sering mengundang Buya dalam kapasitas sebagai sahabat Gus Dur untuk hadir dalam beberapa acara besar Gusdurian.

Kesan ini pun tampaknya juga ditangkap oleh masyarakat pada umumnya. Selepas Gus Dur tiada, tak sedikit masyarakat, terutama dari kelompok minoritas, yang kerap mencari Buya Syafi’i sebagai “tempat berlindung” mereka setiap kali ada isu intoleransi merebak.

Peristiwa penyerangan Gereja St. Lidwina, Bedog, Sleman, mungkin menjadi salah satu contoh yang sudah agak lama tapi masih lumayan hangat di benak kita. Pada Februari 2018, seorang pria tak dikenal merangsek masuk dengan membawa pedang di tengah-tengah perayaan misa mingguan. Penyerangan itu mengakibatkan tiga korban luka-luka. Patung Yesus dan patung Bunda Maria di dalam gereja pun ikut rusak karena tertebas pedang.

Buya Syafi’i langsung bergegas datang ke Gereja St. Lidwina segera setelah mendengar kabar kejadian tersebut. “Ini sangat melukai Indonesia. Ini biadab,” tutur Buya geram kala diiwawancarai media di gereja. Setelah menengok keadaan gereja, beliau juga sampai menyempatkan menjenguk Romo Karl-Edmund Prier SJ yang turut menjadi korban luka-luka dan dirawat di RS Panti Rapih.

Banyak orang yang saat itu sinis dan menganggap perhatian Buya Syafi’i terlalu “lebay” dalam memperhatikan umat beragama lain. Banyak yang mengecap toleransi Buya kebablasan. Akan tetapi, yang tak banyak orang tahu, kebetulan rumah Buya Syafi’i di bilangan Nogotirto memang tak seberapa jauh dari lokasi gereja. Hanya perlu waktu sekitar 15 menit apabila jarak itu hendak ditempuh dengan berjalan kaki.

Lewat perhatian yang tampak sederhana inilah justru Buya Syafi’i tengah menunjukkan kepada kita bagaimana semestinya berperilaku yang pantas terhadap tetangga. Buya tak berdakwah melalui ayat dan dalil. Buya mendakwahkan adab melalui perilaku beliau sendiri.

Beliau juga satu dari sedikit tokoh agama yang memiliki komitmen kebangsaan yang dan berani menyatakan komitmennya itu secara tegas. Mundur ke 2016-2017, ketika masyarakat tengah dihebohkan dengan kasus penistaan agama yang menyeret nama Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok, pendapat Buya lugas. Buya berpendapat, Ahok tidak menista agama dan Ahok tidak dapat dipenjara dengan pasal penistaan agama.

Buya tidak lantas membela Ahok semata-mata sebagai cara untuk cari muka atau agar terkenal, mengingat posisi Ahok sebagai pejabat dari latar belakang etnis dan agama minoritas yang tengah menjadi sorotan media. Lebih jauh lagi, ini adalah bentuk ketegasan komitmen kebangsaan beliau. Buya melihat kasus ini sebagai preseden buruk berkuasanya mayoritarianisme agama di Indonesia. Buya memandang kasus Ahok tidak adil dan saat itu sistem pengadilan Indonesia “patuh pada tekanan pihak tertentu”.

Pendapat ini terbilang berani. Sebab saat itu tak banyak tokoh agama yang berani terang-terangan bersuara membela Ahok. Banyak yang takut-takut dan memilih membela dalam diam demi tidak memperkeruh suasana. Apalagi MUI sendiri telah menjatuhkan fatwa bahwa Ahok menistakan agama.

Pandangannya Buya jelas membuat beliau berseberangan pendapat dengan fatwa MUI dan banyak tokoh Islam, serta menuai hujatan dari sebagian umat muslim. Meski demikian, Buya bergeming dan tidak ambil pusing.

Melalui keberadaan seorang Buya Syafi’i, Islam adalah praksis dan tidak mandeg dalam doktrin teologis. Spirit ini pulalah yang tercermin saat beliau mendirikan Maarif Institute. Lembaga yang diambil dari nama beliau ini dilahirkan sebagai wadah untuk memperjuangkan praksis Islam sehingga keadilan sosial dan kemanusiaan menjadi fondasi keindonesiaan. Lewat Maarif Institute, beliau ingin keislaman, keindonesiaan, dan kemanusiaan dapat diwujudkan dalam satu tarikan napas.

Buya membawa Islam tidak menjadi ajaran yang ndakik-ndakik di ranah dialektika, tetapi bisa bersuara lantang menjawab permasalahan manusia di dunia nyata. Bagi Buya, Islam mesti diejawantahkan. Tak hanya sebagai rahmatan lil muslimin atau rahmat yang tercurah bagi segenap umat muslim. Melainkan juga sebagai rahmatan lil’alamin alias rahmat yang tercurah bagi semesta alam atau bagi seluruh umat manusia.

Kini sang guru bangsa telah menyelesaikan peziarahannya di dunia ini. Suri tauladan kita telah kembali kepada Sang Khalik, di satu hari yang baik.

Sugeng kondur, Buya. Swargi langgeng

Penggerak GUSDURian Jakarta. Alumnus Fisipol Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta.