Social Media

Mencintai Manusia dan Kehadiran Keadilan dari Perspektif Gus Dur

Keadilan tidak sendirinya hadir di dalam realitas kemanusiaan dan karenanya harus diperjuangkan.

Keadilan tidak dapat diperoleh dengan berpangku tangan, tetapi harus diperjuangkan, direbut, dan didobrak. Membaca pernyataan Nur Kholik Ridwan dalam buku Ajaran-Ajaran Gus Dur tersebut akan mengarahkan diri pada potret penegakan keadilan di negeri ini. Dimensi politik, ekonomi, sosial, budaya, dan hukum memiliki wajah keadilannya masing-masing. Topik seputar keadilan kerap hadir bergentayangan dalam wujud berita di surat kabar dan televisi. Keadilan yang diharapkan, keadilan yang didambakan. Ibarat oase di padang gurun, keadilan selalu dicari dalam peziarahan hidup manusia. Sayangnya apa yang disebut adil terbilang antara ada dan tiada. Seolah tampak namun sukar dijamah.

Coba tanyakan pada orang-orang yang menjadi tahanan politik kasus 1965, adakah keadilan hinggap di pundak mereka. Bertahun-tahun dituding bersalah tanpa alasan yang jelas, bertahun-bertahun pula dihukum tanpa prosedur pengadilan yang sesungguhnya. Mereka hidup dalam vonis masyarakat dan dihakimi warga dengan barbar. Banyak di antara mereka yang tidak tahu apa-apa mengenai geger gedhen yang melanda Lubang Buaya di malam jahanam 1965 dan keruwetan intrik politik yang menyelimutinya. Nama mereka terseret berdasar pada klaim masyarakat yang menandai mereka sebagai pengikut komunis. Asumsi yang bermain dan pengambilan kebijakan berbasis konon, katanya, dan jarene justru menciptakan definisi geger gedhen yang sebenarnya di kalangan masyarakat akar rumput.

Robert Cribb dalam bukunya yang berjudul Pembantaian PKI di Jawa dan Bali 1965-1966 membantu kita memahami bahwa genosida atas nama “pembersihan” terhadap terduga komunis benar-benar nyata. Baskara T. Wardaya dalam Suara di Balik Prahara dan Ita F. Nadia dalam Suara Perempuan Korban Tragedi 65 menunjukkan pada kita bahwa banyak wong cilik yang turut disapu amukan kebencian tanpa dasar. Mereka yang masih hidup usai vonis hukuman penjara berakhir menjumpai kehidupan di luar penjara yang jauh berbeda dari sebelum mereka menjalani hari-hari gelap dan pengap dalam sel. Vonis hukuman boleh saja dipungkasi, namun stigma masyarakat terhadap mereka selaku mantan tahanan politik masih jauh dari kata selesai.

Ada guyonan yang menyebut kalau setiap tahunnya Indonesia mengalami tiga musim yakni musim kemarau, musim penghujan, dan musim isu PKI. Setiap bulan September kita disibukkan dengan beragam spanduk di pinggir jalan yang berujar waspadalah kebangkitan PKI, sweeping buku-buku sejarah yang membahas tragedi 1965, hingga perang komentar di kolom media sosial bak debat kusir. Apa yang oleh masyarakat umum seolah terasa sudah biasa namun menimbulkan luka batin yang luar biasa mendalam bagi orang-orang yang hidup dengan stempel cap PKI. Film You and I garapan Fanny Chotimah yang memenangkan Piala Citra belum lama ini memaparkannya dengan gamblang betapa susahnya hidup dengan memikul beban masa lalu.

Gus Dur menjadi figur anti-mainstream dalam memandang ketidakadilan yang menjerat orang-orang terduga komunis. Banyak presiden silih berganti memegang tampuk kekuasaan usai Soeharto lengser dan hanya Gus Dur yang mampu bersikap tegas meskipun memicu konsekuensi yang tidak mudah. Di era pemerintahannya, Gus Dur mengusulkan pencabutan TAP MPRS Nomor XXV Tahun 1966 tentang Pembubaran Partai Komunis Indonesia, Pernyataan Sebagai Organisasi Terlarang di Seluruh Wilayah Negara Republik Indonesia bagi Partai Komunis Indonesia, dan Larangan Setiap Kegiatan untuk Menyebarkan atau Mengembangkan Paham atau Ajaran Komunisme/ Marxisme-Leninisme.

Gus Dur menilai bahwa keberadaan peraturan ini tidak menjamin keadilan bagi seluruh warga negara Indonesia. Peraturan tersebut menjadi payung hukum bagi Undang-Undang dan peraturan lainnya yang cenderung diskriminatif. Eksistensi TAP MPRS ini justru menciderai konsensus yang disusun para founding fathers saat merumuskan Pancasila dan UUD 1945. Gus Dur berpandangan bahwa negeri ini terdiri dari beragam etnis, suku, agama, bahasa, dan corak pemikiran. Negara wajib melindungi hak warga negara karena telah diamanahkan dalam bunyi UUD 1945. Gus Dur ingin kelompok yang selama ini dianggap minoritas oleh masyarakat luas juga memperoleh posisi yang layak. Gus Dur menunjukkan sikap sebagai seorang negarawan yang memanusiakan manusia. TAP MPRS tersebut dipandang telah mengkhianati bunyi pasal 28 UUD 1945 yang mengatur tentang kebebasan berpendapat. Baginya, jalan perdamaian soal TAP MPRS tersebut adalah dengan menggelar rekonsiliasi dan itu hanya dapat dicapai jika peraturan tersebut dicabut. Di luar itu, niatan rekonsilasi hanyalah impian semu belaka.

Gus Dur memahami bahwa dalam konteks sebagai pemimpin negara sering dijumpai keinginan untuk melakukan hal baik yang tersandera oleh kepentingan politik. Usulnya mencabut TAP MPRS disambut protes dari banyak warga. Masyarakat yang kontra ini berperspektif bahwa mencabut TAP MPRS dikhawatirkan membuka jalan munculnya gerakan komunisme versi modern. Di sisi lain, Gus Dur berpedoman bahwa pada hakikatnya negara mengemban tugas untuk menjamin hak setiap rakyatnya. Dirampasnya hak rakyat yang diwarnai dengan berbagai atraksi manuver non-keadilan menunjukkan bahwa negara tidak hadir dalam sendi-sendi kehidupan warganya. Masyarakat yang berada di pihak berseberangan dengan Gus Dur konsisten menuding bahwa usulan tidak populer dengan mencabut TAP MPRS adalah hal yang berbahaya. Di dimensi dunia yang lain, para filsuf dunia seperti John Locke, Jean Jacques Rousseau, Immanuel Kant, dan Thomas Hobbes mungkin tersenyum melihat keblingernya masyarakat Indonesia yang tidak menyadari tujuan mulia di balik tindakan Gus Dur.

Dalam buku Tuhan Tidak Perlu Dibela, Gus Dur mengatakan bahwa moralitas Islam adalah moralitas yang merasa terlibat dengan penderitaan sesama manusia, bukannya yang justru menghukumi mereka yang menderita itu. Moral ini yang tidak terlihat pada saat marak aksi pengucilan terhadap warga eks narapidana Pulau Buru. Moral ini tidak muncul ke permukaan ketika masyarakat diam saja melihat eks tahanan politik dipersulit hidupnya oleh rezim Orde Baru. Gus Dur menambahkannya di buku Pribumisasi Islam, beliau berkata bahwa ketaatan kepada syariat mesti berwujud kecintaan kepada sesama manusia. Mengklaim diri sebagai pribadi yang taat beragama namun turut melakukan aksi bullying terhadap sesamanya yang dicap komunis adalah sikap standar ganda yang perlu diluruskan.

Poin ketiga dari TAP MPRS disoroti Gus Dur sebagai aspek yang akan menghasilkan generasi muda bangsa ini laksana katak dalam tempurung. Tiadanya akses untuk mempelajari hal berbau komunisme yang ironisme didukung penuh oleh perundang-undangan sejatinya akan membentuk tabiat bernuansa chauvinisme dan picik dalam melihat keobyektifan sejarah. Segala hal yang ada di bawah langit memiliki wajah hitam dan putih secara berpasangan. Menegaskan bahwa warna suatu hal absolut hitam atau mutlak putih merupakan pilihan sikap yang menyedihkan. Bangsa ini tidak akan pernah belajar dari sejarah jika sejarah bangsanya ditutupi bahkan dibelokkan oleh negara. Pepatah Perancis berujar L’Histoire se Repete. Sejarah memiliki perulangan fenomenanya sendiri.

Barangkali kita lelah dan jengah melihat sorakan paranoid terhadap PKI dan kebencian terhadap orang-orang yang pernah dicap komunis senantiasa dihembuskan setiap tahunnya. Hal yang seolah menjadi agenda rutin dengan berkedok menyelamatkan bangsa. Komunisme dunia telah tumbang, PKI telah bubar melalui Keputusan Presiden nomor 1/3/1966. Dalam salah satu sesi di acara “Kick Andy”, Gus Dur pernah berkata “PKI aja kok ditakuti”. Gus Dur menyadari bahwa ketakutan yang sekian dekade ini dipelihara dan diwariskan sungguh tidak ada dasar penjelasan ilmiahnya dan hanya akan mendidik anak cucu kita dengan sikap serupa dengan pendahulunya. Gus Dur mengajarkan pada kita bahwa keadilan tidak akan dapat diwujudkan dengan sikap main aman. Keberanian Gus Dur mengusulkan pencabutan TAP MPRS adalah keteladanan sikap dalam memuliakan dan menyayangi sesama manusia.

(Esai ini merupakan bagian dari tugas peserta “Kelas Menulis Insentif” Jaringan GUSDURian bersama Hairus Salim HS selama Februari-Maret 2021)

Guru Sejarah SMA Regina Pacis Surakarta. Staf Litbang Soeracarta Heritage Society.