Keragaman Agama Itu Sunnatullah

Fakta keragaman agama tidak dengan sendirinya menyadarkan para pemeluk agama-agama untuk menyikapi keimanan komunitas agama lain secara positif. Sebaliknya, belakangan sikap keberagamaan yang eksklusif tampak semakin menguat. Eksklusivisme agama di sini dipahami sebagai pandangan yang menganggap agamanya sebagai satu-satunya jalan kebenaran.

Banyak pengamat berargumen, menguatnya eksklusivitas keberagamaan saat ini lebih dipicu oleh faktor-faktor di luar agama, baik yang bersifat domestik (seperti pilkada) atau global (seperti intervensi militer Barat).

Kelemahan yang segera mengemuka dari argumen di atas adalah model keberagamaan eksklusif mudah ditemukan pada mereka yang tampak sangat agamis, seperti terlihat dari pakaian, ucapan, perangai hingga jidat yang berbekas hitam. Apakah ada faktor eksternal atau tidak, sepertinya semakin mereka saleh, semakin pula mereka eksklusivis.

Pertanyaannya: Betulkah semakin taat beragama, seseorang akan semakin eksklusivis? Apakah meyakini kebenaran eksklusif pada agamanya sendiri merupakan persyaratan bagi kedalaman spiritualitas?

Dalam tulisan ini saya akan menjawab, tidak. Hal itu berarti bahwa ada yang salah dengan cara beragama yang menyebabkan mereka semakin agamis tapi pada saat yang sama juga semakin eksklusivis dan bahkan intoleran. Di mana letak kesalahannya? Bagaimana seharusnya kita hidup bersama keragaman yang menjadi ciri khas dunia saat ini?

Eksklusivisme Melanggar Sunnatullah

Kesalahan pertama terletak pada ketidak-sinkronan teologi yang mereka anut dengan kenyataan saat ini. Salah satu ciri zaman ini ialah fakta keragaman dan interkoneksi yang menyebabkan interaksi antar-agama tak terelakkan. Dalam bahasa agama, keragaman agama adalah sunnatullah. Namun, sebagian orang, disadari atau tidak, menyangkal sunnatullah tersebut dengan menganggap dunia akan lebih baik dan aman tanpa keberadaan orang-orang yang punya keyakinan berbeda.

Teologi eksklusivisme ini hanya cocok dalam masyarakat yang homogen. Jika kita hidup dalam sebuah komunitas di mana semuanya menganut keyakinan yang sama, pandangan keagamaan eksklusivis tidak bermasalah. Tapi, dalam masyarakat yang plural, eksklusivisme agama berbahaya bagi keselamatan kehidupan orang lain dan bahkan mengancam sendi-sendi pluralitas itu sendiri. Dengan demikian, kenyataan keragaman sebagai kehendak Ilahi (sunnatullah) menuntut kita meninggalkan keberagamaan yang eksklusivis.

Pelanggaran sunnatullah yang paling nyata ialah upaya sebagian kalangan untuk menunggalkan keragaman dan mengingkari perbedaan. Alasan penolakan keragaman ini biasanya bersifat psikologis tapi dikemas dengan bahasa agama. Misalnya, mereka yang berbeda dianggap gangguan, bahkan ancaman terhadap identitas kita. Tapi “identitas kita” dimaknai secara agama. Dus, keberadaan orang-orang yang berbeda agama di sekitar kita dipersepsikan mengancam kemurnian akidah. Kepada mereka itu kita perlu tegaskan, bahwa keragaman agama adalah sunnatullah!

Ini mengantarkan kita pada kesalahan eksklusivisme yang lain yang bersifat konseptual. Sudah jelas-jelas berada di tengah keragaman, mereka juga tak mau memikirkan tentang “yang lain” (the other). Concern mereka semata “Agama saya paling benar. Mereka yang berbeda pasti kafir, karena sayalah orang beriman”. Dengan semangat ini, semakin mereka mempelajari agamanya dan semakin tinggi kesalehannya, semakin pula tampak eksklusivitas dan intoleransi dalam cara mereka melihat dan memperlakukan “yang lain”.

Karena itu, diperlukan rekonseptualisasi sudut-pandang dalam melihat “dirinya” (self) dan “yang lain”. Kedua hal tersebut saling terkait: melihat “dirinya” dalam kaitan dengan “yang lain” dan melihat “yang lain” dalam sinaran “dirinya”. Dan ini hanya mungkin terjadi jika kita punya minat mempelajari dan berinteraksi dengan “yang lain” itu. Tidak mengagetkan, dalam berbagai survei ditemukan bahwa mereka yang intoleran terhadap agama lain umumnya tidak tahu apa-apa tentang agama lain atau tidak pernah berinteraksi dengan komunitas agama lain.

Lalu, bagaimana dengan mereka yang tidak mempelajari agama lain tapi bisa bersikap toleran? Apakah sikap toleransinya itu semata karena mereka memang kurang komitmen dengan agamanya sendiri? Pertanyaan ini di luar fokus tulisan, tapi bisa memberikan insight perlunya belajar tentang agama-agama yang berbeda.

Tanggung Jawab Etis

Kenyataan bahwa interkoneksi dunia yang kita tempati sekarang semakin tak terelakkan seharusnya menyadarkan kita akan tanggung jawab etis untuk tahu sedikit-banyak tentang agama-agama yang dianut orang di sekitar kita. Bagaimana mungkin kita bisa menjalin kehidupan harmonis antar-komunitas yang berbeda agama jika masing-masing saling tidak tahu dan tidak peduli tentang keyakinan dan praktik pihak lain.

Sikap empati akan muncul jika kita mengetahui secara akurat. Syukur jika kita punya kesempatan untuk mempelajari agama lain dari perspektif akademis yang mengedepankan cara berpikir kritis (critical thinking). Minimal kita perlu belajar agama lain dalam suasana yang netral untuk memahami apa yang diyakini orang lain, bukan dengan semangat untuk mendiskreditkan keyakinan agama lain, seperti yang dipertontonkan dr. Zakir Naik.

Saya ingin mengusulkan supaya mata kuliah “World Religions” (Agama-Agama di Dunia) dijadikan pelajaran wajib di universitas-universitas negeri dan swasta. Dalam masyarakat beragama, seperti di Indonesia, setiap orang perlu “bekal” untuk bisa berinteraksi dengan “yang lain” dengan respek dan juga saling berhargai.

Mata kuliah “Agama-Agama di Dunia” akan memberikan pengantar tentang sejarah kemunculan setiap agama berikut apa yang diajarkan. Kita tidak bertanya apakah agama tertentu benar atau tidak. Kita hanya bertanya, apa saja yang diajarkan oleh agama tersebut. Dari pengetahuan dasar itu kita kemudian bisa mengeksplorasi dan memahami kenapa agama tersebut diyakini benar oleh pemeluknya.

Salah satu isu yang mungkin mengemuka: Siapa yang qualified untuk mengajarkan mata kuliah tersebut? Kita tak perlu terjebak dalam debat insider-outsider dan membawanya ke ruang perdebatan boleh-tidaknya agama diajarkan oleh bukan pemeluknya. Itu perdebatan yang tidak produktif karena asumsi dasarnya sudah salah. Seolah-olah agama hanya bisa dipahami oleh pemeluknya. Yang lebih penting dipikirkan adalah mempersiapkan sumberdaya manusia yang punya pengetahuan cukup untuk mengajarkan pelajaran tersebut.

Ada banyak manfaat dan keuntungan dari mengetahui agama lain, termasuk akan lebih akurat dalam memahami agamanya sendiri. Mengetahui agama dan keyakinan pihak lain dapat mengurangi kesalahpahaman yang sering menjadi pemicu kebencian dan permusuhan. Pengalaman personal saya menguatkan hal tersebut.

Sebagai seorang yang digembleng dalam studi Islam di pesantren dan universitas Islam di Pakistan, saya cukup kaget ketika mulai serius mempelajari agama-agama lain: betapa banyak pemahaman saya yang salah dan tidak akurat tentang keyakinan dan praktik para pemeluk agama lain.

Ironinya, kadang mereka yang tidak mempelajari agama-agama mengaku paling tahu tentang agama lain, sementara orang yang mempelajari merasa hanya tahu sedikit. Sebab, setiap agama memiliki kompleksitas dan keunikannya sendiri, sehingga semakin kita menyelami semakin kita menyadari luasnya yang sulit untuk dipahami secara sederhana.

Pengetahuan tentang agama lain ini juga diperlukan bagi mereka yang terlibat dalam aktivitas dialog lintas agama. Tanpa merasa nyaman dengan keragaman agama, seseorang tidak akan menikmati dialog yang menuntutnya untuk mendengar dan belajar. Jika tidak dibekali pengetahuan cukup, dialog agama bisa menjadi ajang debat untuk mengkonversi satu sama lain, sesuatu yang bukan menjadi tujuan dialog.

Ringkasnya, sebagai penduduk global (global citizens) di dunia yang saling terkoneksi, kita punya tanggung jawab etis untuk saling belajar satu sama lain dan mengembangkan sikap empati terhadap pandangan dan keyakinan yang berbeda. Saya kira Friedrich Max Müller, sarjana Jerman abad ke-19 yang merintis studi agama-agama, benar ketika mengatakan, “He who knows one [religion], knows none.”

Tulisan ini sebelumnya tayang di Geotimes