Pesantren, Bahasa Indonesia, dan Gus Dur

Salah satu kelemahan alumni pesantren asli, antara lain, tidak banyak membaca buku berbahasa Indonesia. Maksudnya pesantren asli adalah tidak pernah mengenyam bangku sekolah atau kampus yang pengantarnya dipastikan berbahasa Indonesia. Kalau di pesantren, bahasa pengantarnya campur-campur, tapi hampir dipastikan literaturnya berbahasa Arab atau bahasa Arab yang diberi terjemah menjadi bahasa daerah masing-masing.

Tapi Gus Dur tidak menyebut itu kelemahan, saking hormatnya Gus Dur pada kiai-kiai atau ulama yang memang waktu itu, khususnya zaman Orde Baru, harus fokus betul agar pesantren tetap bertahan dari gempuran rezim tentara yang mendorong modernisasi dalam segala lini kehidupan/kebudayaan.

Para kiai waktu itu, waktunya dihabiskan mengurusi internal pesantren dan masyarakat. Dan para kiai tidak antusias membaca bacaan berbahasa Indonesia bukan karena malas atau a priori, tapi karena curiga bagian dari modernisasi. Gus Dur ini tahu betul. Dan memang, kiai-kiai yang fasih bahasa Indonesia dan rajin membaca buku-buku berbahasa Indonesia memang gayanya “beda”, mulai dari pikiran, etika, selera musiknya hingga pakaiannya. Contoh paling nyata Gus Dur sendiri, juga kiai-kiai yang aktif berpolitik atau menjadi PNS waktu itu. “Kalau terlalu sering berbahasa Indonesia, terlalu sering pakai celana, lama-lama makan juga berdiri,” begitu kata bapak saya.

Salah satu dampak yang masih terasa hingga sekarang bahwa ada “jurang” antara bahasa Indonesia dan bahasa Arab (di pesantren) adalah penamaan “buku” dan “kitab”. Gus Mus sering mengatakan begini, “Loh, kitab itu ya buku. Buku itu kitab.” Tapi saya yakin, beliau tidak akan menyebut kitab Ihya Ulumudin itu dengan buku. Misal, beliau tidak akan membuat kalimat begini, “Kang, di mana buku Ihyaku?” Hah, jangankan Ihya yang sakral itu atau Shahih Bukhori yang berisi hadis itu, kita kecil berisi belajar “kata” karya orang Jawa, Al-amtsilah at-tashrifiyyah saja disebut buku, tidak ada yang menyebutnya buku, apalagi buku saku.

Tapi di lain sisi, bahasa Indonesia juga sangat istimewa di kalangan pesantren. Jika ada kiai menulis di koran, tentu bahasa Indonesia, maka kiai tersebut akan dapat tempat istimewa, apalagi menulis puisi. Karena itu pula, Gur Dur dan Gus Mus mendapat tempat yang lebih di antara para kiai. Karena menulis bahasa Indonesia pula, Saifuddin Zuhri dan Mahbub Djunaidi namanya sangat harum di kalangan pesantren. Para kiai pesantren merasa suaranya terwakili oleh para penulis itu, yang jumlahnya sangat sedikit itu.

Kalangan luar pesantren, akan menganggap langsung menilai “kiai yang maju” atau “NU modern” untuk kiai yang menulis di koran. Apalagi ada kiai yang menulis puisi. “Wuih, eksotis,” kira-kira begitu.

Kembali ke soal “kelemahan” yang saya singgung di atas. Gus Dur tidak menyebut kelemahan pada kiai-kiai yang tidak banyak membaca bahasa Indonesia, tapi dengan menyebut tidak lengkap “fikihnya”.

Akhirul kalam, kira-kira apa yang disebut Gus Dur dengan “fikihnya tidak lengkap” ini?

Sumber: alif.id

Founder alif.id. Belajar di sejumlah pesantren serta aktif di Rabithah Ma'ahid Islamiyah PBNU.