Perbincangan ini memang tidak aktual. Tapi tidak berarti seutuhnya basi dan habis. Tidak dapat dimungkiri bahwa kelompok konservatif–istilah yang lebih lunak—cukup menggeliat dalam kurun waktu empat tahun terakhir. Keberadaan kelompok ini turut mewarnai percaturan politik tanah air secara gamblang. Keberadaan kelompok ini di satu sisi menunjukkan demokrasi masih berjalan—meskipun sangat mandek—di negeri ini. Sebab perbedaan dalam demokrasi adalah suatu keniscayaan.
Pergerakan yang pasti dan jelas ditunjukkan oleh kelompok-kelompok Islam tertentu. Keberadaan kelompok yang cukup dominan dalam percaturan politik. Contohnya adalah Aksi 212 yang menjebloskan Ahok ke penjara serta memainkan peranan penting dalam kemenangan Anies Baswedan sebagai gubernur DKI Jakarta. Jangan lupa, bahwa peristiwa KM 50 yang menewaskan beberapa anggota FPI masih menggeliat hingga saat ini.
Persinggungan umat Islam dengan politik tidak bisa dielakkan. Sifat Islam yang diyakini sebagai agama yang mengatur urusan peribadatan dan sosial politik (ad-din wa ad-daulah) menyebabkan Islam secara tidak langsung menjadi antitesis dari pandangan sekular. Dalam tingkatan yang lebih ekstrim, Islam (juga) dipandang sebagai ideologi negara—laa hukma illalah. Persoalannya adalah bagaimana Islam diaktifkan sebagai gerakan politik.
Partisipasi umat Islam dalam politik telah ada sejak sebelum Indonesia merdeka. Di era kolonial ada kelompok Sarekat Islam di bawah pimpinan H.O.S. Tjokroaminoto. Pada awal kemerdekaan ada Masyumi dan PNU yang turut mewarnai panggung politik nasional. Di era sekarang ada PKS. Keberadaan kelompok agama dalam dunia politik beserta aspirasi-aspirasinya sah-sah saja. Namun tidak bisa dibenarkan ketika ia menjelma menjadi sebuah keinginan yang dapat mengganggu stabilitas negara.
Kekhawatiran ini mengacu kepada keberadaan kelompok-kelompok agama konservatif yang menginginkan negara dijalankan berdasarkan hukum Tuhan yang bersandar pada keyakinan-keyakinan subjektif yang dibawa oleh kelompok teologis tersebut. Inilah yang berbahaya. Dalam Islam sendiri ketika sebuah partai politik mengatasnamakan Islam, sangat terbuka untuk dipertanyakan ‘Islam yang seperti apa?’.
Dalam bentuk riak-riak kecil, kegaduhan-kegaduhan ini bisa dilihat seperti pemaksaan atribut agama di ranah sosial dan pendidikan, seperti pemaksaan jilbab yang terjadi di Yogyakarta beberapa waktu yang lalu. Atau beredarnya youtuber yang memaksakan hijab kepada non-muslim dengan dalih toleransi baru-baru ini. Yang lainnya menghendaki peraturan-peraturan daerah dengan landasan idiil kelompok teologis tertentu dengan dalih mayoritas—demokrasi tidak mengenal yang namanya keistimewaan mayoritas, sebetulnya.
Penting untuk dipahami kembali bahwa sejak awal negara ini didirikan oleh pendiri bangsa disepakati sebagai negara yang ‘mengakomodir’ agama-agama dan keyakinan. Walaupun ada sedikit fakta ironis, di mana keyakinan lokal baru diakui dalam beberapa kurun waktu terakhir, sejak tahun 2017. Sejak awal Indonesia bukan negara yang berlandaskan pada keyakinan teologis agama tertentu yang dikehendaki. Bukan khilafah yang dipahami oleh sebagian kalangan kelompok Islam. Bukan (pula) konsep negara ‘Kota Tuhan’ dalam teologi St. Agustinus.
Setiap pemahaman atau gerakan yang menghendaki pergantian ideologi Pancasila sebagai dasar negara harus dilihat sebagai suatu penentangan terhadap negara. Ambil contoh langkah negara yang membubarkan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) adalah sepenuhnya tepat. Ke depan seluruh elemen bangsa harus tetap berhati-hati mengawal hal-hal yang seperti ini.
Tindakan pembangkangan yang dilakukan secara terang-terangan terhadap ideologi negara, seperti yang pernah dilakukan oleh kelompok Partai Komunis Indonesia (PKI) pada tahun 1965 (berdasarkan sumber-sumber milik Orde Baru), atau yang dilakukan oleh kelompok Kartosuwiryo tidak dapat dibenarkan. Pola seperti ini memang dapat diidentifikasi secara cepat. Sebab mampu menimbulkan gejolak yang besar dalam tempo yang singkat.
Gerakan dengan skala yang lebih kecil lebih susah untuk diidentifikasi. Demokrasi bisa digunakan sebagai jubah yang sangat aman. Untuk itu filterisasi dan penguatan budaya bangsa berlandaskan Pancasila patut untuk tetap digaungkan. Kembali kepada kesepakatan awal, Indonesia sebagai negara yang beragama harus diartikan sebagai bahwa agama merupakan salah satu keragaman yang menjadi bagian dari jati diri bangsa.
Agama harus diposisikan sebagai penopang kehidupan berbangsa dan bernegara seperti halnya adat, budaya, dan tradisi. Dalam artian agama adalah bagian dari identitas rakyat bangsa Indonesia dalam bingkai persatuan Indonesia yang berasaskan Pancasila. Semua orang bebas memeluk agama atau keyakinannya masing-masing berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Tapi sebagai satu kesatuan dalam kehidupan bernegara, Pancasila tidak dapat ditawar-tawar.
Pemaksaan sebuah ajaran agama—karena merasa benar—sebagai landasan idil kehidupan bernegara di tengah kemajemukan yang ada di Indonesia hanya akan menimbulkan perpecahan. Setiap orang harus bertekad untuk mengutamakan kepentingan umum diatas kepentingan golongan. Dalam Islam sendiri pun telah jelas ‘menghindari kerusakan harus didahulukan daripada mendatangkan kemasalahatan—dar’ul mafasid muqaddamun ‘ala jalbil mashalih.
Pemilihan Indonesia sebagai negara demokrasi (democracy state), negara kesatuan (unity state), dan negara bangsa (nation state) adalah sepenuhnya tepat. Sebagaimana legowonya Ki Bagoes Hadikoesoemo setelah diyakinkan oleh Mr. Kasman Singodimedjo dari kalangan Muhammadiyah dalam menerima Pancasila sebagai dasar negara. Atau bagaimana Hadratus Syaikh KH Hasyim Asy’ari memberikan restu Pancasila sebagai dasar negara. Komitmen ini yang harus dipegang secara teguh.